Bab 14: Di Antara Dua Nyawa

Suara pertama yang Aydan dengar... adalah degup jantungnya sendiri.

Lambat.

Berat.

Seperti dipukul dari dalam air.

Lalu... kesunyian.

Dia mencoba membuka mata. Tapi tak ada yang terbuka. Bahkan kelopak matanya pun seakan bukan miliknya. Ia bukan tubuh. Ia bukan roh. Ia... hanyalah kesadaran yang menggantung di antara batas hidup dan mati.

> “Aydan...”

Suara itu tak berbentuk. Tapi ia mengenalinya.

“Kau belum selesai. Bangunlah.”

---

1. Ruang Putih

Aydan tersadar di tempat yang sangat terang. Bukan cahaya biasa. Bukan cahaya matahari. Ini adalah cahaya murni—tanpa arah, tanpa sumber, tapi menerangi segalanya.

Ia berdiri di atas lantai yang tampak seperti air namun tak basah. Sekelilingnya kosong. Tak ada dinding. Tak ada langit.

Dan di depannya... berdiri anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun. Rambutnya acak-acakan. Matanya bulat dan hitam, tak berkedip.

Anak itu berkata:

> “Aku adalah kau, Aydan. Aku adalah yang tertinggal di dunia lama.”

Aydan menelan ludah. Suaranya tersangkut di tenggorokan. “Apa maksudmu?”

> “Kau terlalu cepat meninggalkan tubuhmu.

Tapi tubuhmu belum siap kehilanganmu.”

Aydan melangkah. Tapi dunia bergeser setiap kali ia mencoba mendekat. Anak itu tak berubah.

> “Kalau kau ingin kembali ke tubuhmu...

Kau harus menjemputnya.”

---

2. Dunia Tanpa Tubuh

Perjalanan Aydan berlanjut. Ia ditarik ke dalam lorong-lorong ingatan: lorong tempat ia melihat semua keputusan yang ia sesali.

Saat ia membiarkan Raka berdiri sendiri menghadapi bayangan.

Saat ia tidak mempercayai Ibu Suji sejak awal.

Saat ia ingin menghilang... karena merasa tak dibutuhkan.

Setiap penyesalan menjelma menjadi rantai. Melingkari kaki dan tangannya. Berat.

> “Penyesalan itu nyata,” kata suara dari dalam dirinya.

“Tapi bukan untuk dikutuk. Untuk dipelajari.”

Aydan berhenti melawan. Ia mengakui semuanya. Dan perlahan... rantai-rantai itu berubah menjadi sayap.

---

3. Penjaga Gerbang Kedua

Ia mendarat di atas batu datar yang mengapung di lautan bintang. Di sana berdiri sosok berjubah abu-abu, bermata kosong dan membawa tongkat.

“Siapa kau?” tanya Aydan.

> “Aku adalah Penjaga Gerbang Antara. Gerbang di mana jiwa menunggu... sebelum diputuskan: kembali, atau pergi selamanya.”

“Lalu... aku harus memilih?”

> “Bukan kau yang memilih. Dunia yang memilihmu.”

Penjaga itu menunjuk ke langit. Muncul cermin besar, dan di dalamnya, Aydan melihat:

Tubuhnya terbaring di pelataran menara Sukaraja.

Ibu Suji menggenggam tangan dinginnya, menangis dalam diam.

Rama Gede berdiri di kejauhan, punggung menghadap. Tak satu pun bisa menyentuhnya.

“Aku ingin kembali.”

> “Belum. Kau harus menjawab satu pertanyaan.”

> “Apa kau ingin kembali untuk melanjutkan hidupmu sendiri, atau untuk menyelesaikan hidup orang lain?”

Aydan tercekat. Dan setelah hening panjang, ia menjawab:

> “Untuk... keduanya. Karena hidupku tak bisa terlepas dari semua orang yang terluka karenaku.”

Cermin retak. Penjaga tersenyum tipis.

> “Maka... kembalilah. Tapi ketahuilah, dunia yang kau masuki nanti... sudah berubah.”

