BAB 17: PARA PENULIS ULANG SEJARAH

Bagian 1: Pertanda dari Selatan

Tiga bulan setelah Aydan meninggalkan bukit terakhir, dunia tampak tenang. Tapi kedamaian itu seperti kain tua yang dijahit paksa di atas luka purba. Di Selatan, desa-desa yang pernah terbakar kini dibangun kembali. Tapi bukan oleh penduduk asli.

Aydan menerima surat dari Penjaga Suara—surat terakhir sebelum ia menghilang.

> "Aydan, Ada orang-orang yang tidak ingin dunia mengingat. Mereka datang bukan membawa senjata, melainkan pena, buku, dan cerita baru. Mereka menulis ulang apa yang pernah kau perjuangkan. Jangan biarkan dunia percaya pada kisah yang tak pernah terjadi."

Aydan menggenggam surat itu lama, lalu bersiap kembali turun gunung. Dunia belum selesai. Ingatan belum sepenuhnya aman.

---

Bagian 2: Kota Tak Bertuan

Ia menuju Kota Langit, pusat pengetahuan kuno yang berdiri di antara tujuh bukit batu. Tapi ketika ia tiba, perpustakaan agung telah dikunci. Semua buku telah diganti dengan salinan baru yang bersampul emas—tapi isinya tak sesuai.

> "Di masa lalu, roh adalah ilusi rakyat bodoh." "Kalasethra hanyalah mitos kuno yang disalahartikan." "Pembersihan desa tahun silam adalah langkah bijak demi kemajuan."

Aydan gemetar. Ini bukan hanya penyesatan—ini adalah penghapusan sejarah.

Di alun-alun, seorang pria berdiri di podium mengenakan jubah ungu:

> "Kami adalah Penulis Ulang Sejarah. Kami memberi masa lalu wajah baru, agar masa depan tak dibebani kenangan kelam."

Mereka bukan penyihir. Mereka bukan roh. Mereka adalah manusia… dengan niat mengganti kebenaran.

---

Bagian 3: Perpustakaan yang Dibakar

Di tengah malam, Aydan menyelinap ke perpustakaan bawah tanah Kota Langit—tempat buku-buku lama disimpan. Di sana, ia temukan lemari besi berisi catatan para Penjaga Cahaya, tulisan tangan Penjaga Tanah, dan lirik tua dari desa-desa roh.

Tapi saat ia hendak keluar, kobaran api sudah menjalar.

Seseorang membakar bangunan itu dari luar. Aydan berhasil meloloskan beberapa naskah, tapi mayoritas… hangus.

Dari bayangan pilar batu, seorang gadis mengawasinya. Ia memegang pena hitam dengan lambang spiral. Lalu ia berbisik:

> "Kebenaran lama hanya membuat orang takut. Biarkan kami menggantinya."

Aydan mengejarnya, tapi ia lenyap di balik dinding api.

---

Bagian 4: Seorang Gadis yang Mengingat

Di desa kecil bernama Paragriya, Aydan menemukan gadis bernama Nilam. Umurnya 14 tahun, memiliki tanda merah di dahi seperti bekas luka roh. Ia satu dari sedikit orang yang masih mengingat cerita asli tentang Kalasethra, tentang ibunya yang dulu pernah menyembunyikan Penjaga Suara di bawah rumah.

Nilam berkata, "Mereka datang malam-malam, menyuruh kami membuang semua buku lama. Ayahku menyembunyikan satu, lalu mereka membawanya."

Buku itu—berisi catatan saksi mata kehancuran desa Andalas—masih disembunyikan Nilam di bawah akar beringin.

> "Aku tak bisa membaca isinya. Tapi Ibu bilang, jangan biarkan mereka mengganti cerita kita."

Aydan membaca isinya. Matanya basah. Kalimat demi kalimat ditulis dengan darah dan pengorbanan. Dan kini, ada yang mencoba menghapusnya.

---

Bagian 5: Naskah Palsu

Aydan menyusup ke markas Penulis Ulang Sejarah. Di dalamnya, ia temukan ruang penyalinan naskah kuno. Ratusan juru tulis menulis ulang sejarah sesuai "versi resmi". Para pemimpin kota membayar agar leluhurnya ditampilkan sebagai pahlawan, bukan pengkhianat.

Satu nama muncul berulang: Amartha—pemimpin tertinggi Penulis Ulang Sejarah.

Di ruang pribadi Amartha, Aydan melihat peta besar yang menunjukkan wilayah yang telah "dibersihkan" secara naratif. Termasuk tempat-tempat yang pernah ia kunjungi.

> Mereka tidak menghapus dengan api… tapi dengan cerita.

---

Bagian 6: Pertemuan Rahasia di Bukit Arum

Aydan mengumpulkan orang-orang yang masih mengingat. Penjaga Tanah yang telah tua, Nilam, beberapa roh penjaga kecil, dan seorang mantan penulis dari Kota Langit.

Mereka berkumpul di Bukit Arum.

> "Kita harus lawan mereka dengan apa yang tak bisa mereka kendalikan," kata Aydan. "Dengan ingatan yang hidup. Dengan lisan. Dengan nyanyian. Dengan anak-anak yang tidak diajari melalui buku palsu."

Mereka sepakat. Sebuah gerakan bawah tanah lahir: Penjaga Narasi.

---

Bagian 7: Surat Terakhir Penjaga Suara

Sebelum pergi, Nilam menyerahkan secarik surat yang disembunyikan ibunya. Tulisannya lembut. Dari Penjaga Suara.

> "Jika kau membaca ini, berarti dunia mulai menggantiku. Tapi suara tidak akan mati. Selama ada yang berbisik, bernyanyi, berdoa… sejarah tetap hidup. Jangan lawan mereka dengan kekerasan. Lawan dengan kebenaran yang terus diceritakan."

Aydan menyimpannya di dada. Ia tahu, ini bukan lagi tentang menang. Tapi tentang tidak diam.

---

Bagian 8: Dunia yang Akan Dilupakan

Hari itu, Aydan berdiri di depan patung pendiri Kota Langit. Dahulu tertulis bahwa ia adalah penjaga cahaya. Kini prasastinya telah diganti: "Pendiri akal dan kemajuan manusia."

Aydan menggenggam batu kecil, dan di bawah patung itu, ia menulis kembali dengan arang:

> "Ia melihat roh, dan ia mempercayainya. Karena itu, dunia masih utuh."

Malam itu, gerakan Penjaga Narasi dimulai.

Dunia belum menang. Dunia belum selamat. Tapi dunia… masih ingat.

Dan selama satu anak tetap bertanya, "Benarkah itu terjadi?" maka sejarah sejati belum mati.

---

Aydan memandang langit malam yang tanpa bintang. Tapi ia tahu, langit hanya tampak gelap ketika kita lupa bagaimana cara melihat cahaya.

Dan ia akan mengingatkan dunia… satu kisah dalam satu jiwa, sampai semuanya kembali terang.