Langit pagi menyambutku dengan warna biru pucat yang dibingkai lembut oleh awan tipis. Aku berdiri di depan gerbang sekolah baruku—SMA Sakura—sambil menarik napas panjang.
Namaku Takeru Minamoto, dan hari ini adalah awal dari kehidupan baruku.
Setelah kedua orang tuaku dipindah tugaskan ke luar kota, aku tak punya pilihan selain tinggal bersama nenek di pinggiran kota ini. Sayangnya, kebersamaan itu tak berlangsung lama. Nenek jatuh sakit... dan meski operasi demi operasi dilakukan, Tuhan berkehendak lain. Ia meninggalkan dunia ini, dan meninggalkan kesepian yang menggantung dalam hidupku.
Namun aku tahu, aku harus terus melangkah.
Langkah pertamaku dimulai di sini—di sekolah yang berada tak jauh dari rumah nenek.
Begitu melewati gerbang, aku mendengar keramaian khas pagi sekolah. Suara tawa, percakapan yang saling bersahutan, dan langkah kaki yang terburu-buru. Aku berjalan menyusuri koridor, berusaha mencari ruang guru untuk melapor.
“Hei, kamu baru ya?”
Suara ceria itu menghentikan langkahku. Aku menoleh dan melihat seorang gadis dengan rambut pendek yang dikuncir tinggi, mengenakan seragam sekolah dengan cara yang agak santai.
Senyumnya cerah, dan caranya menatapku membuatku sedikit gugup.
“A-aah… iya,” jawabku sambil sedikit membungkuk. “Aku murid baru di sini. Mohon bimbingannya…”
“Senang bertemu denganmu!” katanya sambil mengulurkan tangan. “Namaku Shinomiya Akira. Aku anggota klub memasak. Kalau kamu butuh sesuatu, jangan ragu cari aku ya!”
Sebelum aku sempat membalas, dia melambai kecil dan berjalan menjauh, meninggalkan aroma sabun dan semangat pagi yang masih menggantung di udara.
Aku pun melanjutkan langkahku ke kantin. Perutku mulai protes.
Setelah memesan roti isi dan segelas susu kotak, aku duduk di meja paling dekat jendela. Udara pagi terasa segar masuk melalui celah, menenangkan pikiranku yang masih penuh kecanggungan.
“Permisi… boleh aku duduk di sini?”
Seorang gadis lain datang, membawa nampan makanan. Rambut panjangnya berkilau saat tertimpa cahaya matahari, dan senyumnya… seperti melodi yang menenangkan hati.
“Ah, tentu. Silakan duduk,” jawabku.
“Terima kasih. Namaku Shinomiya Lila. Senang bertemu denganmu.”
“Aku Takeru Minamoto. Sama-sama senang bertemu denganmu.”
Kami pun mengobrol ringan. Lila sangat ceria—obrolannya mengalir begitu alami hingga aku hampir lupa kalau aku masih anak baru.
Tak lama setelah itu, kami pun berpisah. Tapi langkahku kembali terhenti saat aku menabrak seseorang di lorong.
“A-aduuh…”
Dokumen-dokumen berhamburan. Aku langsung jongkok dan membantu mengumpulkannya. Saat aku mengangkat wajah, aku secara tak sengaja melihat sesuatu yang… harusnya tidak kulihat.
Panik, aku langsung memalingkan wajah. “Ma-maaf! Aku nggak sengaja—!”
“Tidak apa-apa. Terima kasih sudah membantu,” katanya dengan suara tenang.
Ia menerima dokumen dariku dan tersenyum lembut.
“Aku yang salah juga, sih. Tapi… kalau boleh, kamu bantu antar ini ke kantor guru? Berat juga ternyata…”
“Tentu. Biar aku bantu saja.”
Setelah menaruh dokumen-dokumen itu di ruang guru, ia menatapku sejenak sebelum memperkenalkan diri.
“Namaku Shinomiya Sophia. Ketua OSIS di sini.”
