Chapter 2: Cinta yang Tumbuh

Langit sore mulai berubah jingga ketika latihan hari pertama kami selesai. Di halaman belakang rumah Shinomiya yang luas, lima gadis itu duduk santai di rumput, sementara aku berdiri di dekat pagar kayu, masih membaca skrip yang diberikan Sophia.

“Hmm… bagian ini, ketika sang samurai harus memilih salah satu dari kelima wanita… apa nggak terlalu cepat?” tanyaku sambil menoleh ke mereka.

“Justru itu puncaknya, Takeru,” jawab Sophia sambil tersenyum kalem. “Kita harus membuat penonton ikut terhanyut sampai ke bagian itu.”

“Uuuh… kalau sampai saat itu aku yang dipilih, aku harus bilang apa ya?” Lila berbaring di atas rumput, tangan menutupi matanya yang terkena sinar matahari. “Aku takut malah ketawa di atas panggung…”

“Kalau kamu ketawa, jangan salahkan aku kalau pedangku benar-benar melayang ke arahmu,” cibir Yui, duduk bersila dengan kedua tangan menopang dagu.

“Waaah, seram banget…” Lila meringis.

Akira tertawa kecil, lalu memandangku. “Kamu sendiri, Takeru. Gimana rasanya tiba-tiba jadi rebutan lima cewek di drama ini?”

Aku menggaruk tengkuk, sedikit gugup. “A-aku… nggak terbiasa, sih. Bahkan sebagai akting, rasanya aneh.”

Akane, yang sedari tadi hanya mendengarkan, tersentak ketika aku menoleh ke arahnya. Ia buru-buru menunduk, jari-jarinya saling meremas di atas roknya.

“Akane?” panggilku lembut.

“Eh?! Y-ya?!” Suaranya nyaris tercekat.

“Kamu baik-baik saja? Dari tadi diam saja.”

“A-aku… baik-baik saja…” jawabnya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

Sophia tersenyum tipis. “Akane memang seperti itu. Dia butuh waktu untuk terbiasa dengan orang baru.”

“Yah… jangan kaget kalau tiba-tiba dia meledak,” tambah Akira dengan senyum jail.

Akane menggembungkan pipinya, protes tanpa kata. Melihat itu, aku tersenyum kecil.

Mungkin… ada sesuatu yang membuatnya lebih sulit terbuka.

Malam hari – Ruang tamu rumah Shinomiya

Kami semua berkumpul untuk makan malam. Meja besar dipenuhi aroma masakan rumahan yang menggoda.

“Ini kelihatannya enak banget…” kataku takjub.

“Karena Akira dan Akane yang masak,” jelas Sophia. “Mereka yang paling jago di dapur.”

Akira menyeringai. “Kalau nggak enak, jangan salahkan aku. Bilang saja Akane yang gagal.”

“A-akira! Jangan fitnah… aku hanya membantu sedikit…” Akane buru-buru membantah, pipinya merah.

Lila menyuapkan sendok ke mulutnya, lalu bersorak riang. “Uwaaah! Ini beneran enak banget! Takeru, kamu harus coba!” Ia mengambil sepotong karaage, hendak menyuapkannya ke mulutku.

“Eh?! Nggak perlu, aku bisa—”

“Ah—aaaah!” Lila mendekat sambil tersenyum nakal.

“Lila! Jangan ganggu orang makan!” bentak Yui, wajahnya merah entah karena marah atau malu.

“Ehehe~” Lila menarik kembali sendoknya sambil terkekeh.

Suasana makan malam terasa hangat… seperti keluarga sungguhan. Tapi di tengah gelak tawa mereka, aku sempat melihat Sophia menatap sebuah bingkai foto di rak sudut ruang tamu. Matanya redup, seperti menyimpan sesuatu.

Di situ juga ada seseorang yang menatap kami dari tadi di lantai dua, aku pikir dia adalah kepala keluarga shinomiya.

Setelah makan – Kamar tamu

Aku berjalan sendirian ke kamar yang disiapkan untukku. Rumah mereka sangat besar hingga terasa seperti labirin. Saat melewati lorong, aku melihat pintu kamar sedikit terbuka. Dari dalam, terdengar suara Lila.

“…Kalau kita bukan kembar sungguhan, bagaimana menurutmu?”

