Bab 15: Tangga Menuju Masa yang Hilang

Langit belum benar-benar malam saat Aydan menjejakkan kakinya di tangga batu yang muncul dari perut bumi. Awan tak lagi bergerak, seakan waktu membeku. Di balik punggungnya, tiga Penjaga tersisa berdiri dalam hening, seperti bayang-bayang masa lalu yang enggan ikut turun.

“Hanya kau yang bisa masuk,” kata Penjaga Suara dengan suara kecil.

“Kami sudah terlalu terikat pada sejarah yang ingin dihapus.”

Aydan menoleh sekali. Tak ada kata perpisahan. Tak ada janji kembali. Hanya satu hal yang ia bawa turun:

> Ingatan.

---

1. Ruang Waktu Purba

Tangga itu menurun berputar, seakan tak ada ujung. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena tubuhnya... tapi karena pikirannya sendiri. Di dinding tangga, terukir ribuan lukisan gerak: seorang ibu melahirkan, seorang raja mengeksekusi, seorang anak dibakar hidup-hidup. Wajah-wajah berubah-ubah, tapi rasa takutnya sama.

> “Inilah catatan dunia,” bisik suara samar.

“Tempat segala yang pernah terjadi... disimpan.

Dan tempat segala yang ingin dihapus... dikubur.”

Akhir tangga terbuka ke sebuah ruangan luas: Ruang Akar, disebut demikian karena langit-langitnya penuh sulur akar pohon hitam yang menggantung bagaikan benang waktu. Di tengah ruangan, ada sungai cahaya, mengalir melawan arah gravitasi. Di ujungnya—Pengurai Waktu menanti.

---

2. Sosok Tanpa Masa

Aydan melihatnya berdiri, diam, tinggi menjulang, mengenakan jubah berbahan seperti jam pasir cair. Wajahnya bukan wajah—tapi topeng transparan yang berubah-ubah: bayi, wanita tua, pria bertopeng, anak kecil menangis, satu demi satu.

> “Kau datang,” katanya. Suaranya seperti gema di dalam air.

“Tapi bukan untuk bertanya.”

“Kau datang untuk mencegahku menulis ulang luka dunia.”

Aydan mengepalkan tangannya. “Kau tak bisa menghapus masa lalu. Itu bukan penyembuhan. Itu pemalsuan.”

Pengurai Waktu tertawa ringan.

> “Kau kira masa lalu itu suci?

Masa lalu adalah penjara.

Dan aku hanya ingin membebaskan dunia dari rantai-rantai kenangan yang menyakitkan.”

Ia mengangkat tangan. Dari tangannya keluar kepingan-kepingan ingatan, melayang seperti serpihan kaca berisi gambar masa lalu orang-orang.

Seorang anak dipukul ayahnya.

Seorang ibu menangis kehilangan bayinya.

Seorang prajurit membakar rumah desa karena perintah.

“Kalau aku hapus ini,” katanya, “bukankah dunia akan lebih bahagia?”

Aydan menatap pecahan itu. Lalu berkata:

> “Luka mengajarkan kita bertumbuh.

Kau ingin memotong akar... lalu menanam ilusi.

Tapi dunia tak bisa dibangun di atas kenangan palsu.”

---

3. Serangan Waktu

Pertarungan pun dimulai. Tapi ini bukan pertarungan pedang.

Ini adalah pertarungan memori.

Pengurai Waktu melempar Aydan ke dalam ilusi masa lalu. Dalam sekejap, Aydan melihat dirinya kembali ke rumah masa kecil, ibunya masih hidup. Mereka duduk makan bersama. Raka tertawa. Tak ada desa yang membencinya. Tak ada roh. Tak ada kekuatan.

Semuanya damai.

Semuanya... salah.

> “Kau bisa hidup di sini selamanya,” bisik Pengurai.

“Tak perlu menderita. Tak perlu kehilangan.”

“Kau bisa bahagia.”

Aydan berdiri dari meja makan. Matanya berkaca.

“Bahagia bukan berarti palsu. Tapi ini bukan aku. Ini bukan dunia.”

Ia meraih cermin di dinding. Dan memecahkannya.

Sekelilingnya runtuh.

---

4. Ingatan yang Dipertahankan

Kini Aydan berada dalam pusaran memori. Setiap sisi menunjukkan kenangan yang menyakitkan:

Saat ia dilempari batu oleh warga desa.

Saat Raka mengorbankan diri demi menyelamatkannya.

Saat ibunya berdoa sambil menangis dalam diam.

“Kalau semua ini hilang,” kata Pengurai, “bukankah hidupmu akan lebih mudah?”

Aydan justru tersenyum getir.

> “Justru karena semua ini, aku tahu bagaimana rasanya hidup.