“Ah! Minamoto… Takeru Minamoto. Senang bertemu denganmu.”
Kami pun berpisah setelah itu. Entah mengapa, hari ini aku bertemu banyak gadis... dan semuanya bernama Shinomiya?
“Baik anak-anak, kita kedatangan murid baru hari ini. Silakan perkenalkan diri.”
Aku berdiri di depan kelas, berusaha tetap tenang meski ada puluhan mata yang menatapku.
“Halo, aku Takeru Minamoto. Aku murid pindahan. Mohon bimbingannya.”
Tak lama setelah duduk, aku melirik gadis di sebelahku. Ia cantik, dengan rambut hitam panjang dan aura yang agak… dingin?
“Ada apa?” tanyanya dengan nada tajam, menyadari lirikan itu.
“Eh! Tidak, tidak… aku cuma… ya.”
Aku menunduk, malu sendiri.
Di waktu istirahat, tiga murid laki-laki menghampiriku.
“Oy bro, kenalin. Gue Mizuki Haruno. Panggil aja Mizu.”
“Gue Kurogane Izumi. Ini Kazutora Hikari.”
Kami pun pergi ke kantin bersama, membicarakan hal yang langsung membuat telingaku panas.
“Murid-murid paling populer di sekolah ini ada lima, dan mereka semua saudara perempuan!” ujar Izumi.
“Serius?” tanyaku.
Mereka menyebut satu per satu:
Shinomiya Yui, si tsundere.
Shinomiya Akane, si pemalu.
Shinomiya Sophia, sang ketua OSIS.
Shinomiya Lila, gadis ceria.
Dan Shinomiya Akira, si tomboy ramah.
Aku tercekat. Semua gadis yang kutemui hari ini... masuk dalam daftar itu!?
“Jangan-jangan… aku baru saja memulai hidup di harem sekolah…” gumamku dalam hati, panik.
Kelas kami akan menampilkan drama di acara sekolah. Pembagian kelompok pun berlangsung.
Kelompok satu :
Nazukawa Harumi
Kanade Yori
Kazutora Hikari
Asaki Chika
Tajima Nao
Anane Yuna
Jouki Kobasa
Kelompok dua :
Eva Celia
Sakura Ajima
Kurogane Izumi
Haruki Fujiyama
Asawa Himari
Fubuki Asami
Ichigo Namaru
Kelompok tiga :
Lila Takana
Akira Matsumoto
Sophia Nakahara
Yui Watanabe
Akane Shinoda
Takeru Minamoto
Kelompok empat :
Mizuki Haruno
Hana Takumi
Subaru Takeshi
Mizuki Masha
Cynthia Bailey
Asano Ayano
Kelompok lima :
Shimazaki Kama
Haruka Nakagawa
Shizuku Tami
Ayumi Hamasaki
Karade Sora
Tomori Akano
Kamizaka Riku
Kelompok enam :
Nanami Karade
Yae Kamichi
Uchiwara kazu
Amelia Youchi
Mana Sakachi
Misono Mia
Setelah pembagian kelompok secara acak, aku mendapati diriku berada di grup… bersama lima gadis Shinomiya.
“Tidak menyangka kita sekelompok, ya!” kata Akira sambil menyenggol lenganku.
Lila juga tersenyum ceria, “Kayaknya kamu sudah berjodoh sama keluarga kami, ya?”
Sophia mengangguk, “Takeru, kerja samanya ya. Kita akan tampil bagus.”
Yui hanya menghela napas, seolah menahan komentar. Dan Akane... tampak gugup, tapi sesekali mencuri pandang ke arahku.
Tak lama Yui tiba-tiba berbicara dengan nada yang malas. "Nah.....siapa yang punya ide angkat tangan."
Mereka semua berfikir untuk tema yang akan mereka ambil.
"Bagaimana kalau tentang hal yang romantis?" ujar Sophia.
