BAB 18: BAYANGAN DI BALIK NASKAH

Bagian 1: Serangan Pertama ke Menara Naskah

Menara Naskah berdiri seperti duri di jantung Kota Langit. Di dalamnya, segala naskah baru yang "disetujui" oleh Dewan Penulis Ulang Sejarah disalin dan didistribusikan ke seluruh wilayah. Ia menjulang dari batu-batu pualam putih yang kontras dengan hitamnya kebenaran yang dikubur di dalamnya.

Malam itu, Aydan dan tiga orang Penjaga Narasi menyelinap ke dalam. Nilam ikut, meski usianya masih muda. Ia menolak tinggal di luar.

"Aku anak dari suara yang mereka bungkam. Aku punya hak berada di sini," katanya.

Rencana mereka sederhana: menyusup ke lantai tujuh, tempat Naskah Asal disimpan—naskah yang berisi salinan paling awal dari peristiwa besar. Jika mereka bisa memotret isi asli itu dan menyebarkannya lewat jaringan bawah tanah, dunia mungkin mulai mempertanyakan narasi yang dipaksakan.

Namun mereka tak tahu bahwa para Penulis telah membuat jebakan.

Di lantai lima, sebuah ilusi besar menyerang. Ruangan berubah menjadi ingatan palsu: Aydan melihat ibunya—bukan sebagai pelindung, tapi sebagai pembakar desa. Nilam melihat ayahnya dipuja sebagai pahlawan Penulis Ulang Sejarah.

"Ini... bukan nyata!" teriak Aydan, menghunus batu roh dan menusuk lantai. Ilusi pecah.

Mereka sampai di lantai tujuh dengan luka mental. Tapi mereka berhasil menemukan Naskah Asal.

Yang mengejutkan, isinya masih utuh.

"Mereka tidak membakar naskah ini... karena mereka ingin menjadikannya milik mereka," gumam Nilam.

Mereka menyalin bagian-bagian penting, lalu kabur lewat terowongan bawah tanah. Tapi satu dari mereka—Rehan, sang juru lisan tua—tertangkap.

"Lanjutkan cerita kita," katanya sebelum ditarik bayangan.

---

Bagian 2: Kebenaran yang Dikubur Hidup-hidup

Di desa tua bernama Grampal, Aydan mendengar tentang makam yang tidak bisa dibuka. Warga bilang, di dalamnya terkubur orang suci yang dulu menulis kisah asli tentang Kalasethra, tapi makam itu kini disegel oleh "surat keputusan baru" dari Para Penulis.

"Dia bukan orang penting," kata pejabat lokal. "Catatan tentangnya sudah direvisi."

Tapi seorang nenek tua membawa Aydan ke sana diam-diam. Makam itu dililit rantai. Di atasnya tertulis:

> "Saksi Bisu. Tidak Layak Dikenang."

Aydan menyentuh batu nisan. Seketika, bayangan menyelimuti pandangannya. Ia melihat sang penulis suci, duduk sendiri menyalin kisah tentang roh-roh penjaga desa. Ia menulis hingga darah menetes dari jarinya, lalu berkata:

> "Jika aku tidak selesai menulis ini, biarkan tanah yang menyimpannya."

Aydan mencabut rantai itu dengan kekuatan dari Batu Jiwa. Makam terbuka, dan di dalamnya bukan hanya jasad, tapi gulungan naskah berlapis kain.

Nilam membacanya di bawah cahaya rembulan:

> "Tidak semua yang ditulis adalah kebenaran. Tapi semua kebenaran harus ditulis."

Hari itu, mereka mengubur kembali makam itu… tapi bukan dengan kebisuan. Mereka menanam pohon di atasnya, dan di batangnya Aydan ukir:

> "Ia tidak mati. Ia hanya berganti bentuk."

---

Bagian 3: Bayangan Masa Lalu Amartha

Dari salah satu naskah yang diselamatkan, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan: Amartha dulunya adalah seorang Penjaga Cahaya muda. Ia bahkan menulis puisi untuk Kalasethra. Tapi entah bagaimana, ia berbalik arah.

Aydan menyusup ke ruang pribadi Amartha lagi. Di sana ia menemukan buku harian rahasia. Isinya penuh pergulatan batin:

> "Mereka menertawakanku saat aku menulis kebenaran. Mereka bakar tulisan-tulisanku. Jadi aku menulis ulang semuanya—agar tak seorang pun bisa menghapusku lagi."

