4.ㅤㅤPENJAGA DARI MIMPI

Malam turun dengan cepat, terlalu cepat. Di balik pohon-pohon tinggi dan akar menggulung seperti ular tidur, tiga bayangan kecil duduk mengitari api kecil yang nyala apinya menolak padam, meski udara di sekitarnya membeku pelan-pelan.

Eren menyandarkan punggungnya pada batang pohon yang kasar, matanya terpaku pada percikan api, tapi pikirannya jauh—di antara bisikan yang tak berhenti, dan rasa asing yang mulai tumbuh di dadanya.

"Kami melihatmu. Kami ingatmu."

Suara itu datang bukan dari luar, tapi dari dalam mimpinya. Tapi apa yang terjadi selanjutnya membuatnya yakin bahwa malam ini, tidur pun bukan tempat yang aman.

Ia tersentak bangun.

Namun dunia yang ia lihat bukan lagi hutan.

Langit di atasnya ungu pekat, seperti kanvas yang dilukis dengan tinta malam. Tanahnya halus dan putih seperti abu, dan udara di sekitarnya diam… terlalu diam. Di tengah padang luas itu, berdiri sesosok makhluk.

Tubuhnya tinggi, ramping, seperti bayangan yang diberi bentuk. Matanya kosong, namun memantulkan cahaya yang tak ada sumbernya. Dari tubuhnya menjuntai lembaran seperti kabut tipis, seolah tubuh itu terbuat dari mimpi yang belum selesai.

Eren tahu, ia tidak sedang bermimpi. Atau… mungkin ia sedang bermimpi di dalam mimpi yang lain.

“Siapa kau?” suaranya sendiri terdengar asing.

Makhluk itu tidak menjawab, hanya mengangkat tangan—atau sesuatu yang menyerupai tangan—dan menunjuk ke arah dadanya.

Di sana, di dalam tubuh kabutnya, bersinar pecahan logam… persis seperti milik Eren.

"Panggilanmu telah dijawab."

Eren melangkah mundur, tapi tanah di bawahnya mulai retak. Dari celahnya muncul cahaya—bukan terang yang menyilaukan, tapi semacam kilau kenangan yang entah milik siapa. Ia mendengar tawa, tangis, jeritan… dan nyanyian dalam bahasa yang tak pernah ia pelajari, tapi entah bagaimana terasa akrab.

"Kami dijadikan dari keinginan terakhir para dewa... dan sekarang, dunia telah mulai bermimpi kembali."

Sebelum Eren sempat bertanya lagi, dunia itu runtuh. Kabut, tanah, dan langit ungu ditarik ke dalam dirinya sendiri, dan ia terbangun dengan teriakan yang membangunkan Kael dan Lyra sekaligus.

"Relic itu…" gumam Eren sambil terengah, "…ia menghubungkanku dengan sesuatu… atau seseorang. Bukan hanya suara. Mereka nyata. Mereka tahu aku."

Kael menatapnya dalam diam. Lyra, yang biasanya penuh sindiran, kali ini tidak bicara apa pun. Malam itu, sesuatu telah berubah.

Dan di atas langit hutan, bulan tampak lebih dekat dari biasanya, seolah ikut mengintip dari balik awan.