Tiga hari setelah keluar dari Wana Jiwa, Aydan meninggalkan Gunung Rembang dengan beban baru: pengetahuan bahwa dirinya adalah warisan dari perjanjian tua, bahwa Kalasethra sedang bangkit, dan bahwa dunia mungkin akan runtuh jika ia gagal.
Ki Sanur membekalinya dengan kain pelindung dari abu pusaka, mantra penjaga jiwa, dan sebuah keping logam tua berbentuk bulan separuh—tanda pengenal para Penjaga.
“Bawalah ini ke Lereng Andalas,” kata Ki Sanur sebelum berpisah. “Kalau Suji masih hidup, dia akan tahu artinya.”
Lereng Andalas terletak di selatan hutan tropis, dikenal sebagai desa yang "hilang" dari peta sejak beberapa tahun lalu. Tidak ada sinyal, tidak ada pengunjung, dan cerita-cerita menyeramkan terus beredar—konon, suara bayi menangis terdengar dari hutan tiap malam, padahal desa itu tak lagi punya anak kecil.
Aydan tak gentar. Ia tak bisa. Perjalanan ke sana adalah satu-satunya harapan.
---
Perjalanan ke Lereng
Untuk mencapai Lereng Andalas, Aydan harus menyusuri sungai tua yang berkelok tajam, menembus padang ilalang dan lembah berkabut. Satu-satunya alat penunjuk jalannya hanyalah kompas buatan ayahnya yang ditemukan di pondok, dan satu catatan pendek yang diselipkan Raka Surya dalam buku:
> “Suji tak suka cahaya terang. Jika kau ingin menemukannya, cari di tempat paling redup sebelum fajar.”
Selama dua malam, Aydan tidur di hutan, hanya ditemani suara hantu-hantu kecil yang berusaha masuk ke dalam mimpi. Tapi kini ia lebih siap. Ia bisa membedakan antara mimpi dan tipu daya.
Di malam ketiga, kabut turun lebih tebal dari biasanya. Langkahnya melambat saat pepohonan mulai jarang dan udara terasa... mati. Tidak ada jangkrik. Tidak ada burung. Bahkan angin pun berhenti.
Di depan, terlihat gerbang bambu tua berlumut. Di atasnya, papan kayu retak bertuliskan:
> “Selamat datang di Andalas.”
---
Desa yang Tidak Bernyawa
Lereng Andalas tampak seperti desa mati. Rumah-rumah berdiri tanpa suara, jendela terbuka tetapi kosong. Kain putih menggantung di banyak pintu—tanda berkabung.
Aydan berjalan perlahan. Tanah di bawahnya lunak seperti lumpur yang belum mengering. Tapi anehnya, tidak ada bau bangkai, tidak ada bekas pertempuran. Hanya... sunyi.
Di tengah desa, ada sumur tua. Di tepinya, tertulis dengan darah:
> “Mata ketiga = Mata neraka.”
Aydan mendekati salah satu rumah. Pintu kayu tua berderit saat disentuh. Dalam ruangan gelap itu, ia melihat boneka-boneka jerami tertata dalam posisi duduk, memandangi dinding dengan mata kancing hitam. Di dinding, simbol Kalasethra dicoret berulang-ulang seperti obsesi gila.
“Suji... kamu ada di sini?”
Tidak ada jawaban. Tapi tiba-tiba… lampu minyak di pojok ruangan menyala sendiri.
Api itu bukan api biasa. Cahaya ungu keabu-abuan menari pelan di dalam kaca lampu.
> “Kenapa kau ke sini?”
Suara itu datang dari belakang.
---
Ibu Suji
Aydan berbalik. Di ambang pintu berdiri seorang perempuan tua. Tubuhnya dibalut kain abu-abu yang penuh tambalan. Rambutnya panjang sampai punggung, dan wajahnya keriput seperti kulit kayu kering. Tapi matanya... matanya seperti danau tak berujung: dalam dan menyimpan luka.
Ia menatap Aydan lama.
> “Kau membawa wajahnya... Raka Surya.”
“Apa dia masih hidup?”
