6.ㅤㅤJALAN TANPA NAMA

Jalan yang mereka lewati tak ada di peta mana pun. Kael menyebutnya “jalan tanpa nama”, jalur tua yang dulu digunakan para pemburu relik dan penyihir pengembara sebelum hukum kerajaan melarang segala sesuatu yang berbau kuno dan sakral. Kini, jalur itu ditelan oleh akar, ditutupi lumut, dan hanya dikenali oleh mereka yang masih percaya pada dunia yang hampir dilupakan.

Eren melangkah perlahan di antara semak belukar, sesekali memandangi langit yang nyaris tak terlihat oleh kanopi pohon di atas. Udara di sini berbeda—lebih padat, seperti setiap helaan napas membawa jejak masa lalu yang tertinggal di ranting dan tanah.

“Tempat ini…” gumam Eren, “... terasa hidup.”

“Karena memang begitu,” jawab Kael, tanpa menoleh. “Ini bukan hanya jalan. Ini ingatan. Tanah ini menyimpan suara yang bahkan tak berani kita dengarkan.”

Di belakang mereka, Lyra menyusul sambil membersihkan pisaunya. “Dan kadang suara-suara itu berubah jadi taring.”

Tak ada yang tertawa. Mereka tahu Lyra tak sedang bercanda.

Hari mulai menjelang sore ketika mereka tiba di sebuah dataran tinggi dengan pilar-pilar batu tua yang miring. Di tengahnya, reruntuhan bangunan bundar tampak menonjol seperti tulang rusuk dunia yang mencuat dari tanah.

“Ini bekas kuil?” tanya Eren.

Kael mengangguk. “Dulu disebut Penjaga Tautan. Di sinilah para pelindung relic berkumpul—sebelum diburu dan dibantai.”

Lyra mendekat ke dinding batu yang penuh ukiran kuno. Jarinya menyusuri simbol-simbol yang nyaris terhapus waktu.

“Ada sesuatu yang aneh,” katanya, suaranya merendah. “Ukiran ini… baru.”

Eren menoleh cepat. Ia mendekat dan menyentuh salah satu simbol. Masih kasar, masih tajam. Dan terasa hangat.

Tiba-tiba, bisikan itu kembali—tapi kali ini… bukan dari dalam dirinya.

“Bukan hanya kau yang mendengar.”

Eren tersentak mundur. Kael langsung siaga, Lyra sudah siap dengan belatinya.

“Ada yang lain di sini,” bisik Eren. “Seseorang... atau sesuatu... yang juga mendengar relic. Dan mereka lebih dulu sampai ke tempat ini.”

Kabut mulai turun, lebih cepat dari yang seharusnya. Burung-burung terbang keluar dari sarangnya. Angin berhenti.

Dari balik reruntuhan, sebuah suara muncul. Pelan, berat, dan terlalu dalam untuk manusia.

“Pecahan itu... tidak milikmu.”

Mereka saling pandang. Untuk pertama kalinya, ketiganya merasa bahwa mereka tidak hanya membawa relic—mereka telah memasuki permainan yang jauh lebih tua, lebih luas, dan lebih kejam dari yang mereka bayangkan.