---

4. Kembali Ke Dunia

Aydan membuka mata.

Udara pertama yang ia hirup seperti api. Tubuhnya menggigil hebat. Ia batuk keras, seolah paru-parunya terisi pasir.

“Aydan!” Ibu Suji memeluknya. “Kau kembali... oh Tuhan, kau kembali!”

Rama Gede memalingkan wajah. Ia tahu: dunia Kalasethra telah runtuh. Tapi dalam keruntuhannya, sesuatu terlepas.

Dan itu bukan Aydan.

---

5. Bayangan Baru

Sejak Aydan bangkit kembali, desa Sukaraja berubah. Orang-orang seperti terlepas dari pengaruh gaib. Mereka mulai bertanya siapa mereka. Mengapa menara ada. Mengapa mereka tidak mengingat masa kecil.

Dan satu demi satu, para penjaga jubah merah lenyap tanpa jejak. Hanya Rama Gede yang tetap tinggal, tapi kini... bisu dan lumpuh.

Aydan merasa kosong. Ia berjalan setiap malam. Menatap langit. Tapi langit terasa... terlalu sunyi.

Lalu suatu malam, ia melihat bayangan hitam duduk di sudut kamarnya.

> “Kau pikir kau telah menang?”

“Kau hanya menutup pintu.”

“Tapi... aku sudah keluar lebih dulu.”

Itu bukan Kalasethra. Tapi sesuatu yang lebih kecil... lebih pribadi... lebih mirip Aydan sendiri.

---

6. Bayangan Dalam Diri

Bayangan itu berbicara seperti Aydan. Bergerak seperti Aydan. Tapi ia berkata dengan kejujuran yang menusuk.

> “Aku adalah sisa luka yang tak sempat kau sembuhkan.”

“Aku adalah harapan yang kau kubur demi kelangsungan orang lain.”

“Aku adalah kamu... yang paling jujur.”

Aydan tak bisa menolak keberadaannya. Tapi ia juga tidak ingin hidup bersamanya.

Maka ia berkata:

> “Kalau kau adalah aku, maka kita berdamai.

Kau tak perlu menghilang.

Tapi kau tak boleh mengambil alih.”

Bayangan itu diam. Lalu... tersenyum. Dan menyatu ke dalam tubuh Aydan.

---

Aydan kini hidup sebagai seseorang yang pernah mati.

Ia bukan anak pembawa sial. Ia bukan pewaris gerbang.

Ia adalah jembatan antara terang dan bayangan.

Dan tugasnya... belum selesai.

> Di balik Gunung Rembang,

Sebuah api ungu menyala.

Dan dari dalam tanah,

Sesuatu yang lama tidur... mulai bangkit.

---

7. Luka yang Tak Terlihat

Setelah kembali dari Kalasethra, Aydan merasa seakan ia membawa dua jiwa dalam satu raga. Tubuhnya masih lemah. Kadang tangannya bergetar sendiri saat malam tiba. Kadang ia mendengar suara berbisik di sela-sela doa, di balik daun, bahkan di balik bayangan tembok.

> "Kau tidak sendiri..."

"Kami masih di sini..."

Ibu Suji memperhatikan perubahan itu. Tapi ia tahu, ini bukan kutukan.

Ini adalah jejak perjalanan yang tidak bisa dihapus begitu saja.

“Yang kau lawan bukan hanya mereka, Aydan,” katanya suatu pagi.

“Yang terberat adalah melawan bayanganmu sendiri… setelah kau tahu bagaimana rasanya menjadi mereka.”

Aydan hanya diam. Ia tahu benar maknanya.

---

8. Pertemuan Para Penjaga Tersisa

Beberapa minggu setelah Aydan bangkit, kabar tentang kembalinya “anak yang bisa membuka pintu” menyebar ke seluruh wilayah. Dan pada malam bulan perak, tiga sosok berjubah datang dari arah utara, selatan, dan timur.

Mereka bukan manusia biasa.