Jantungku berdetak kencang. Aku berhenti, tapi tak sengaja membuat lantai berdecit.

Suara itu langsung hilang.

“Siapa di luar?!” Yui berseru.

Aku panik. “A-ah! Maaf! Aku nggak sengaja lewat! Sumpah aku nggak denger apa-apa!”

Langkah cepat terdengar mendekat, lalu pintu terbuka. Yui berdiri di sana dengan tangan di pinggang.

“Hmph. Jangan intip kamar cewek, dasar mesum.”

“B-bukan begitu…!” ujarku pasrah.

Lila mengintip dari balik Yui, tersenyum canggung. “Maaf ya, Takeru… kita cuma ngobrol ringan. Nggak ada yang serius kok.”

Aku mengangguk cepat dan berlari menuju kamarku. Tapi kata-kata Lila tadi terus terngiang di kepalaku.

“Kalau kita bukan kembar sungguhan…”

Apa maksudnya itu?

Malam semakin larut. Aku berbaring di kasur empuk, menatap langit-langit kamar. Angin malam membawa aroma bunga dari taman luar.

“Lima saudara perempuan… hidup bersama… tapi kenapa rasanya ada sesuatu yang mereka sembunyikan?”

Aku memejamkan mata, mencoba menghapus pikiran itu.

Tapi di sudut hatiku, ada bisikan pelan.

“Takeru… jangan percaya begitu saja.”

Hari-hari berlalu begitu cepat, seperti lembar kalender yang terbang tertiup angin musim semi. Latihan demi latihan telah kami jalani, kadang penuh tawa, kadang penuh lelah. Dan kini, hanya tinggal dua hari lagi sebelum pertunjukan teater yang telah kami persiapkan selama ini benar-benar digelar.

Pagi itu, saat aku sedang berjalan di jalan biasa menuju sekolah, aku melihat sosok yang sangat familiar melambai dari kejauhan.

“Hei! Selamat pagi, Takeru!” teriak Lila, sambil berlari kecil menghampiriku.

“Ah, Lila. Pagi juga,” jawabku sambil tersenyum.

“Heh… Kamu tahu nggak? Aku deg-degan banget, tau,” katanya sambil memeluk lengannya sendiri dan menunduk gelisah.

“Deg-degan kenapa?” tanyaku sambil menoleh padanya.

“Dua hari lagi kita tampil… dan aku belum siap. Aku takut banget salah di atas panggung.”

Aku terkekeh kecil. “Kirain kenapa. Santai aja, Lila. Kita udah latihan keras. Semua pasti lancar.”

“Iya sih… tapi ini pertama kalinya aku tampil di teater. Aku takut nge-blank atau ngomongnya belibet…”

Aku menepuk ringan kepalanya. “Kalau kamu gugup… cukup lihat aku. Kita sudah bareng dari awal. Pasti bisa.”

Lila menoleh padaku, pipinya memerah sedikit. Tapi ia hanya menjawab pelan, “Iya…”

Sesampainya di kelas, Lila langsung menyapa yang lain.

“Pagi semuanya~!”

“Pagi juga,” balas Sophia sambil membereskan catatan.

Akira memiringkan kepala sedikit, lalu melirik ke arah kami. “Kalian… berdua janjian bareng, ya?”

“Ah, enggak. Tadi aku ketemu Takeru pas di jalan, terus sekalian jalan bareng deh,” jelas Lila cepat.

“Begitu, ya…” Akira tersenyum tipis, namun nada suaranya terdengar… aneh.

“Ada apa?” tanya Lila, sedikit curiga.

“Eh? Nggak, nggak ada apa-apa kok,” jawab Akira cepat sambil mengalihkan pandangan.

Lalu pembicaraan berganti soal properti dan kostum. Semua dalam kondisi siap, dan suasana kelas terasa dipenuhi antusiasme menjelang pertunjukan.

Dua hari kemudian…

Suasana di balik panggung teater sekolah begitu ramai. Dentingan alat musik, suara percakapan, tawa gugup… semuanya menyatu dalam irama menjelang pentas besar.

Guru pembimbing berdiri di depan kami. “Anak-anak, sesuai jadwal, giliran kalian sebentar lagi. Ibu harap semua sudah siap, dan ingat… yang paling penting adalah nikmati penampilan kalian.”

“BAIIIK!!” jawab kami serempak.

