"Shadows of the School Years"
The Beginning
Hai, perkenalkan namaku Dean. Aku tinggal di Sukabumi kota yang sejuk, damai, dan penuh ketentraman yang tergambar jelas dalam kehidupan masyarakatnya. Meskipun begitu, hidup tidak selalu manis. Ada nikmat yang bisa dirasakan, tapi juga pahitnya penderitaan. Di sini, aku akan menceritakan kehidupanku dari awal. Semoga saja kalian tidak bosan membaca cerita ini.
Aku bersekolah di sebuah SMP negeri. Dengan beberapa alasan pribadi, aku tidak akan menyebutkan nama sekolahnya. Saat awal pendaftaran, aku senang sekali karena diterima dengan mudah di sekolah favorit yang dekat dengan rumahku. Aku begitu antusias menyambut hari-hari baru dalam kehidupan sekolah. Kalian pasti tahu, setiap sekolah selalu punya masa orientasi siswa dulu disebut MOS, sekarang namanya MPS (Masa Pengenalan Sekolah).
Awalnya, aku tidak terlalu memikirkan apa pun dan berpikir bahwa kehidupan di SMP akan berjalan baik-baik saja. Saat menjalani masa pengenalan sekolah, aku merasa senang dan bisa menjawab semua pertanyaan serta mengikuti semua tes dengan mudah. Aku memang tipe orang yang perfeksionis jadi aku sudah mempersiapkan segalanya sejak jauh hari.
Tapi di masa MPS itu, aku bertemu dua orang wanita: Yuna dan Dea. Yuna adalah orang pertama yang membuatku mulai tidak menyukai perempuan. Bukan tanpa alasan mulutnya menurutku tidak terjaga. Aku masih ingat ketika dia tiba-tiba menyebut aku "bau", padahal setiap pagi aku selalu memakai parfum. Bahkan saat itu, bajuku masih wangi.
Karena kesal, aku spontan menjawab, "Kamu yang bau. Coba aja cium baju kamu sendiri. Jangan nyalahin orang lain atas apa yang kamu alami."
Yuna terlihat kaget. Mungkin dia tidak menyangka akan dilawan, mungkin karena dia terbiasa merasa dominan atau tidak pernah dibantah di SD. Tapi ini SMP, jenjang yang berbeda. Dia pun mencium bajunya sendiri dan... wajahnya langsung berubah merah seperti tomat. Artinya, memang dia yang bau.
Seperti kebanyakan orang yang sulit mengakui kesalahannya, Yuna malah menyebarkan gosip bahwa akulah yang bau. Sejak hari pertama, gosip itu mulai menghancurkan kehidupanku di SMP. Tapi aku masih bisa sabar. Toh, dia bukan anak yang pintar-pintar amat, dan cepat atau lambat dia akan butuh bantuanku. Dan benar saja.
Saat jam istirahat tiba, gosip soal aku yang "bau" mulai menyebar dengan cepat. Beberapa siswa mulai menatapku aneh, sebagian lagi menutup hidung sambil tertawa pelan. Aku hanya diam, menahan diri. Aku tahu benar siapa yang memulai semua ini. Tapi aku tidak ingin membalas dengan cara murahan. Aku percaya, kebenaran akan muncul dengan sendirinya.
Dan benar saja-saat di kantin, seorang teman sekelasku, Sandi, tiba-tiba nyeletuk keras sambil tertawa, "Eh, Yuna... bukannya tadi kamu bilang kamu sendiri yang bau gara-gara lupa ganti baju olahraga dari kemarin?"
Suasana langsung hening. Beberapa orang mulai melirik ke arah Yuna. Wajahnya mendadak tegang. Ia mencoba tertawa kecil, berusaha mengalihkan perhatian, tapi nadanya terdengar canggung.
"Aku... bercanda waktu itu," katanya pelan.
Tapi semua orang tahu itu bukan candaan. Bahkan Dea, temannya sendiri, terlihat geleng-geleng kepala.
Aku tidak berkata apa-apa. Tidak perlu. Mereka akhirnya tahu siapa yang sebenarnya berbohong.
Hari pertama MOS akhirnya berlanjut ke sesi perkenalan kelompok. Kami duduk di lapangan, dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Aku duduk satu kelompok dengan Dea teman Yuna tadi. Berbeda dengan Yuna, Dea terlihat lebih tenang dan tidak ikut menyebar gosip. Ia bahkan sempat menatapku seolah ingin meminta maaf atas kelakuan temannya. Aku hanya mengangguk kecil, dan kami tak bicara apa-apa lagi. Kadang, diam lebih menyelesaikan banyak hal daripada kata-kata.
Di sesi kelompok itu, kami diminta memperkenalkan diri satu per satu, lalu membuat yel-yel kelompok. Aku tidak terlalu antusias, tapi tetap berusaha ikut aktif. Bukan karena aku malas bukan juga karena aku tidak mampu tapi... mungkin saat itu aku memang sedang kekurangan motivasi.
