Langit pagi baru saja berubah jingga saat Aydan dan Ibu Suji meninggalkan reruntuhan Lereng Andalas. Tak ada kata perpisahan, sebab tak ada yang hidup untuk mereka tinggalkan. Desa itu kini benar-benar menjadi tempat sunyi yang tidak akan kembali.
Sambil menyusuri jalan setapak, mereka bergerak ke arah barat daya, menuju Sukaraja, desa tua yang terletak di kaki bukit Lembah Aru, daerah yang bahkan para penduduk sekitar enggan sebutkan namanya.
---
Jejak yang Ditinggalkan
Sukaraja bukan desa sembarangan. Dahulu, desa ini adalah pusat para pelatih rohani dan spiritual di wilayah selatan. Rama Gede, Penjaga terakhir, adalah pemimpin perguruan spiritual terbesar di sana. Ia terkenal karena mampu memanggil cahaya ke dalam dunia nyata, menyembuhkan luka jiwa dan raga, dan bahkan pernah menantang Kalasethra dalam wujudnya yang terfragmentasi.
Namun, desas-desus menyebar:
> Rama Gede tak lagi memanggil cahaya, tapi bayangan yang menyamar sebagai terang.
“Dia bukan Penjaga yang sama lagi,” gumam Suji saat mereka melintasi jembatan kayu tua.
“Kalau dia telah berpaling, kenapa kita tetap mencarinya?” tanya Aydan.
“Karena kalau dia memang telah berubah... kita tak hanya kehilangan Penjaga terakhir. Kita menghadapi musuh yang tahu segalanya tentang kita.”
---
Sukaraja yang Baru
Tiga hari kemudian, mereka sampai di tepi desa Sukaraja. Tapi yang mereka temukan bukanlah desa yang hening seperti Andalas. Sukaraja hidup dan bergerak—tapi tidak seperti desa biasa.
> Jalan desa disusun rapi.
Orang-orang berjalan dengan kepala tertunduk.
Tidak ada anak-anak.
Semua rumah identik: kayu hitam, jendela tertutup, tirai merah.
Dan di tengahnya, berdiri menara batu tinggi menjulang, tempat dulunya kuil cahaya berdiri. Di atasnya, lambang baru terpampang besar: bukan simbol cahaya, tapi mata segitiga hitam dengan api di tengahnya.
Suji terdiam.
“Itu... bukan lagi lambang para Penjaga.”
---
Pertemuan yang Dirancang
Mereka tak menyelinap. Mereka datang langsung ke pusat desa. Aydan tahu—jika mereka musuh, maka sembunyi hanya menunda waktu.
Di halaman menara, penjaga berjubah merah menyambut mereka.
“Kalian ditunggu,” katanya singkat, tanpa ekspresi.
Di dalam menara, cahaya aneh memancar dari kristal-kristal ungu yang menggantung dari langit-langit. Udara dingin. Ruangan besar di pusat menara menggemakan langkah mereka.
Dan di ujungnya...
...Rama Gede duduk di atas singgasana batu, mengenakan jubah putih keperakan, tapi sorot matanya redup, wajahnya keras seperti batu yang terlalu lama di bawah badai.
“Selamat datang, Aydan,” katanya pelan.
“Pewaris pintu.”
---
Dialog Dua Dunia
Aydan maju, jantungnya berdetak cepat.
“Apakah kau Rama Gede, Penjaga Cahaya?”
Rama tersenyum. “Aku pernah begitu. Tapi cahaya... adalah kebohongan yang terlalu lama kita sembah. Terang tak bisa berdiri tanpa bayangan. Dan aku... telah memilih keseimbangan yang sejati.”
Suji bergetar. “Kau... menyerahkan dirimu pada Kalasethra?”
“Tidak menyerah. Bersekutu. Dunia ini selalu kacau karena manusia berpura-pura suci. Tapi bayangan tidak berpura-pura. Bayangan jujur. Mereka menawarkan kekuatan, bukan pengorbanan sia-sia.”
Aydan menggenggam kalung segitiga. “Lalu kenapa kau panggil aku ke sini?”
“Karena aku tahu... kau ingin menutup pintu. Dan aku tahu cara melakukannya. Tapi hanya jika kau mau membuka semuanya terlebih dahulu.”