“Tidak sepenuhnya.”
Aydan mengulurkan keping logam bulan separuh. Suji mengambilnya, menggenggamnya erat seperti kenangan lama yang pahit.
“Berarti waktunya sudah tiba,” katanya lirih.
“Kalase... thra... sudah bangkit.”
“Belum utuh. Tapi pintunya sudah terbuka separuh. Dan tanda di dahimu adalah bukti.”
“Aku datang untuk meminta bantuanmu.”
“Aku sudah berhenti bertarung, Nak.”
“Aku tahu. Tapi mungkin... dunia belum berhenti memanggilmu.”
---
Rahasia Desa yang Mati
Di malam itu, Ibu Suji menjelaskan segalanya:
Lereng Andalas bukan mati karena penyakit atau perang. Tapi karena ritual pengorbanan yang ia lakukan sendiri. Suji dulunya adalah Penjaga yang bertugas di sini, menjaga pintu kecil antara dunia roh dan dunia manusia. Namun sepuluh tahun lalu, Kalasethra mencoba masuk lewat salah satu murid Suji.
“Namanya Wira. Bocah pintar. Tapi terlalu rakus. Ia membuka mata ketiganya sendiri tanpa bimbingan. Kalasethra masuk... dan mengambil tubuhnya.”
Untuk menghentikan Kalasethra, Suji mengorbankan seluruh desa. Ia menggunakan ritual penyegelan yang mematikan: membekukan semua roh, semua memori, semua harapan di dalam desa, menjadikannya ruang mati.
“Dan sejak saat itu... aku tak layak disebut Penjaga lagi. Aku hanya... penjaga kuburan.”
---
Ujian Bayangan
Namun malam itu, Kalasethra tahu bahwa dua Penjaga telah berkumpul kembali. Dan ia tidak tinggal diam.
Langit berubah merah darah. Udara desa bergetar. Tanah retak, dan bayangan dari tanah mulai bangkit—bukan roh, tapi sosok dari masa lalu yang terdistorsi.
Wira. Tubuh remaja, tapi wajahnya pecah menjadi banyak mata dan gigi. Ia muncul dari bawah sumur, membawa puluhan bayangan anak-anak dengan wajah hangus.
> “Halo, Suji...
Aku kembali.
Dan aku bawa hadiah untukmu:
Ketakutan yang dulu kau tinggalkan.”
Suji berdiri tegap, meskipun tangannya gemetar. Aydan berdiri di depannya, kalung segitiganya bersinar.
“Biarkan aku yang hadapi dia,” kata Aydan.
“Belum, Nak. Kau belum siap.”
Tapi Aydan tetap maju. Ia menggambar segitiga ganda di tanah, menanam tiga keping garam hitam, dan mengucapkan mantra pengusiran.
> “Yang ditolak oleh dunia, kembali ke dunia asal.
Yang menggunakan tubuh bukan miliknya, kembalilah ke gelap.”
Wira tertawa. “Mantra itu milik ayahmu. Tapi tidak cukup.”
Bayangan melompat. Aydan terhempas. Darah mengalir dari bibirnya. Tapi tepat saat Wira hendak mencengkeramnya...
Suji menancapkan tongkat abu pusaka ke tanah.
Seketika, bayangan membeku. Wira menjerit. Tubuhnya retak. Dan seluruh desa berguncang.
> “Kau boleh jatuh, Aydan...
Tapi jangan runtuh.
Sebab setelah ini...
Akan ada lebih banyak bayangan datang.”
---
Penjaga yang Bangkit Kembali
Setelah pertempuran, desa Lereng Andalas runtuh. Simbol-simbol pelindung meledak, roh-roh yang selama ini disegel akhirnya bebas. Tapi bukan berarti musuh kalah. Kalasethra hanya mengukur kekuatan.
Di pagi berikutnya, Suji mengepak tas kecil.
> “Aku akan ikut denganmu.
Tak peduli berapa banyak kesalahanku,
dunia tetap layak diperjuangkan.”
Aydan tersenyum.
> “Satu Penjaga lagi...
tinggal Rama Gede.”