1.ㅤㅤBISIKAN YANG TERTINGGAL

Hujan turun tanpa henti malam itu, menitik perlahan di atas genteng-genteng tua kota Mirath, menyesakkan udara dengan aroma tanah basah dan kayu lapuk. Suara gemericik air mengalir di sela-sela batu jalan yang retak, menutupi derap langkah kaki yang terburu-buru. Tapi di dalam perpustakaan bawah tanah yang remang, jauh dari hingar bingar dan mata-mata penjaga, hanya ada sunyi yang pekat—dan sosok kecil yang duduk bersila di antara tumpukan buku dan gulungan perkamen.

Eren Valen.

Seorang pemuda dengan mata hitam yang tampak terlalu dalam untuk usianya, membawa beban yang tak terlihat di pundaknya yang kurus. Tangannya memegang sebuah pecahan logam tua, bentuknya aneh, seperti jantung yang retak. Logam itu dingin, berat, namun lebih dari itu, seolah menyimpan denyut nadi dunia yang sudah lama hilang.

Di benaknya, bisikan itu kembali muncul. Perlahan, nyaris seperti suara angin yang membelai daun kering. Tapi bagi Eren, bisikan itu jauh lebih nyata daripada suara manusia.

“Temukan aku.”

Kata-kata itu berputar, menari di antara pikirannya, mengisi ruang kosong yang selama ini ia sembunyikan dari dunia. Ia sudah terbiasa menyimpan rahasia ini—bahwa ia bisa mendengar suara relic, benda-benda kuno yang ditinggalkan para dewa ketika mereka pergi meninggalkan dunia.

Orang-orang biasa menyebutnya gila, atau menyembunyikan kebohongan agar terlindung dari ketakutan mereka sendiri. Eren tahu, itu lebih dari sekadar cerita lama. Ini adalah kenyataan yang dia rasakan sampai tulang sumsum.

“Dulu aku anak pelayan makam,” bisiknya pada dirinya sendiri, “anak yang selalu dianggap remeh, bukan siapa-siapa.” Ia mengingat hari-hari kelabu saat ia diabaikan, disuruh membersihkan makam dan menyapu abu di sudut-sudut kota. Tapi rasa ingin tahu dan tekadnya telah menuntunnya jauh lebih jauh daripada yang bisa dibayangkan oleh orang-orang biasa.

Kini, ia duduk di antara reruntuhan sejarah yang nyaris terkubur, memegang pecahan Primordial Heart—artefak yang pernah menambatkan para dewa ke dunia fana. Pecahan itu bukan hanya logam tua; ia berbicara padanya, mengirim bisikan yang mengguncang jiwa dan membuka pintu ke rahasia yang lebih gelap daripada kegelapan malam ini.

“Apakah aku yang terpilih, atau hanya korban dalam permainan para dewa yang telah lama pergi?” pikir Eren, matanya menatap kosong ke arah lentera yang bergetar di sudut ruangan.

Detik-detik berlalu seperti serpihan waktu yang terpecah, sampai suara langkah berat menyentuh lantai batu di luar. Eren tahu, malam ini tidak akan lagi sama. Ketika pintu perpustakaan itu terbuka, dunia kecilnya yang selama ini ia bangun perlahan-lahan akan runtuh. Ia akan mulai perjalanan yang tak bisa lagi ia hindari.

Di luar, hujan terus mengguyur, mencuci debu-debu masa lalu yang sudah usang, sambil membawa bisikan yang tertinggal—bisikan yang hanya bisa didengar oleh seorang Relic Whisperer.