Bab 16: Jejak yang Terlupakan

Matahari belum terbit saat Aydan meninggalkan Sukaraja. Hanya selembar jubah abu-abu dan tas kecil yang menempel di punggungnya. Ibu Suji memeluknya tanpa kata, dan Penjaga Suara hanya berpesan:

> “Kalau kamu tak kembali, tak apa. Yang penting dunia tak lupa kamu pernah ada.”

Ia berjalan melewati padang berkabut, lembah-lembah tua yang tak tercatat di peta, dan desa-desa yang namanya hanya hidup di cerita para leluhur. Di pundaknya bukan hanya beban dunia, tapi ingatan yang tak boleh hilang.

> Karena kalau masa lalu dilupakan, Maka kegelapan akan datang bukan dari luar, Tapi dari dalam manusia sendiri.

---

1. Desa Kering: Tanah yang Kehilangan Waktu

Tempat pertama yang Aydan datangi adalah Desa Kering, daerah yang dulunya dikenal subur dan berbudaya. Namun kini, ia tak lebih dari lahan kering penuh retakan, dan penduduk yang hidup tanpa arah.

Mereka menyambut Aydan seperti orang asing biasa. Tak satu pun mengenalnya. Tak satu pun mengenal sejarah desa mereka sendiri.

Saat ia duduk bersama seorang tetua bernama Pak Warta, Aydan bertanya, “Apa kau ingat kapan terakhir kali hujan turun di sini?”

Pak Warta menggeleng. “Kami tak ingat kapan kami mulai lupa.”

Malamnya, Aydan berdoa di bekas batu ritual yang sudah retak. Di sana, ia melihat bayangan-bayangan samar dari masa lalu: anak-anak menari, wanita menyanyikan mantra panen, dan lelaki menanam benih sambil membisikkan nama dewa tanah.

> Semua itu... telah terhapus.

Bukan oleh waktu, tapi oleh penghapusan sejarah.

Aydan mengeluarkan satu gulungan kecil dari tasnya—salinan dari Kitab Penjaga Cahaya. Ia tuliskan kembali kisah-kisah yang ia lihat. Lalu membacakan satu bagi penduduk.

Hari itu, hujan turun untuk pertama kalinya dalam delapan tahun.

---

2. Penjaga Tanpa Makam

Aydan melanjutkan perjalanan ke sebuah gunung kecil bernama Gunung Jingga. Di sana pernah tinggal salah satu Penjaga Waktu, seorang wanita bernama Mbok Rini. Tapi begitu ia tiba, penduduk lokal berkata: “Mbok Rini? Siapa itu?”

Bahkan tak ada makam. Tak ada bekas rumah. Tak ada nama.

Aydan mencari di balik batu dan akar. Ia menggali ingatan dari suara-suara yang tertinggal. Lalu ia temukan selembar kain putih usang yang diikat di batang pohon—dengan tulisan yang nyaris pudar: "Aku tidak ingin dikenang karena aku kuat, tapi karena aku bertahan sendirian."

Aydan menangis malam itu.

Ia menuliskan kisah Mbok Rini di batu. Membangun kembali tumpukan batu kecil sebagai penanda. Dan di pagi hari, seekor burung langka bernyanyi di dahan pohon.

> Mengingat adalah cara paling sederhana untuk menghidupkan kembali yang hilang.

---

3. Roh Tanpa Nama

Dalam perjalanan berikutnya, Aydan melewati hutan tua di mana waktu terasa lambat. Di sana, ia melihat sekelompok roh gentayangan—tak menyeramkan, hanya... kebingungan.

“Apa yang kalian cari?” tanya Aydan.

Salah satu roh menjawab: “Nama kami hilang. Kami tidak bisa menyeberang karena dunia telah melupakan siapa kami.”

Aydan mengerti.

Ia duduk di tengah hutan selama tiga hari, menulis nama-nama acak di atas tanah: nama-nama lama dari desa-desa, kisah-kisah pendek dari mulut ke mulut. Ia tahu tak semua roh itu akan menemukan nama aslinya, tapi satu per satu mereka mulai memudar—bukan karena musnah, tapi karena telah diterima kembali oleh alam.

---

4. Surat dari Bayangan

Suatu malam, Aydan membuka gulungan yang tidak ia tulis. Ia menemukannya di dasar tasnya. Kertasnya baru. Tulisannya bukan miliknya.