Aku tak mau mudah. Aku mau bermakna.”

Ia mengeluarkan kalung segitiga. Dari sana, cahayanya kembali bersinar. Tapi kini bukan hanya satu cahaya. Melainkan ribuan serpihan cahaya kecil—setiap satu adalah kenangan yang tak ingin ia lupakan.

---

5. Kemenangan atau Pengorbanan

Pengurai Waktu memekik. Ia menyerang terakhir kalinya—melempar Aydan ke masa depan yang belum terjadi. Dalam bayangan itu, Aydan melihat dunia yang damai, bebas dari roh dan kesedihan. Tapi ia tak ada di sana. Tak ada yang mengenal namanya. Tak ada yang ingat pengorbanannya.

“Ini masa depan tanpamu. Tapi lebih damai,” kata Pengurai.

Aydan menatapnya. Perlahan ia berjalan ke arah makhluk itu. Dan menjawab:

> “Lebih damai bukan berarti lebih benar.

Aku bukan pahlawan. Tapi aku penting.

Setiap orang yang pernah terluka... penting.”

Ia menancapkan kalung segitiga ke dada Pengurai.

Cahaya menyebar. Akar-akar waktu terbakar pelan. Ruang itu runtuh, bukan karena hancur, tapi karena dilepaskan.

---

6. Keluar Dari Ruang Masa

Saat Aydan membuka mata, ia berada di tanah terbuka. Udara segar. Langit biru. Penjaga Asap menangis perlahan. Penjaga Tanah duduk dan memeluk bumi. Penjaga Suara menyanyikan nyanyian lama... nyanyian kelahiran.

> Dunia telah selamat.

Masa lalu tetap utuh.

Dan masa depan... terbuka.

---

Aydan berdiri di puncak bukit. Di kejauhan, desa Andalas mulai dihuni kembali. Anak-anak berlari. Orang tua menanam. Dunia mulai bergerak lagi.

Tapi di dalam dirinya, Aydan tahu satu hal:

> “Selama manusia masih punya kenangan,

Akan selalu ada yang mencoba menghapusnya.”

“Tapi selama ada satu jiwa yang mau mengingat…

Dunia akan tetap hidup.”

---

7. Suara dari Dalam Diri

Malam itu, saat semua orang telah tidur, Aydan duduk di tepi sungai kecil yang mengalir di bawah pohon tua. Ia menatap air, memandangi pantulan wajahnya sendiri.

Tapi bukan wajah yang ia kenal.

Ia melihat anak kecil dengan mata besar dan cemas, duduk memeluk lutut, mengenakan pakaian dari masa lalu. Anak itu adalah dirinya—Aydan kecil, yang dulu duduk di pojok kamar, memeluk tubuh sendiri karena dunia terlalu keras untuk dimengerti.

Aydan dewasa mengulurkan tangan.

> “Kau boleh tenang sekarang,” katanya.

“Kita tidak lagi dibenci. Dan kalaupun masih… kita akan tetap bertahan.”

Anak itu tidak menjawab. Tapi ia perlahan-lahan berdiri.

Lalu berjalan ke arah Aydan, dan masuk ke dalam dadanya seperti kabut hangat. Menyatu. Tak lagi tercecer.

---

8. Sebuah Surat dari Masa Depan

Keesokan harinya, seorang anak kecil dari desa membawa gulungan surat pada Aydan. Katanya, surat itu ditemukan di bawah altar tua yang runtuh. Kertasnya berwarna kelabu, dan tinta yang digunakan tampak berkilau aneh.

Saat dibuka, surat itu hanya berisi satu kalimat:

> "Jika dunia pernah lupa siapa kau, maka jadilah alasan dunia mengingat kembali."

Tidak ada nama pengirim. Tapi Aydan tahu.

Itu dari seseorang yang pernah ada… atau mungkin, akan ada.

---

9. Jalan yang Masih Panjang

Dengan pengurai waktu telah dikalahkan, dan Kalasethra terkunci kembali, dunia perlahan menata ulang arah. Tapi bagi Aydan, tugasnya belum selesai. Ia kini bukan hanya anak dengan kemampuan melihat roh. Ia adalah penjaga batas, satu-satunya yang tahu bahwa sejarah bukan untuk dihapus, tapi untuk diperjuangkan.

Dan untuk itu, ia memulai perjalanan baru.

Ke desa-desa yang lupa siapa mereka.

Ke makam-makam yang dilupakan oleh generasi baru.

Ke pohon-pohon yang menyimpan bisikan leluhur.

Ia berjalan. Sendiri.

Tapi tidak lagi kesepian.

> “Namaku Aydan.

Dulu mereka menyebutku anak pembawa sial.

Tapi kini... aku adalah penjaga ingatan dunia.”