Mereka tiba saat matahari mulai tenggelam, dan langit mewarnai dunia dengan jingga yang aneh—terlalu cantik untuk tempat sekelam ini.
Kota itu terletak jauh di dalam lembah tersembunyi, di balik dua gunung curam yang nyaris menutup jalan masuknya. Tidak ada peta yang mencatatnya, tak ada catatan sejarah yang menyebutkannya. Kota Terbenam. Begitu nama yang diberikan Kael, dengan suara pelan seolah menyebut nama orang mati.
Rumah-rumahnya runtuh setengah, pilar-pilar berdiri miring seperti gigi batu yang rontok. Air payau menutupi sebagian jalanannya, membentuk danau dangkal yang tenang di permukaan—namun menyimpan sesuatu di kedalaman. Akar pohon tumbuh dari celah atap dan tembok, merayap seolah kota ini perlahan ditelan dunia.
Eren berdiri di ambang jalan masuk batu, napasnya tertahan.
"Aku pernah lihat ini," bisiknya.
Kael menoleh. “Dalam mimpi?”
“Lebih dari itu,” jawabnya. “Seperti... tempat yang pernah aku tinggali. Padahal aku tahu itu tak mungkin.”
Lyra menatapnya sebentar, tapi tak berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan Eren menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam keheningan kota ini.
Mereka melangkah perlahan, suara langkah mereka memantul di dinding yang lembap dan kosong. Burung pun tak ada. Angin berputar pelan, membawa bau logam dan hujan lama.
Mereka berhenti di tengah kota, di depan bangunan yang dulunya mungkin kuil, atau pusat pemerintahan. Dindingnya masih kokoh, dan di atas gerbangnya terukir lambang yang tak asing—sebuah mata yang dikelilingi tujuh pecahan.
Eren menyentuhnya. Dan dunia runtuh.
---
Ia melihat cahaya. Putih, hangat, menyilaukan. Lalu bayangan. Ribuan sosok manusia dan bukan-manusia berjalan di jalan-jalan ini, tertawa, berdoa, berdagang.
Di tengah mereka, berdiri tujuh sosok berjubah cahaya. Para Penjaga. Mulut mereka tak bergerak, tapi suara mereka mengisi seluruh ruang—nyanyian, mantra, peringatan.
“Kekuatan bukanlah milik. Ia hanya dipinjam.”
“Jika manusia melupakan, maka kami akan tidur.”
“Jika mereka mengingat, maka kami akan kembali.”
Cahaya itu berubah menjadi api. Bangunan terbakar. Air naik menelan segalanya. Wajah-wajah menjadi kabur. Jeritan menggantikan nyanyian.
Dan dari langit, sebuah pecahan raksasa—berwarna merah darah—jatuh perlahan, menghantam kuil dengan gemuruh yang menggetarkan jiwa.
l
---
Eren terlempar kembali ke tubuhnya, jatuh terduduk di depan gerbang batu.
Kael sudah bersiaga, Lyra mengangkat belatinya. Tapi tidak ada musuh. Hanya Eren, yang menggigil.
"Aku melihat mereka," katanya pelan. "Mereka tahu aku membawa pecahan itu. Mereka ingat."
Kael mendekat, lalu membantu Eren berdiri. “Apa itu… masa lalu?”
“Ya… dan bukan. Ini bukan kenangan biasa. Ini semacam… ingatan kolektif. Disimpan oleh tanah ini. Relic hanya... memutarnya kembali.”
Tiba-tiba, air di danau bergolak pelan. Riak pertama, lalu gelombang kecil. Dari tengah genangan, sebuah gelembung naik ke permukaan, lalu meletus tanpa suara. Lalu gelembung lain. Dan lain.
Lyra mundur pelan, menarik Eren. “Kita tidak sendiri.”
Dari balik air yang tenang, sesosok makhluk perlahan muncul. Ia tak berjalan. Ia melayang di atas air, tubuhnya seperti jubah yang terbuat dari kabut dan reruntuhan. Matanya kosong. Tangannya panjang dan gemetar seperti cabang kering.
“Pecahan itu... telah membangunkan lebih dari sekadar ingatan,” suaranya bergema, jauh dan dalam.
Kael maju, pedang di tangan.
“Ini penjaga,” kata Eren pelan, nyaris seperti mantra. “Ia tidak hidup. Tapi tidak juga mati.”
Makhluk itu menatap Eren langsung. Ia tidak menyerang. Ia hanya berbicara.
“Pecahan itu mencari tuannya. Tapi tuannya... telah hancur.”
Dengan satu gerakan jubahnya, ia menghilang—menjadi debu yang ditelan angin lembah.
Sunyi kembali turun. Tapi semuanya tahu: tidak ada jalan kembali. Kota Terbenam telah menyimpan rahasia terlalu lama, dan kini ia mulai berbicara kembali—melalui Eren.
Dan pecahan di kantongnya terasa lebih berat dari sebelumnya.