Bab 2: Pesan dari Utara

Bab 2 – Pesan dari Utara

Hutan Moonlit Valley selalu sunyi. Pohonnya tinggi-tinggi, daunnya lebat, dan kabutnya tebal sepanjang tahun. Tapi malam ini, suasananya beda. Angin bawa bisikan aneh, kayak suara-suara dari dunia lain yang enggak keliatan.

Di antara pepohonan itu, Miya berdiri di atas cabang pohon, sambil mantengin langit.

Busurnya udah siap, anak panah es terpasang di senar, dan matanya enggak lepas dari cahaya ungu pekat yang nyala di kejauhan.

“Astaga...” bisik Miya pelan. “Aurora... lo beneran manggil gue?”

Di tangannya, ada kristal kecil berwarna biru muda. Itu bukan kristal biasa. Kristal itu ngirimkan pesan langsung dari Menara Es, cuma bisa diaktifin kalau situasinya darurat banget.

Pesannya sederhana:

> “Shadow Abyss kembali. Mereka lebih kuat dari sebelumnya. Kita butuh semua orang. Sekarang.”

Miya ngelirik ke belakang. Di balik kabut, siluet Estes muncul, pelan-pelan jalan sambil bawa tongkat cahaya.

“Aku tahu kamu bakal dapet panggilan itu,” kata Estes dengan suara tenang.

Miya turun dari pohon dan berdiri di depannya. “Berarti... mereka beneran balik?”

Estes mengangguk pelan. “Dan kalau kita lambat sedikit aja, Land of Dawn bisa lenyap.”

Miya mengepalkan tangan. “Oke. Kalau gitu, kita berangkat sekarang.”

---

Sementara itu, di markas rahasia dekat garis tengah Land of Dawn, Lesley lagi ngebersihin senapan panjangnya. Tangannya gesit, matanya fokus. Dia belum tahu soal kabar dari utara, tapi sebagai penembak jarak jauh yang udah ngelewatin ratusan pertempuran, dia bisa ngerasain kalau sesuatu lagi mendekat.

Tiba-tiba, pintu ruangannya kebuka.

Seorang anak muda masuk dengan rambut perak berantakan, wajahnya agak nyebelin, tapi langkahnya cepat dan pasti.

“Lesley! Kita dapet panggilan darurat,” kata Gusion.

Lesley langsung berdiri. “Siapa yang ngirim?”

Gusion nyodorin kristal biru yang sama. “Aurora. Ini bukan latihan. Ini... beneran darurat.”

Lesley narik napas dalam. “Kalau dia sampe kirim beginian, berarti... perang gede bakal mulai lagi.”

Gusion cuma ngangguk. “Lo siap?”

Lesley senyum tipis, lalu narik pelatuk senjatanya. “Gue lahir buat perang.”

---

Di tempat lain, di antara reruntuhan kuil lama yang hampir ketutup debu waktu, Tigreal lagi duduk di atas batu besar, menatap langit sambil doa dalam hati.

Di sisinya, pedang besar menyala redup. Armor-nya udah mulai kusam, tapi auranya masih kuat.

Dari langit, setitik cahaya biru jatuh tepat di depannya. Kristal.

Tigreal melihatnya, lalu berdiri perlahan.

“Kalau kalian semua udah bangkit...” gumamnya pelan. “Maka ini saatnya kita bersatu lagi.”

Dia angkat pedangnya ke langit. Cahaya dari senjata itu langsung memancar—tanda bahwa Sang Komandan Paladin siap turun ke medan perang.

---

Malam itu, di seluruh penjuru Land of Dawn, kristal-kristal biru mulai muncul satu per satu. Mereka datang ke tangan para hero: Lancelot di balik panggung teater gelap, Harith yang lagi ngelamun di atap menara mekanik, sampai Moskov yang sedang bersembunyi di bayang-bayang hutan kematian.

Semua dapet pesan yang sama.

Semua sadar... ini bukan masalah kecil.

Dan ketika semua pahlawan mulai bergerak...

Di sisi lain dunia, sesosok bayangan yang tak tersentuh cahaya... tertawa pelan.