Akane sedikit gugup tapi ia percaya diri. "A-atau tentang yang berbau misteri? Seperti ada plotwis di dalam ceritanya?"
"Ini saja, bagaimana kalau tentang lima saudara yang merebutkan satu cowok, karena di kelompok kita hanya ada satu cowok!!" kata Lila dengan Pedenya.
Akane menjawab dengan suara yang lembut dengan nada yang malu. "A-aku rasa......untuk yang itu agak sensitif deh."
"Maksudmu kayak Go-tob**?" Ucap Akira dengan polosnya.
Yui berjalan menghampiri Akira sambil menutup mulut Akira, dengan nada yang sedikit marah. "Hampir saja, lain kali kalo ngomong di jaga ya...!!"
Akane menghelakan nafasnya dengan perasaan lega. "Hampir saja di sebut namanya."
Yui melirik ke arah ku. "Bagaimana dengan mu Takeru?"
"Aku?.....eeee.......bagaimana kalau tentang kesatria yang terlahir Kembali?"
"Terlalu pusing, aku tidak yakin harus memilih yang mana." Kata Yui.
Setelah berfikir lama untuk menentukan tema yang akan di ambil, akhirnya kami memutuskan untuk sepakat untuk menggunakan tema tersebut.
"Bagaimana kalau seorang samurai yang dikelilingi lima wanita pejuang." kata Sophia sambil berdiri.
"Kedengarannya tidak terlalu buruk, yakan?" Kata Akira Sambil memperhatikan teman-temannya.
Akane ikut berbicara. "Aku sih ngikut saja."
Sophia berbicara sambil menatap yang lainnya. "Bagaimana dengan yang lain, kalian setuju?"
Yui Dengan nada yang malas. "Ya..ya..ya..aku setuju"
"Aku setuju" ucap diriku.
Lila juga meng iyakan sarannya. "Baik....aku juga setuju!!"
Sophia yang mendengarnya merasa senang. "Baik.....semuanya sudah setuju kalau begitu ayo kita kerjakan"
Kami memutuskan untuk membuat drama tentang seorang samurai yang dikelilingi lima wanita pejuang. Latihan pun dimulai—dan saat Yui tahu perannya adalah pasangan dari karakterku, ia hanya mendesah pelan.
Keesokan harinya setelah pulang sekolah kami pergi ke rumah Sophia untuk melanjutkan tugas kelompok kita. Sesampainya di rumah Sophia, Sophia langsung membagikan kertas dialognya.
Sophia Berjalan sambil membagikan dialognya "nih untuk mu, untuk mu, kamu, kamu, dan yang terakhir ini untuk mu."
Yui sambil membaca isi dialog yang di beri Sophia "Serius aku dapet Onna-musha?"
"Semua dapat Onna-musha, Keberatan?" Ujar Sophia
Yui berbicara dengan nada yang pura-pura tidak terjadi apa-apa "Tidak-tidak, ini sudah cukup untuk ku."
Onna-musha (女武者) adalah istilah yang merujuk pada prajurit wanita di Jepang pra-modern, yang merupakan anggota kelas bushi (prajurit). Mereka dilatih menggunakan senjata untuk melindungi rumah tangga, keluarga, dan kehormatan mereka di masa perang; banyak dari mereka bertempur bersama para samurai.
Ada juga onna-bugeisha " diterjemahkan menjadi "seniman bela diri wanita" atau "prajurit bela diri wanita." Para wanita ini dilatih dalam seni bertarung dan secara aktif berpartisipasi dalam pertempuran bersama para samurai pria. Onna-bugeisha bukan sekadar istri atau putri para samurai; mereka adalah petarung yang terampil.
"Oh ya, ngomong-ngomong ini ceritanya kita berlima merebutkan sang samurai tersebut, jadi hanya satu yang akan menjadi pasangan hidupnya."
"Baiklah semuanya mari kita latihan, buktikan kepada mereka bahwa drama kitalah yang menarik."
