Fajar belum benar-benar tiba saat Aydan berdiri di pinggir jurang berbatu, di ketinggian Gunung Rembang. Kabut tebal menyelimuti segalanya, menyembunyikan tepi langit dan lembah yang dalam di bawah. Di belakangnya, Ki Sanur berdiri diam, membawa tongkat tua yang bergetar pelan di tangannya.
“Tempat ini disebut orang-orang tua sebagai Wana Jiwa, hutan yang tak bisa kau sentuh dengan kaki, tapi hanya dengan keberanian. Di sinilah batas dunia terbuka bagi mereka yang memiliki darah ‘pembuka pintu’,” kata Ki Sanur sambil menatap kabut.
Aydan menelan ludah. “Dan Ayahku ada di sana?”
Ki Sanur tidak menjawab secara langsung. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mulai menaburkan garam hitam di tanah membentuk lingkaran di antara akar-akar pohon besar yang tumbuh melingkar.
“Duduk di tengahnya. Apa pun yang kau lihat nanti, jangan berbicara kecuali kau yakin siapa yang berbicara padamu. Dunia ini penuh tiruan.”
Aydan memejamkan mata, mengikuti perintahnya. Tangannya menggenggam erat kalung segitiga yang kini mulai terasa hangat di dada. Kabut perlahan menelan segalanya, suara hutan menghilang. Hening. Seperti dunia menarik napas panjang sebelum waktu dilipat.
---
Perjalanan ke Dalam Diri
Ketika Aydan membuka mata, ia berada di tempat yang benar-benar asing. Langit berwarna kelabu redup, seperti sore yang tak pernah selesai. Pohon-pohon berdiri tanpa daun, dan tanah di bawahnya bergetar pelan seperti nadi.
Wana Jiwa.
Aydan mulai berjalan. Di sekelilingnya, bisikan menggema dari udara.
> “Aydan... Aydan... Kau datang akhirnya...”
“Bocah darah pintu... kau akan membebaskan kami...”
“Atau kau akan mengulang kesalahan ayahmu...”
Aydan menggigit bibir. Ia tahu: suara-suara ini bukan sekadar roh gentayangan, tapi sisa-sisa dari mereka yang pernah menantang Kalasethra... dan kalah.
Tiba-tiba, ia melihatnya.
Sebuah danau. Tapi airnya hitam pekat, seperti cermin cair yang memantulkan kenangan. Di tengah danau, ada pulau kecil yang ditumbuhi satu pohon tua—pohon itu berwarna putih, bercahaya, dan akarnya mengambang di udara.
Di bawah pohon itu, duduk seseorang. Tegap. Tenang. Wajahnya menghadap ke arah Aydan.
Langkah Aydan terhenti.
“...Ayah?”
---
Pertemuan yang Tak Pernah Ada
Sosok itu menoleh perlahan.
Raka Surya. Pria yang selama ini hanya hidup dalam cerita Ibu. Wajahnya tampak lebih tua dari yang Aydan bayangkan, penuh luka dan ketegangan. Tapi matanya—mata yang sama dengan Aydan—berkilau lembut.
“Kau sudah sejauh ini... aku tidak layak menerimamu di sini, Nak. Tapi kau datang.”
Aydan ingin berlari, memeluk, menumpahkan air mata. Tapi tubuhnya kaku. Emosi bertabrakan seperti ombak dalam dada.
“Kenapa kau pergi? Kenapa kau tidak kembali? Kau tahu mereka menyalahkan aku karena ‘berbeda’. Mereka bilang aku pembawa sial!”
Raka Surya menunduk.
“Aku pergi bukan karena takut... Tapi karena waktu itu, Kalasethra sudah mulai menyatu denganku. Aku tahu kalau aku tetap tinggal, aku akan jadi jalan mereka masuk ke dunia ini sepenuhnya. Aku memilih dikurung di sini... agar kalian bisa bebas.”
“Tapi aku tak bebas, Ayah. Aku ditandai. Aku... dicari mereka.”
Raka berdiri. Matanya menatap Aydan, dalam dan berat.
“Karena darah kita adalah janji tua, Aydan. Dulu, nenek moyang kita pernah membuat perjanjian dengan entitas seperti Kalasethra, demi kekuatan melihat dua dunia. Tapi setiap kekuatan ada gantinya. Dan gantinya... adalah satu pewaris di setiap generasi yang akan membuka pintu itu kembali.”
---
Peringatan dan Pilihan
Aydan jatuh terduduk. Dunia terasa runtuh. Ia adalah bagian dari perjanjian yang ia tidak pernah setujui. Ia hanya anak kecil yang bisa melihat bayangan—dan sekarang ia harus menanggung sejarah keluarga yang dipenuhi dosa.
“Kalau begitu, aku bisa menolak, kan? Aku tak mau menjadi pembuka. Aku... hanya ingin hidup normal.”
Ayahnya mendekat, berlutut di hadapannya. “Kalau kau memilih pergi sekarang, kau bisa. Tapi Kalasethra tidak akan berhenti. Dan lain waktu, mereka akan datang pada adikmu... atau anakmu kelak... atau desa ini...”
“Apa tidak ada cara memutusnya?”
Raka Surya menarik napas. “Ada satu... tapi risikonya adalah kau harus menantang mereka di dunia asalnya. Bukan sekadar mengusir... tapi menghancurkan ikatan itu sendiri. Dan satu-satunya jalan... adalah membuka pintu sepenuhnya dari pihak kita.”
“Membuka pintu? Bukankah itu... artinya mengundang mereka masuk?”
“Benar. Tapi juga satu-satunya cara untuk menghancurkan mereka selamanya. Sekali pintu terbuka dan penjaganya siap, Kalasethra bisa dikurung, bukan hanya ditolak.”
---
Titik Balik
Aydan berdiri. Dalam pikirannya, perasaan takut dan berani bertarung. Tapi satu hal pasti: ia tak akan lari seperti yang dikatakan banyak orang. Ia tidak pembawa sial. Ia pembawa pilihan.
“Apa yang harus kulakukan, Ayah?”
Ayahnya tersenyum. “Bangun. Dan bangkitkan para Penjaga lainnya. Aku sudah kirimkan serpihan kekuatanku padamu... Tapi kau butuh lebih. Carilah Suji dan Gede. Mereka... mungkin masih bisa diajak berjuang.”
Tiba-tiba, dunia mulai bergetar.
“Waktumu habis. Gerbang mulai tertutup. Dan Kalasethra tahu kau telah bangkit. Hati-hati... tidak semua yang mengaku sebagai Penjaga, adalah temanmu.”
“Ayah! Tunggu—!”
Tapi semuanya menghilang. Dunia terbalik. Cahaya dari langit menyilaukan. Dan Aydan...
---
Kembali ke Dunia Nyata
...terbangun di pelukan Ki Sanur, napasnya ngos-ngosan.
“Kau bertemu dengannya?” tanya sang penjaga tua.
Aydan hanya mengangguk. Mata ketiganya berkedip—dan kini membentuk garis merah samar di dahinya, simbol ikatan jiwa.
“Mereka tahu aku datang. Mereka akan mulai menyerang sebelum aku menemukan para Penjaga.”
Ki Sanur menghela napas. “Dan itulah harga dari kebenaran. Sekarang... waktumu tinggal sedikit. Karena Kalasethra akan mengirimkan utusannya yang paling kejam—mereka yang dulunya manusia, tapi menyerahkan dirinya demi kekuatan.”
Aydan berdiri. Tubuhnya lelah. Tapi jiwanya nyala.
“Maka sekarang, aku bukan lagi anak pembawa sial.
Aku adalah warisan terakhir.”