BAB 19: DUNIA YANG MEMILIH UNTUK MENGINGAT

Bagian 1: Arus yang Tak Terbendung

Setelah kehancuran Balai Kata, gelombang ingatan tak bisa lagi dihentikan. Rakyat mulai menceritakan versi mereka sendiri tentang masa lalu—di pasar, di sekolah, di kuil, dan di antara jendela rumah. Lagu-lagu yang dulu dianggap tak berfaedah dinyanyikan ulang, puisi-puisi tua ditemukan kembali dalam laci-laci yang nyaris dilupakan.

Aydan tidak lagi menjadi satu-satunya suara. Ia kini hanyalah satu dari ribuan, dan itulah kemenangan yang sebenarnya.

Nilam mulai mengajar anak-anak kecil menulis sejarah keluarga mereka sendiri. Di dinding desa, gambar-gambar cerita Kalasethra muncul dalam bentuk mural. Orang-orang menggambar roh penjaga, gunung yang bicara, dan sungai yang menyimpan rahasia.

"Cerita tidak perlu sempurna," kata Nilam pada murid-muridnya. "Tapi cerita harus jujur."

---

Bagian 2: Jejak Amartha

Amartha tidak hilang begitu saja. Ia muncul diam-diam di desa-desa yang belum sepenuhnya bangkit. Tapi kini, ia tidak lagi membawa pena untuk memaksa. Ia datang hanya sebagai pengamat. Ia duduk bersama para penenun, mendengarkan cerita mereka, lalu pergi tanpa jejak.

Di satu kesempatan, ia mendatangi Nilam.

"Kau punya suara yang ibumu tinggalkan," katanya. "Jangan biarkan orang seperti aku mencurinya lagi."

Nilam tak membalas dengan amarah. Ia hanya memberi selembar kertas kosong.

"Kalau kau ingin mengingat, mulailah dari sini. Tapi jangan bohong lagi."

---

Bagian 3: Surat dari Kalasethra

Satu pagi, burung abu-abu yang hanya muncul dalam mitos Kalasethra hinggap di jendela kamar Aydan. Di paruhnya, secarik daun yang terlipat. Saat dibuka, daun itu mengandung huruf-huruf bercahaya:

> "Kami mendengar suara kalian. Kalasethra belum hilang. Ia hanya menunggu dunia ingat bagaimana cara percaya."

Aydan memejamkan mata. Ia tahu, dunia roh masih terhubung, dan jembatan di antara mereka tak sepenuhnya roboh.

"Selama kita menjaga cerita, kita menjaga pintunya tetap terbuka," katanya.

---

Bagian 4: Pelindung Narasi

Gerakan Penjaga Narasi kini menjelma menjadi Pelindung Narasi—sebuah jaringan luas yang bukan hanya melindungi naskah, tapi menghidupkan kembali budaya yang sempat disamarkan. Mereka bukan tentara. Mereka adalah pengukir, penyair, pengelana, dan penjaga tempat-tempat sunyi yang menyimpan cerita.

Satu demi satu, mereka mengunjungi reruntuhan desa-desa lama dan menandainya bukan dengan bendera, tapi dengan nyanyian.

Di tepi hutan Rinjata, Aydan berdiri di depan batu tua yang pernah dianggap tak penting. Ia menyentuhnya, dan berkata:

"Di sini, orang-orang pernah menanam ingatan. Mari kita tumbuhkan lagi."

Orang-orang mengelilingi batu itu. Mereka menyalakan api kecil, lalu mulai bercerita. Dari mulut ke mulut. Dari hati ke hati. Dari roh ke roh.

---

Bagian 5: Dunia yang Memilih untuk Mengingat

Kini, sejarah tak lagi hanya milik buku. Ia milik mereka yang berani mengisahkannya, meski dalam bisikan. Para penulis baru muncul dari jalan-jalan kecil dan lembah tersembunyi. Mereka tak menunggu izin untuk menulis. Mereka menulis karena jika tidak, kebenaran akan hilang.

Aydan duduk di puncak bukit tempat ia pertama kali melihat Kalasethra.

"Dulu aku dianggap pembawa sial," katanya pada Nilam yang duduk di sebelahnya. "Tapi mungkin… aku hanya membawa sesuatu yang belum siap didengar."

Nilam menatap langit senja. "Dan sekarang, mereka mulai mendengar. Karena kau tidak menyerah."

Aydan tersenyum.

"Aku bukan cerita utama lagi. Dan itu bagus. Karena cerita yang terlalu besar untuk satu orang, seharusnya dimiliki semua orang."