Di hari itu juga Kami semua memulai latihan dengan penuh semangat dan gembira, kami akan mempersiapkan semuanya dengan yang terbaik sampai saat itu akan tiba.
Hari-hari latihan berlangsung dengan cepat. Rasanya baru kemarin aku berdiri di depan kelas memperkenalkan diri, dan sekarang aku sudah terbiasa dengan tawa dan suara gaduh dari lima gadis Shinomiya yang selalu mengelilingiku setiap sesi latihan.
Di ruang latihan drama yang dipinjam dari klub teater, suasana dipenuhi semangat muda yang khas. Lila duduk bersila di lantai sambil membaca naskah dengan suara keras—lebih mirip gadis idol daripada pejuang wanita.
“‘Aku akan bertarung untukmu, wahai samurai!’ Hihihi~ kayaknya aku cocok jadi heroine utama ya, Takeru?” katanya sambil tersenyum ceria ke arahku.
Aku hanya bisa tersenyum canggung. “Iya… suaramu memang cocok jadi heroine.”
Akira—yang sedang melakukan peregangan di pojok ruangan—langsung melompat berdiri dan menunjuk Lila. “Hei! Jangan terlalu percaya diri, Lila! Dalam cerita ini kan kita semua sama-sama punya peluang. Lagian, karakterku lebih tomboy dan tangguh—pasti penonton suka!”
“Hooh~ jadi mau adu popularitas nih?” Lila menyipitkan mata sambil tersenyum penuh tantangan.
Sementara itu, Sophia tampak kalem seperti biasa, berdiri di dekat jendela dengan naskah di tangan. Ia menatap mereka berdua dan berkata lembut, “Jangan lupa… yang penting bukan siapa yang paling populer, tapi bagaimana kita membuat drama ini terasa hidup. Fokuslah pada emosi.”
Yui yang duduk menyilangkan kaki di kursi, hanya menghela napas sambil menatapku dengan tatapan… agak sulit diartikan.
“Kalau aku harus berebut cowok… rasanya agak memalukan,” gumamnya lirih, namun cukup untuk membuat pipiku memanas.
“Eh? Tapi… itu kan hanya akting,” ujarku canggung.
“Akting, ya…” bisiknya pelan, kemudian memalingkan wajahnya sambil memainkan poni rambutnya.
Di sudut ruangan, Akane duduk diam sambil meremas ujung bajunya. Wajahnya sedikit kemerahan ketika matanya secara tak sengaja bertemu dengan mataku.
“Akane, kau baik-baik saja?” tanyaku lembut.
“Y-ya… aku hanya… agak gugup…” jawabnya lirih, hampir seperti bisikan.
[Malam itu – Rumah Shinomiya]
“Rumah kalian… besar sekali. Seperti mansion di film-film,” ucapku kagum.
Lila yang sedang menggantungkan jaketnya tertawa ceria. “Hahaha, maklum. Kami berlima kembar lima, jadi rumahnya harus muat semua orang~”
“Kembar lima…? Jadi kalian berlima benar-benar lahir pada hari yang sama?” tanyaku.
Sophia mengangguk lembut. “Begitulah kata orang tua kami. Kami sendiri juga tidak terlalu mengingat masa bayi kami.”
“Eh… kalian nggak ingat sama sekali?” tanyaku lagi, sedikit heran.
Akira menyenggol lenganku sambil nyengir. “Yah, waktu bayi kan siapa yang inget? Lagian, buat apa diingat? Yang penting kami sekarang keluarga.”
Yui, yang duduk bersandar di pojok sofa, hanya mendengus pelan. “Kenapa sih kamu banyak nanya kayak detektif?”
“Ah… maaf…” jawabku buru-buru.
Akane, yang sedari tadi diam, menatapku sekilas. Matanya lembut, tapi ada sedikit kesedihan di sana—atau mungkin hanya perasaanku saja?
