2.ㅤㅤBAYANG-BAYANG YANG MENGEJAR

Hujan malam masih mengguyur dengan dingin yang menusuk tulang ketika langkah kaki berat menghantam batu-batu tua di lorong perpustakaan bawah tanah. Eren menahan napas, tubuhnya melekat erat pada dinding yang lembap dan berlumut, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan gelap yang pekat.

Pecahan Primordial Heart bergetar di genggamannya, denyutannya samar namun penuh ancaman. Bisikan yang selama ini menjadi rahasianya kini berubah menjadi alarm dalam pikirannya—bahwa bahaya sudah sangat dekat.

“Siapa di sana?” suara kasar dan memerintah membelah keheningan, memaksa Eren untuk bergerak cepat.

Dengan hati-hati, ia menyelinap ke lorong sempit yang jarang dilewati, berharap bisa menghilang sebelum dilihat. Namun suara langkah itu tidak berhenti. Derap sepatu di atas batu memburu, seolah pemburu itu tahu ke mana harus mencari.

Eren berlari pelan, napasnya mulai terengah. Ia melompati reruntuhan kayu dan menuruni tangga batu yang licin. Di balik tumpukan debu dan puing, ia menyelinap keluar ke lorong yang lebih luas dan menuju pintu kayu besar yang terbelah di sudut perpustakaan.

Pintu itu terbuka sedikit, memberi kesempatan untuk mengintip ke jalanan kota Mirath. Malam pekat, diterangi cahaya obor yang bergoyang-goyang diterpa angin dingin.

Di luar sana, hujan terus mencurah. Kota yang dulu ramai kini sunyi dan suram, penuh bayang-bayang yang menari di bawah cahaya remang. Eren menyadari, malam ini bukan hanya tentang hujan dan gelap. Ada sesuatu—atau seseorang—yang mengejarnya.

Dari balik bayangan, sosok seorang pria muncul perlahan. Bajunya adalah zirah yang kusam dan tergores, helm yang biasa menutupi wajahnya kini terangkat, memperlihatkan mata yang lelah dan penuh bekas luka.

“Berhenti!” suara pria itu berat, tetapi bukan penuh kebencian. Ada kelelahan, dan sejenis ketegasan yang tidak bisa diabaikan.

Eren membeku, hatinya berdetak lebih cepat. Ia sudah terbiasa dikejar, namun ada sesuatu dalam sosok ini yang berbeda. Tidak seperti para pemburu kejam yang biasa mengincarnya, pria ini membawa aura yang campur aduk antara keputusasaan dan harapan.

“Aku bukan musuhmu,” kata pria itu, suaranya rendah namun jelas. “Namaku Kael. Aku adalah ksatria yang telah jatuh, bukan hanya dari tahta, tapi dari jalan hidupku sendiri. Aku mencari seseorang—mungkin itu kamu.”

Eren mengernyit, rasa curiga dan lelah menyelimuti pikirannya. Namun, di balik itu, ada rasa lega yang sulit ia jelaskan. Mungkin ini bukan jebakan. Mungkin dia bukan ancaman lain dalam dunia yang sudah penuh bahaya.

“Kenapa kau mencariku?” tanya Eren dengan suara yang hampir berbisik, matanya tidak lepas mengamati pria itu.

Kael menghela napas panjang, menatap lurus ke arah Eren. “Karena kamu membawa beban yang seharusnya tak seorang pun pikul sendiri. Dan di saat dunia ini semakin gelap, kita butuh lebih dari sekadar pedang dan perisai. Kita butuh harapan, dan kamu... kamu membawa sesuatu yang berharga.”

Eren menelan ludah. Kata-kata itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya—rasa takut yang lama terkubur dan kepercayaan yang mulai tumbuh, perlahan.

Di luar, hujan turun semakin deras, membasahi jalanan yang kosong. Kota Mirath, dengan segala keletihan dan sejarah kelamnya, menyembunyikan lebih banyak rahasia dari yang bisa ia bayangkan.

Malam itu, dua jiwa yang terluka dan penuh rahasia bertemu dalam bisu. Petualangan yang selama ini dihindari Eren kini memanggilnya dengan suara yang tak bisa diabaikan.

Langkah pertama menuju dunia yang berubah sudah di depan mata.