---
Kebenaran yang Terpecah
Rama Gede membawa Aydan dan Suji ke bawah menara, ke dalam ruang bawah tanah.
Di sana, tersimpan gulungan-gulungan kitab tua milik para Penjaga sejak zaman leluhur. Tapi banyak dari mereka telah dibakar. Hanya satu yang masih utuh: Kitab Pemanggilan Gerbang Jiwa, yang hanya bisa dibuka oleh darah warisan.
Rama berkata:
> “Kalasēthra tidak bisa dihancurkan hanya dengan cahaya atau keberanian.
Ia harus dilawan di tempatnya sendiri.
Tapi gerbang ke dunianya... hanya bisa dibuka oleh darah seperti milikmu.”
Aydan menatap Suji. “Apa ini benar?”
Suji mengangguk berat. “Itu sebabnya selama ini kami menjagamu. Karena kamulah satu-satunya pintu, dan satu-satunya kunci.”
---
Pilihan Tanpa Jalan Mundur
Rama menawarkan dua jalan:
1. Aydan menolak dan melanjutkan perang dengan cara lama—memburu bayangan, menutup celah demi celah, seumur hidup.
2. Atau... Aydan membuka gerbang, memasuki dunia Kalasethra, dan mengakhiri segalanya dari dalam.
Tapi syaratnya: Ia harus mati di dunia ini terlebih dahulu.
Agar jiwanya bisa menembus lapisan batas.
“Kalau kau masuk... tidak ada jaminan kau akan kembali,” kata Suji dengan mata basah.
Aydan diam lama. Tapi dalam diamnya, ia tahu—ini bukan lagi soal hidupnya.
Ini soal dunia yang harus diselamatkan dari warisan yang ia tak pernah minta, tapi harus ia tutup.
---
Ritual Pengorbanan
Ritual dilakukan di ruang paling bawah menara. Aydan duduk di tengah lingkaran tujuh segitiga. Suji dan Rama berdiri di sisi berlawanan, cahaya dan bayangan—dua kutub yang akhirnya bersatu, entah sebagai kawan atau musuh.
Aydan menutup mata. Ia menyerahkan diri.
Dan saat darahnya menetes ke lantai...
...dunia runtuh.
---
Bangkit di Dunia Kalasethra
Aydan terbangun dalam dunia tanpa langit. Segalanya abu-abu, seperti dunia dalam mimpi buruk.
Ia berjalan, sendirian. Tapi langkahnya mantap.
Di kejauhan, makhluk-makhluk raksasa bergerak perlahan, seperti bayangan yang mencari bentuk. Di atas gunung hitam, berdiri istana berbalut asap tebal.
Dan di balik gerbangnya, terdengar suara:
> “Akhirnya kau datang, pewaris.”
“Kami menunggumu... untuk mengakhiri semuanya.”
“Atau... menjadi raja kami.”
---
Bayang-Bayang Dunia Dalam
Di dunia Kalasethra, waktu tidak berjalan seperti di dunia manusia. Aydan berjalan di hamparan tanpa ujung, namun rasanya ia tidak pernah maju. Langit tidak ada. Suara angin pun hening. Yang ia dengar hanyalah detak jantungnya sendiri—kadang cepat, kadang lambat.
Dunia ini seperti cermin kabur dari alam manusia: ada gunung, ada istana, ada sungai, tapi semuanya abu-abu dan tanpa tepi. Saat ia mencoba menengok ke belakang, ia hanya melihat dirinya sendiri, berdiri dalam jarak yang tak mungkin.
> “Selamat datang, Anak Mata Ketiga…”
Suara itu datang dari langit dan tanah sekaligus.
> “Kami telah memanggilmu sejak kau lahir. Kau datang… bukan untuk membunuh kami. Tapi untuk menyatu.”
Tiba-tiba tanah di bawahnya terbuka. Dari sana muncul makhluk bersayap gelap dengan wajah menyerupai ibunya. Ia menjerit.
“AYDAN! Kenapa kau lahir?!”
Aydan mundur. Tapi suara itu menusuk pikirannya. Ia tahu—ini bukan ibunya. Ini adalah Roh Penyesalan, entitas pertama yang harus ia hadapi.
