5.ㅤㅤLUKA YANG TAK BERDARAH

Pagi berikutnya datang lambat, seolah dunia enggan membuka matanya. Kabut belum surut, dan sinar matahari hanya mengendap samar di atas dedaunan basah.

Eren duduk sendiri, menjauh dari api unggun yang sudah mati sejak dini hari. Tangannya mencengkeram pecahan relic, keras, seolah berharap bisa membungkam suara yang terus menyusup ke dalam pikirannya.

“Bangkitkan… bebaskan… pulihkan.”

Bisikan itu tak lagi berbisik. Ia menggema di dalam kepala Eren, seperti banyak suara berbicara dalam satu napas yang sama. Dan ia mulai merasa... sesuatu di dalam dirinya retak.

“Eren?” suara Kael datang dari belakang, tenang namun siaga.

“Aku baik-baik saja,” jawab Eren cepat, terlalu cepat.

Kael duduk di sampingnya, pandangannya lurus ke arah hutan. “Tidak, kau tidak baik-baik saja. Dan itu tak apa.”

Eren tidak menjawab. Ia benci betapa Kael bisa melihatnya seperti itu—menembus topeng diam dan mencoba tegar yang selalu ia pakai.

“Relic ini… ia tidak hanya bicara. Ia menarik sesuatu dariku. Kenangan. Emosi. Mimpi,” bisik Eren. “Aku takut suatu hari nanti aku bangun… dan bukan aku lagi yang ada di dalam tubuh ini.”

Kael tak langsung menjawab. Ia hanya menepuk bahu Eren perlahan, lalu berdiri dan kembali ke perkemahan.

Tak lama kemudian, teriakan Lyra terdengar dari kejauhan. Bukan teriakan ketakutan, tapi peringatan. Eren dan Kael berlari menyusul.

Di tengah lingkaran pohon, tanah terbuka membentuk lingkaran yang hangus. Pohon-pohon di sekeliling terbakar dari dalam—batangnya hitam, tapi tidak hangus luar. Seolah api muncul dari akar dan naik ke batang, tanpa pernah menyentuh daun.

Di tengah lingkaran itu, berdiri Eren… atau sosok yang tampak seperti dirinya.

Wajahnya kosong, matanya putih seluruhnya. Pecahan relic melayang di atas telapak tangannya, bersinar terang—terlalu terang untuk benda mati.

Kael menghunus pedangnya. Lyra bersiap menarik panah.

Namun sebelum mereka bisa mendekat, Eren roboh. Pecahan itu jatuh ke tanah, dan cahaya padam seketika.

---

Eren terbangun di pelukan tanah dan debu. Tubuhnya dingin, kepalanya berdenyut. Ia melihat Kael dan Lyra berdiri tak jauh, wajah mereka waspada—dan sedikit takut.

“Aku… melukai kalian?” tanya Eren pelan.

Kael menggeleng. “Bukan kami. Tapi sesuatu di hutan ini. Dan bukan kau yang melakukannya—tapi sesuatu yang keluar darimu.”

Lyra bersedekap, menatapnya tajam. “Kau bilang kau mendengar relic. Tapi kini, relic itu mendengarkan balik. Dan lebih dari itu… ia menjawab.”

Eren menunduk. Luka itu tak berdarah, tapi ia tahu—ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia hentikan.