> "Kalau dunia hanya mempercayai yang tertulis, maka akulah penulisnya."

Amartha tidak jahat dari awal. Ia adalah korban dunia yang menolak mendengar. Dan dalam kebisuan itu, ia memilih menjadi suara paling nyaring—meski isinya bohong.

"Dia tidak ingin dilupakan," kata Aydan pelan. "Sama sepertiku. Tapi jalannya salah."

---

Bagian 4: Nilam Menemukan Suara Ibunya

Dalam perjalanan pulang, Nilam mendengar suara lirih dari mimpi. Suara itu memanggil dari gunung tempat ibunya dulu bersembunyi.

Mereka naik ke atas gunung, dan menemukan gua tersembunyi. Di dalamnya, bekas altar dan bekas tulis-menulis.

Di dinding gua, tergurat ratusan kalimat:

> "Anakku akan menemukan kisah ini." "Jika dunia menuliskan kebohongan, maka kita harus menuliskan kebenaran di tempat yang tidak bisa mereka sentuh."

Nilam menangis. Di ujung gua, terdapat rekaman suara ibunya dalam bentuk batu roh.

"Jika kamu mendengarkan ini, kamu hidup. Dan itu cukup. Jangan hidup untuk membalas. Hidup untuk mengingat."

---

Bagian 5: Kota yang Memiliki Dua Sejarah

Mereka kembali ke salah satu kota yang telah ditaklukkan narasi baru. Tapi diam-diam, warga mulai membaca salinan Naskah Asal yang disebarkan Aydan.

Anak-anak mulai mempertanyakan kenapa patung di tengah kota tidak sesuai dengan cerita dalam buku. Orang tua mulai mengenang kembali lagu-lagu lama.

"Kota ini mulai memiliki dua sejarah," kata Nilam. "Yang ditulis di buku emas, dan yang hidup di mulut rakyat."

Aydan tersenyum.

"Sejarah yang hidup… akan selalu menang. Karena ia tidak membutuhkan izin. Hanya butuh keberanian."

---

Bagian 6: Pertarungan di Ruang Narasi

Pada malam bulan purnama, Aydan dan para Penjaga Narasi menyerbu Balai Kata—tempat para Penulis Ulang Sejarah menyusun agenda tahunan mereka. Ruangan itu besar, melingkar seperti arena. Di tengahnya, ratusan buku digantung di udara oleh sihir pena.

Aydan berdiri di tengah ruangan dan berseru, "Jika kalian percaya sejarah adalah milik semua orang, izinkan aku membacakan kebenaran!"

Para penulis tertawa. Tapi Amartha muncul dari balik bayangan, matanya dingin.

"Apa yang akan kau buktikan, Aydan? Bahwa ingatan orang lebih penting dari kemajuan?"

Aydan mengangkat Batu Jiwa, dan membacakan kutipan dari Naskah Asal:

> "Sejarah bukan milik penguasa. Ia milik air, tanah, angin, dan suara-suara yang berbisik di malam hari."

Satu per satu buku di atas langit-langit bergetar. Beberapa mulai runtuh. Para penulis kehilangan konsentrasi.

"Kau tak bisa menghentikan kami semua!" teriak Amartha.

"Tapi aku tak sendiri," jawab Aydan.

Dari luar ruangan, puluhan orang biasa masuk: ibu-ibu, petani, anak-anak—mereka membawa kertas, nyanyian, dan doa-doa. Mereka menyanyikan lagu tua tentang Kalasethra. Dinding ruangan mulai retak.

---

Bagian 7: Ketika Aydan Menjadi Cerita

Pertarungan tidak berlangsung lama. Tapi dampaknya besar. Sebagian besar ruang Balai Kata runtuh. Para Penulis kabur. Hanya Amartha yang bertahan, duduk di tengah reruntuhan.

Ia memandang Aydan dan berkata, "Kau akan jadi cerita juga, suatu hari. Dan orang lain bisa menulis ulang kisahmu."

Aydan mengangguk. "Tapi kali ini, aku tidak akan menulisnya sendiri. Aku akan menyebarkannya ke semua orang yang bersedia mendengar."

Amartha tersenyum lemah. "Itu yang dulu kuinginkan."

Lalu ia pergi.

Malam itu, di balik puing Balai Kata, Nilam menulis kalimat pertamanya:

> "Aku menyaksikan kebohongan runtuh bukan karena senjata, tapi karena kebenaran yang bersedia berjalan jauh."