> “Kau tidak diinginkan.
Kau diratapi sejak kau bayi.
Bahkan ibumu sempat berpikir mengakhiri hidupmu.
Kau adalah SIAL yang tumbuh jadi dendam.”
Aydan jatuh berlutut.
Tapi dari kalungnya, cahaya tipis keluar—cahaya yang berasal dari segitiga warisan. Ia meraih cahaya itu, dan berkata:
> “Aku tidak memilih lahir. Tapi aku memilih untuk tidak menjadi seperti kalian.”
Ia menghunuskan cahaya itu ke dada roh itu—dan sosok menyerupai ibunya meleleh menjadi arang.
---
Koridor Tujuh Dosa
Setelah pertempuran itu, Aydan menemukan sebuah jalan batu menuju istana. Di depannya berdiri gerbang bertuliskan simbol-simbol kuno. Di belakangnya, tujuh pintu besar berderet seperti ujian.
Suara dalam kepalanya berkata:
> “Sebelum kau temui Aku, hadapi tujuh bayangan dunia manusia:
1. Ketakutan
2. Kemarahan
3. Keserakahan
4. Rasa bersalah
5. Kesepian
6. Kebencian
7. Keraguan diri”
Setiap pintu membawanya ke versi lain dari dirinya:
Di pintu ketakutan, ia berhadapan dengan dirinya sendiri yang bersembunyi dari dunia, tubuh gemetar melihat wajah-wajah yang membencinya.
Di pintu kemarahan, ia adalah sosok yang membakar desa tempat ia dibesarkan.
Di pintu rasa bersalah, ia melihat makam ibunya… dan dirinya yang duduk menangis selama berhari-hari.
Dan di pintu kebencian, ia menjadi bayangan Kalasethra itu sendiri—menikmati penderitaan orang-orang yang dulu menyakitinya.
Namun di setiap pintu, Aydan tidak melawan dengan kekuatan. Ia memaafkan. Bahkan saat wajah sang ayah muncul di pintu terakhir—dan berkata, “Aku meninggalkanmu bukan karena cinta, tapi karena takut padamu,” Aydan hanya menutup matanya, dan berkata:
> “Aku memaafkanmu. Karena aku bukan kelanjutan dari kesalahanmu.”
---
Pertemuan Dengan Kalasethra
Setelah melewati ketujuh pintu, Aydan akhirnya tiba di ruang tak berujung. Di sana berdiri Kalasethra—sosok raksasa berwajah seribu, dengan mata di seluruh tubuh dan tangan yang bisa menjangkau langit.
> “Kau berhasil sampai sini.
Tapi tidak untuk menghancurkan.
Aku adalah semua luka dunia.
Jika aku hilang... dunia tak akan belajar apa pun.”
Aydan menatapnya, tanpa takut.
“Aku tidak akan membunuhmu, Kalasethra. Tapi aku akan mengurungmu kembali—bukan karena kau jahat, tapi karena dunia butuh waktu untuk sembuh darimu.”
Kalasethra tertawa, menggema di seluruh langit.
> “Beraninya kau, anak sial.
Maka mari kita mulai... pertarungan antara Takdir dan Pilihan.”
---
Pertarungan Tanpa Akhir
Ritual dimulai. Dunia bergetar. Kalasethra berubah bentuk terus menerus: menjadi bayangan ibunya, gurunya, sahabatnya, bahkan dirinya sendiri.
Aydan jatuh. Berkali-kali. Tapi ia terus bangkit.
Ia mengingat kata-kata Ki Sanur:
> “Bayangan hanya menang kalau kau berhenti percaya pada cahaya yang kecil dalam dirimu.”
Dan saat Kalasethra hampir menang… Aydan memecah kalung segitiganya, menyebar cahayanya ke seluruh dunia Kalasethra.
> “Aku tidak sial.
Aku hanya lahir untuk mengakhiri luka ini.”
Cahaya meledak. Dan dunia Kalasethra mulai runtuh.
---
Saat segalanya hancur, Aydan tak merasa takut.
Ia merasa... tenang.
Tapi sebelum semuanya gelap, ia mendengar suara-suara:
> “Aydan!”
“Bangun!”
“Kau belum selesai!”