> "Aydan, Kau sedang menulis sejarah. Tapi jangan biarkan sejarah itu membentuk penjara baru."

> "Ingat, bahkan pahlawan bisa berubah menjadi bayangan, Bila terlalu lama hidup di dalam kisahnya sendiri."

Tak ada nama pengirim.

Tapi Aydan tahu, surat itu dari dirinya yang dulu—bayangan yang dulu sempat menguasai pikirannya. Sebagian kecil dirinya yang masih menyimpan ketakutan... dan mungkin juga kebijaksanaan.

---

5. Rumah Tanpa Cermin

Di sebuah desa kecil bernama Pasirnala, Aydan disambut dengan keramahan aneh. Semua orang tersenyum. Semua berkata hidup mereka baik-baik saja. Tapi ia menyadari satu hal ganjil:

> Tak ada satu pun cermin di seluruh desa.

Saat ia bertanya, mereka menjawab: “Cermin hanya membuat kami mengenang masa lalu. Kami ingin hidup tanpa beban.”

Tapi malam itu, Aydan menyelinap ke mata air suci di tengah desa, dan menatap permukaannya.

Ia melihat bayangan dirinya sendiri, tapi dengan mata kosong.

Bayangan itu berkata:

> “Jangan paksa orang mengingat, kalau mereka memilih untuk melupakan.”

Tapi Aydan menjawab:

> “Kalau kau lupa siapa dirimu... dunia bisa menjadikanmu siapa saja.”

Ia membuat cermin dari mangkuk air, dan menaruh satu di setiap rumah. Beberapa orang marah. Beberapa menangis. Beberapa tak bereaksi sama sekali.

Tapi seminggu kemudian, seorang anak kecil menggambar wajah ibunya di tanah. “Aku ingat wajah ibu sekarang.”

---

6. Cahaya yang Dikenang

Aydan akhirnya tiba di tempat tinggi yang menghadap lembah di mana desa Andalas pernah berdiri. Kini hanya ada puing-puing. Tapi burung-burung telah kembali. Rerumputan mulai tumbuh. Dan cahaya pagi menyinari batu bekas rumahnya.

Ia duduk di sana, lalu membuka semua gulungan kisah yang ia kumpulkan. Nama-nama. Peristiwa. Doa-doa. Lirik lagu yang nyaris punah. Ia mengikat semuanya dalam satu naskah.

> Sebuah Kitab Baru.

Bukan kitab sihir.

Tapi kitab Ingatan Dunia.

Ia tidak tahu apakah dunia akan membacanya. Tapi ia tahu, selama satu orang mau mengingat, maka masa lalu tidak akan benar-benar mati.

Dan selama Aydan berjalan,

Dunia akan terus memiliki alasan untuk tidak melupakan.

---

7. Batu Penanda di Tengah Dunia

Sebelum meninggalkan tempat tinggi itu, Aydan mengambil sebongkah batu besar yang setengah terkubur di tanah. Ia mengukirnya dengan pelan, menggunakan pisau kecil yang ia temukan saat berkunjung ke Gunung Jingga.

Ukiran itu bukan mantra. Bukan doa. Hanya satu kalimat:

> “Agar tak ada lagi anak yang dibungkam oleh kenangan yang dihapus.”

Di bawah kalimat itu, ia menggambar bayangan dirinya sendiri—siluet kecil, berdiri di antara dunia roh dan dunia manusia, memegang api kecil yang tak pernah padam.

Batu itu ia tinggalkan di sana, sebagai penanda, bukan makam, tapi pengingat.

---

8. Penutup Bab 16: Jalan yang Belum Selesai

Saat ia berjalan turun dari bukit, Aydan tahu bahwa tugasnya belum selesai. Di tempat-tempat yang belum ia datangi, masih ada cerita yang terkubur. Masih ada roh yang tersesat. Masih ada bayangan yang belum diberi nama.

Namun untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian.

Ia tahu, di desa-desa kecil, ada anak-anak yang kini mengingat kembali nama ibunya.

Ada lelaki yang kembali ke makam istrinya, menangis untuk pertama kalinya.

Ada nyanyian tua yang kembali dilantunkan di pesta panen.

Ada api kecil…

Yang mulai menyala dari satu hati ke hati lainnya.

Dan itu cukup untuk membuat Aydan melangkah lagi.

> “Aku bukan orang besar.

Tapi aku tahu rasanya dilupakan.

Dan karena itu, aku tak akan membiarkan dunia melupakan dirinya sendiri.”