Malam di luar Kota Terbenam lebih dingin dari sebelumnya. Mereka berkemah di luar reruntuhan, terlalu takut untuk tidur di tengah tempat yang menyimpan suara-suara dari masa lalu.
Eren tak bisa tidur.
Pecahan itu kini bersinar samar setiap kali disentuh, seperti detak jantung yang bukan miliknya. Ia duduk sendiri, jauh dari api unggun, dengan pikiran yang seperti kabut—penuh, pekat, dan tanpa bentuk.
Lyra datang lebih dulu. Ia duduk di samping Eren tanpa suara, meletakkan busurnya, lalu mengambil satu ranting kecil dan mengukir tanah dengan ujungnya.
“Kau tahu, saat aku masih kecil, ibuku pernah bilang kalau ada orang-orang yang dilahirkan dengan telinga untuk mendengar yang tak bisa dilihat,” katanya pelan.
Eren menoleh. “Dan kau percaya itu?”
Lyra mengangkat bahu. “Sekarang? Aku percaya. Sayangnya.”
Hening kembali, tapi bukan hening yang canggung. Semacam kesepakatan diam: bahwa dunia yang dulu mereka kenal, kini benar-benar telah berubah.
Tak lama, Kael datang dengan wajah lebih serius dari biasanya. Ia menggenggam sesuatu yang terbungkus kain lusuh. Perlahan, ia duduk dan membuka kain itu.
Di dalamnya, sebuah pecahan lain.
Tidak persis sama dengan milik Eren—bentuknya seperti sisik naga, tetapi warnanya biru pekat dan terasa lebih dingin saat didekatkan. Ia tidak bersinar, tapi menyimpan kilau dalam yang menakutkan.
“Aku pernah menemukannya… lama sebelum bertemu kalian,” kata Kael lirih. “Kupikir itu hanya artefak. Tapi setelah melihat pecahanmu, aku yakin... ini pecahan juga.”
Eren menatapnya, lalu pada relic di tangan Kael. Tak ada bisikan, tapi ada dorongan—seperti dua magnet yang tak saling tarik, tapi menyadari keberadaan masing-masing.
“Kau menyimpannya selama ini?” tanya Lyra curiga.
“Aku tak tahu apa artinya, atau apa yang harus kulakukan dengannya. Tapi setiap malam… aku mimpi tentang api. Tentang dunia terbakar, dan suaraku tak terdengar.”
Eren merinding. Ia mengeluarkan pecahan miliknya. Saat dua pecahan itu didekatkan, udara di sekitar mereka berubah. Nyala api unggun berkedip, dan tanah di bawah mereka bergetar pelan.
Tiba-tiba, suara terdengar—bukan dari dalam kepala Eren, tapi di sekitar mereka, seperti angin yang berbicara lewat desah.
“Tiga dari tujuh telah dibangunkan…”
“…dan mata yang tertidur mulai terbuka kembali.”
Mereka bertiga membeku.
“Ini… bukan hanya warisan para dewa,” bisik Eren. “Ini adalah panggilan. Atau peringatan.”
Lyra berdiri cepat, matanya waspada. “Kalau ini pecahan ketiga… siapa yang punya pecahan pertama?”
Kael menjawab tanpa menoleh. “Bukan siapa. Tapi apa.”
Dan seketika itu juga, angin berhenti.
Di kejauhan, dari balik kabut lembah, sebuah bayangan besar tampak berdiri. Terlalu tinggi untuk manusia, terlalu sunyi untuk makhluk biasa. Tidak bergerak, tapi... mengamati.
“Dia tahu kita di sini,” kata Eren pelan. “Dia yang punya pecahan pertama. Dan dia akan mencarinya kembali.”