Yang pertama, seorang perempuan tua buta, Penjaga Asap, yang bisa membaca masa depan dari aroma dupa yang dibakar di lidah.

Yang kedua, seorang lelaki kerdil, Penjaga Tanah, mampu merasakan getaran roh dari batu dan akar.

Yang ketiga, seorang bocah perempuan 9 tahun, Penjaga Suara, bisa mendengar roh menangis di dalam tubuh orang-orang hidup.

Mereka semua berdiri di hadapan Aydan di altar batu peninggalan Rama Gede.

> “Kami mendengar bahwa Kalasethra telah ditutup.”

“Tapi bumi tidak tenang.”

“Sesungguhnya… ada sesuatu yang lebih purba dari Kalasethra.”

“Ia terikat bukan pada dunia roh… tapi pada waktu.”

---

9. Bisikan dari Tanah Leluhur

Sejak itu, Aydan mulai bermimpi aneh. Tapi mimpi-mimpi itu bukan tentang dirinya. Ia melihat:

Seorang lelaki dari zaman kerajaan tua, dengan jubah emas, membakar perpustakaan karena takut kebenaran ditemukan.

Seorang gadis kecil yang dipaksa mengucap mantra kuno untuk menyegel saudara kandungnya sendiri yang menjadi monster.

Seorang ibu, yang mengorbankan bayinya agar roh-roh di gunung tidak mengamuk.

Mimpi-mimpi itu... bukan kenangannya. Tapi ia bisa merasakannya seolah itu nyata.

> “Itulah pengaruh Pengurai Waktu,” kata Penjaga Suara.

“Makhluk yang bisa menyentuh masa lalu siapa pun... dan menulis ulang dunia melalui penyesalan.”

---

10. Pertanda di Langit

Suatu malam, langit di atas Gunung Rembang memancarkan cahaya ungu menyala, seperti aurora yang robek. Tanah berguncang. Sungai-sungai mengalir terbalik. Di satu desa, semua anak-anak mendadak lupa siapa ibu mereka. Di desa lain, semua tumbuhan layu hanya dalam satu malam.

Dan di langit, muncul simbol berbentuk spiral—simbol kuno yang pernah dilarang oleh para Penjaga generasi pertama.

> “Dia telah bangkit.”

“Dan ia sedang mencari jalan masuk ke dalam sejarah.”

---

11. Satu Lagi Pilihan

Para Penjaga tersisa meminta Aydan untuk menjadi penyimpan ingatan dunia, agar masa lalu tidak bisa diubah semaunya oleh Pengurai Waktu.

Tapi untuk itu, Aydan harus melakukan satu hal:

> “Kau harus menyerahkan seluruh kenangan pribadimu—tentang ibumu, tentang desa, tentang Raka, bahkan tentang dirimu sendiri—agar bisa menjadi pembuluh bersih dari ingatan dunia.”

Aydan bingung.

Jika ia setuju... maka semua luka dan cinta yang membuatnya menjadi dirinya, akan hilang selamanya.

Ia akan menjadi hidup... tapi kosong.

Jika ia menolak... dunia bisa dilumat oleh satu makhluk yang bisa menulis ulang sejarah dengan kebohongan yang indah.

---

12. Penutup Bab 14: Awal yang Baru

Aydan berdiri di altar terakhir peninggalan Penjaga Cahaya. Di sana, kitab dunia terbuka lebar. Angin berhembus kencang. Tiga Penjaga tersisa menunduk.

Ia menatap langit yang tak lagi biru.

Dan ia berkata:

> “Aku… akan menjaga dunia. Tapi bukan dengan melupakan siapa aku. Aku akan melawan makhluk itu bukan sebagai wadah bersih, Tapi sebagai Aydan, anak pembawa sial yang memilih untuk bertahan.”

Langit bergemuruh.

Dan dari dalam tanah, tangga batu muncul. Tangga menuju ruang waktu purba, tempat Pengurai Waktu telah menanti… sejak dunia pertama kali dilahirkan.

---