Kami memutuskan untuk melanjutkan latihan di rumah Sophia yang luas—lebih mirip mansion daripada rumah biasa. Interiornya klasik dengan sentuhan modern, membuat suasana latihan terasa seperti sesi rehearsal untuk pertunjukan profesional.
“Baiklah, kita lanjut adegan di mana samurai diselamatkan oleh salah satu pejuang wanita,” kata Sophia tegas, menunjuk Lila untuk memulai.
Lila berdiri dengan semangat, menarik pedang kayu. “Takeru! Kau harusnya pingsan di lantai. Ayo mulai!”
Aku hanya bisa pasrah dan berbaring di lantai kayu dingin. Saat latihan berjalan, aku tak bisa menghindari perasaan canggung setiap kali salah satu dari mereka harus bersikap “mesra” sesuai naskah.
Apalagi ketika giliran Yui memerankan adegan romantis. Ia berdiri di atasku, menatapku dengan mata tajam tapi wajahnya sedikit merah.
“‘Kalau kau ingin hidup, kau harus ikut denganku… idiot,’” katanya dengan nada tsundere sempurna.
“U-uh… baiklah, tapi jangan seret aku begitu saja…” jawabku mengikuti naskah.
Ia mendengus pelan dan membantu menarikku berdiri, namun saat tangannya menyentuh tanganku, aku merasa ada sedikit getaran halus. Atau… mungkin hanya perasaanku?
[Di luar rumah – Istirahat sejenak]
Sambil menunggu giliran berikutnya, aku berjalan ke taman belakang rumah mereka untuk mencari udara segar.
Tak kusangka, Akane ada di sana. Ia duduk di bangku taman, menatap bulan penuh yang menggantung di langit malam.
“Akane… sendirian?” tanyaku pelan.
Ia sedikit terkejut, tapi kemudian mengangguk. “Aku… hanya ingin menenangkan diri sebentar.”
Aku duduk di sampingnya, menjaga jarak agar ia tak merasa tertekan.
“Kamu sudah cukup bagus tadi. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”
Akane tersenyum samar, tangannya meremas rok seragamnya. “T-Takeru… aku… aku senang kita satu kelompok.”
Aku menoleh padanya, dan untuk sesaat, aku merasa ada sesuatu yang ingin ia katakan… tapi urung.
“Kalau ada yang ingin kau bagi, aku siap mendengar,” ujarku pelan.
Ia hanya mengangguk, pipinya memerah samar.
[Kembali ke ruang latihan]
Saat kami masuk kembali, Lila langsung menghampiri. “Hooo~ kalian berdua lama banget di luar. Jangan-jangan ada rahasia?” godanya sambil tersenyum nakal.
“Bukan begitu!” seru Akane panik, membuat semua orang tertawa.
Sophia tersenyum lembut sambil melihat jam. “Baiklah, kita cukupkan untuk hari ini. Besok latihan lagi. Pastikan kalian semua menghafalkan dialog.”
[Perjalanan menuju gerbang]
Aku berjalan berdampingan dengan Akira yang membawa botol air.
“Hei, Takeru,” katanya tiba-tiba.
“Ya?”
“Kalau dalam cerita ini kamu harus memilih salah satu dari kami sebagai pasangan… siapa yang akan kamu pilih?” tanyanya dengan nada setengah bercanda, tapi matanya… serius.
“A-aku… eee…”
“Hahaha! Jangan panik. Itu cuma bercanda kok. Tapi…” Ia berhenti sejenak, menatap ke arah bulan. “Kalau memang ada yang kamu sukai, jangan buat dia menunggu terlalu lama.”
Aku hanya bisa terdiam. Kata-katanya terasa ringan, tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.
Di kamar malam itu, aku menatap naskah drama yang tergeletak di meja belajar.
“Kalau aku harus memilih… apakah aku sudah siap?”
Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, sementara bayangan lima gadis Shinomiya—dengan senyuman, tawa, dan rahasia mereka—tak henti-hentinya muncul dalam pikiranku.
Dan aku tahu… ini baru permulaan.