3.ㅤㅤSEORANG YANG TAK SEPENUHNYA MANUSIA

Mereka meninggalkan Mirath sebelum fajar, ketika kabut masih menggantung rendah dan bau tanah basah menempel di setiap helaan napas. Hujan semalam telah reda, tapi jalanan masih licin, dan dingin pagi menyusup ke dalam tulang.

Kael berjalan di depan, langkahnya mantap, sementara Eren mengayun-ayunkan jubah tipisnya untuk melawan udara pagi yang menggigit. Sesekali, ia melirik ke arah belakang—kota yang dulu menjadi seluruh dunianya kini hanya siluet kelabu yang semakin jauh.

“Jadi... ke mana kita?” tanya Eren, suaranya parau karena kelelahan dan gugup.

Kael tidak langsung menjawab. “Keluar dari mata kerajaan,” katanya akhirnya. “Dan mencari mereka yang tahu soal pecahan itu. Kita tidak bisa jalan sendiri.”

Eren mengangguk, meski pikirannya penuh tanya. Siapa yang Kael maksud? Dan bagaimana pria ini bisa tahu begitu banyak, bahkan tentang suara-suara yang selama ini hanya ia dengar sendiri?

Saat matahari mulai merambat naik, mereka tiba di hutan rendah yang menandai batas kekuasaan Mirath. Di sanalah, suara itu kembali.

> “Bangkitkan kami...”

Eren berhenti sejenak, menatap ke dalam kehijauan pepohonan. Suara itu lebih keras dari biasanya—bukan hanya bisikan lembut, tapi seperti gema dari dalam tanah. Kael menoleh.

“Kau mendengarnya lagi?”

Eren mengangguk. Ia tak perlu menjelaskan. Sorot mata Kael menunjukkan bahwa dia mulai mengerti—atau setidaknya mencoba.

Tak lama kemudian, suara panah yang menembus udara membuat mereka berdua membungkuk. Sebuah anak panah tertancap di batang pohon, nyaris mengenai kepala Eren. Dari semak, muncul sosok ramping dengan telinga runcing dan rambut perak yang diikat ke belakang.

“Kalau aku ingin membunuh, kalian sudah mati dua kali tadi,” kata wanita itu, suaranya dingin dan sedikit mengejek.

“Lyra,” gumam Kael, separuh lega, separuh kesal. “Kau masih suka mempermainkan orang ya.”

Lyra menurunkan busurnya, matanya menilai Eren dari atas sampai bawah. “Ini bocahnya?” tanyanya.

“Namanya Eren. Dan dia bisa mendengar relic.”

Lyra mengangkat alis. “Menarik. Lalu... apa rencanamu, ksatria gagal?”

Kael tak menjawab. Eren hanya berdiri, bingung dan canggung. Tapi sebelum bisa berkata apa pun, Lyra sudah berbalik dan mulai berjalan.

“Ayo. Kalau kalian sudah membawa masalah sebesar itu, sebaiknya kita bicara di tempat yang lebih aman daripada di tengah hutan.”

Eren menghela napas dan menyusul. Ia belum tahu siapa wanita ini, dan tak yakin apakah ia bisa dipercaya. Tapi untuk saat ini, lebih baik bersama mereka daripada sendiri.

Satu hal yang ia tahu pasti: suara-suara itu tak lagi berbisik dengan sabar. Mereka mulai memanggil dengan nada mendesak, seolah waktu semakin menipis. Dan dunia mulai bergeser.