Bab 10: Cahaya yang Masih Menyala

Tiga hari setelah serangan bayangan di rumahnya, Aydan memutuskan untuk memulai perjalanan. Ia tak bisa lagi hanya menunggu serangan berikutnya datang. Ia harus mencari mereka yang disebut "Penjaga."

Satu-satunya petunjuk yang paling dekat dan belum terbantahkan:

> Ki Sanur – Gunung Rembang.

Letaknya sekitar dua hari perjalanan dari Desa Karangjati, melewati jalan setapak, sungai, dan hutan yang tak dilalui kendaraan.

“Ibu, aku harus pergi. Kalau tetap di sini, aku bukan hanya membahayakan diriku… tapi juga Ibu, dan seluruh desa.”

Bu Rini tak bisa membantah. Air matanya mengalir, tapi ia tahu: anaknya bukan anak biasa. Dunia telah memilihnya.

Sebelum berangkat, ia menyelipkan saputangan putih milik ayah Aydan ke saku anaknya. Di ujungnya tertera inisial yang nyaris hilang: "R.S."

---

Menuju Gunung Rembang

Perjalanan Aydan dipenuhi rintangan kecil: jalanan licin, badai petir, dan gangguan dari bayangan-bayangan kecil yang berbisik di telinganya, mencoba menakuti dan melemahkannya.

Namun Aydan sudah belajar mengabaikan mereka.

Mata ketiganya terbuka, tapi ia mulai menguasainya.

Ia tahu mana roh liar, mana roh penasaran, dan mana yang berasal dari pengaruh Kalasethra.

Di tengah hutan yang sunyi, Aydan tiba di sebuah rumah bambu kecil yang dijaga sebuah patung batu dengan simbol lingkaran ganda di dadanya. Ia tahu: ini simbol penjaga.

---

Pertemuan yang Tak Terduga

Saat ia hendak mengetuk pintu, suara serak menyambut dari dalam:

> “Jika kau tak tahu nama leluhurmu, jangan masuk.”

Aydan diam sejenak, lalu menjawab,

“Aku anak dari Raka Surya. Putra dari Pak Garin—cucu dari yang pernah menyegel Kalasethra di Hutan Randu. Aku datang bukan untuk membangkitkan... tapi untuk menghentikan warisan yang telah dibuka.”

Pintu bambu itu terbuka perlahan. Dari dalam muncul sosok tua berjubah lusuh, mata kirinya tertutup kain hitam, tangan kirinya pincang. Tapi di matanya yang satu, bercahaya seperti obor kecil di tengah kabut.

> “Akhirnya… pewaris datang.”

---

Pelatihan Dimulai

Ki Sanur membawa Aydan ke dalam, ke ruang sempit yang penuh dengan gulungan tua, alat-alat pemanggil roh, dan pusaka leluhur.

Ia menjelaskan bahwa para Penjaga memang hampir punah.

“Kalasēthra tidak bisa masuk ke dunia manusia secara utuh. Ia butuh pembuka. Dan kamu, Aydan... kamu adalah Pembuka sekaligus Penutup.”

“Aku tidak mau membuka.”

“Tapi kamu sudah ditandai. Sekarang satu-satunya jalan... adalah menjadi cukup kuat untuk menutupnya sebelum waktunya habis.”

Malam itu, Aydan mulai berlatih.

Ia belajar mengendalikan mimpi.

Ia belajar mendengar roh tanpa membiarkan pikirannya terserap.

Ia belajar memanggil cahaya dari kalung segitiga.

Namun, ketika tengah malam datang, Ki Sanur berkata:

> “Besok, kau akan kuantar ke tempat terakhir yang bisa menjawab semua pertanyaanmu...

Karena ayahmu...

belum mati.”