Sophia memandang kami semua. “Gimana? Udah siap?”

“Siap nggak siap… ya harus siap,” jawabku sambil menghela napas.

“Yah… kamu bener juga,” Yui menimpali, nada bicaranya malas seperti biasa.

Kami bersatu, mengangkat tangan bersama, “SEMANGAAAT…!!!”

Peserta demi Peserta telah tampil dengan baik, semua peserta sudah selesai ini saatnya giliran kita untuk tampil. Kami berjalan bersama menuju teater mempersiapkan diri kita untuk memulai penampilan kita.

Ketika tirai panggung terbuka, kami pun mulai bermain. Dialog demi dialog, aksi dan ekspresi… semua mengalir tanpa hambatan. Sorotan lampu, napas penonton yang tertahan… membuat detak jantungku berdetak lebih cepat.

Sampai akhirnya… kami tiba di adegan terakhir. Adegan di mana sang samurai memilih satu dari lima gadis yang mencintainya.

Akira maju dengan gaya khasnya, tangan di pinggang. “Kau keren juga, Takeru. Tapi jangan berpikir aku akan jatuh cinta hanya karena itu, ya!”

Lila berlari kecil sambil menepuk bahuku. “Takeru, kamu bikin jantungku deg-degan banget! Beneran, kayak malaikat jatuh dari langit~”

Sophia menyisir rambut panjangnya ke samping dengan anggun. “Sejak awal, aku sudah tahu kamu istimewa. Tapi hari ini, kamu membuktikannya di depan semua orang.”

Yui menoleh pelan, pipinya memerah. “I-Itu… cuma perasaanku aja, sih!!! Tapi… kamu agak… lumayan… b-bodoh.”

Dan terakhir, Akane berdiri jauh dari kami semua, memegang kotak bento kecil.

“T-Takeru…” katanya pelan. “Aku tahu… aku bukan seperti mereka yang bisa bicara mudah. Tapi aku… aku selalu memperhatikanmu… dari jauh.”

Langkahku membawaku ke arahnya. Aku menatapnya lembut.

“Akane… Aku melihatmu. Saat aku lelah, kamu diam-diam menyelipkan teh hangat di mejaku. Saat aku bingung, kamu tersenyum dari kejauhan. Aku tahu kamu ada.”

Tangannya sedikit gemetar saat memegang bento.

“Aku nggak berharap kau memilihku…” katanya lirih. “Aku cuma ingin kamu bahagia.”

Aku tersenyum, mengambil bento itu dan menggenggam tangannya.

“Bagiku, kamu adalah rumah… Akane. Saat dunia terlalu ribut, kamu diam. Tapi kamu ada. Dan itu cukup… untuk membuatku jatuh cinta.”

Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Lalu, dengan lembut, aku memeluknya.

Kelopak bunga sakura beterbangan… entah dari mana. Bukan musimnya, tapi rasanya sangat pas.

“Kita nggak perlu banyak bicara…” bisikku. “Yang penting, hati ini… milikmu.”

Tirai pun perlahan turun, disambut sorakan dan tepuk tangan yang menggema di seluruh ruangan.

[Lokasi: Lapangan belakang sekolah]

“Yahhh… akhirnya selesai juga,” ucap Lila sambil merentangkan tangannya ke langit.

“Benar-benar… melelahkan,” tambah Yui, menghela napas panjang.

Akane berdiri di sisi lain, wajahnya masih sedikit merah. “Y-yah… b-benar…”

Yui meliriknya tajam. “Kenapa kamu gugup banget, hah?”

“Eh!? A-apa maksudmu?”

Yui menyilangkan tangan di dada, suara cemburunya tak bisa ditutupi. “Pasti senang banget kan bisa dipeluk di atas panggung?”

“M-mana adaaa! I-itu kan bagian dari naskah!” jawab Akane, panik.

Sophia menyeringai. “Hmm~ jangan-jangan kamu yang cemburu, Yui?”

“Hah!? M-mana mungkin! Hmph!”

Akira datang sambil membawa minuman, mencoba mencairkan suasana. “Sudahlah~ Yang penting kita berhasil tampil sempurna, kan?”

Aku pun datang membawakan makanan ringan. “Udah… ayo kita rayakan dulu. Untuk malam ini… kita nikmati kebersamaan.”

“AYO!!!” seru mereka bersamaan.