Sebenarnya, bukan karena aku malas. Aku hanya belum menemukan alasan kuat untuk benar-benar peduli.
Tapi entah kenapa, ada bagian dari diriku yang ingin membuktikan bahwa aku bisa. Bahwa meskipun hari pertama ini kacau, aku tetap bisa bertahan dan melaluinya dengan kepala tegak.
Sore harinya, MOS hari pertama selesai. Kami dipulangkan setelah apel penutupan. Aku berjalan pulang sambil mendengarkan musik dari earphone, menatap langit sore Sukabumi yang selalu punya caranya sendiri menenangkan hati. Dalam hati aku berkata: "Hari ini kacau, tapi bukan akhir dari segalanya. Ini baru permulaan."
Hari kedua dimulai dengan udara pagi yang lebih dingin dari biasanya. Aku datang lebih awal dari kemarin, bukan karena semangat, tapi lebih karena ingin menghindari omongan orang. Kadang, berada di tempat lebih dulu membuatku merasa punya kendali kecil atas keadaan. Aku duduk di bangku pojok lapangan sambil menunduk, memainkan ujung tali sepatu.
Lalu seseorang duduk di sampingku, tanpa basa-basi. "Bro, tadi kamu bawa minum nggak? Gue lupa bawa botol minum dan gue haus banget sampe kayak mau s sekarat aja rasanya."
Aku menoleh. Seorang cowok kurus, agak berantakan tapi punya senyum lebar yang entah kenapa bikin suasana jadi ringan. Aku langsung menyodorkan botol minumku.
"Ambil aja. Masih baru kok," jawabku singkat.
Dia meneguk cepat, lalu menyeka mulutnya dengan tangan. "Wah, hidup gue terselamatkan. Namaku Dani, lo siapa?"
"Dean."
"Dean?" katanya, mengangguk. "Kayak nama tokoh film barat gitu. Keren."
Aku hanya nyengir kecil. Dani langsung bicara ngalor-ngidul seolah kami sudah teman lama. Dari cerita-ceritanya, aku tahu dia juga tidak terlalu suka keramaian, tapi katanya, "Gue cuma ikut MOS karena disuruh emak. Kalo nggak, mending tidur sampe siang."
Obrolan kami nyambung entah kenapa, aku merasa seperti baru saja ketemu versi jujur dari diriku sendiri. Dani tidak berpura-pura ramah, tidak sibuk jaga citra. Apa adanya. Dan itu yang bikin aku nyaman.
Selama kegiatan hari kedua, kami banyak bareng. Dari main game kelompok sampai nyanyi yel-yel yang absurd, Dani selalu bikin semuanya terasa lebih ringan. Bahkan waktu disuruh push-up karena kelompok kami kalah, Dani berteriak, "Ini buat masa depan perut kotak gue!" dan semua orang tertawa.
Hari itu, aku tidak terlalu memikirkan gosip kemarin. Bahkan Yuna pun terlihat menjauh. Mungkin dia tahu sekarang kalau mulutnya bukan lagi senjata yang ampuh.
Dan di hari kedua itulah, tanpa aku sadari, aku mendapatkan sahabat pertama di SMP.
Di hari ketiga Setelah sesi senam pagi yang diiringi lagu jadul pilihan kakak kelas yang entah kenapa selalu diputar tiap tahun kami semua dikumpulkan di lapangan. Kegiatan hari ini adalah outbound ringan. Sebenarnya lebih mirip permainan baris-berbaris yang dibungkus dengan istilah keren. Tapi karena ada Dani, semuanya jadi terasa jauh lebih menyenangkan.
Saat panitia membagi kelompok acak, aku dan Dani berpisah. Jujur, aku agak kecewa. Tapi hidup tidak selalu sesuai rencana, kan?
"Tenang aja, Bro," kata Dani sebelum pergi ke kelompoknya. "Kalau kelompok lo nyebelin, tinggal kabur ke kelompok gue. Bilang aja lo anak hilang."
Aku hanya tertawa kecil dan mengangguk. Dani memang selalu punya cara untuk membuat suasana tidak tegang.
Aku duduk bersama kelompok baruku yang isinya cukup campuran. Ada anak pendiam, anak yang sok aktif, dan satu orang yang langsung mencuri perhatianku. Bukan karena gayanya, tapi karena auranya yang beda. Anak itu duduk bersandar di tiang bendera, matanya setengah tertutup, seolah tidak peduli dengan apa pun yang terjadi di sekitarnya. Tapi dari cara dia menggenggam buku kecil dan bolpoin di tangannya, aku tahu: dia bukan anak sembarangan.
Namanya Yudi.
Aku tahu karena salah satu kakak kelas memanggilnya saat absensi. Dan dia hanya menjawab dengan anggukan malas.
Beberapa anak lain mulai saling berkenalan. Aku memperkenalkan diri singkat, lalu duduk tak jauh dari Yudi. Bukan karena ingin sok akrab, tapi... entahlah, aku merasa ada sesuatu dari anak ini yang mirip denganku. Semacam kesendirian yang tersembunyi rapat-rapat.
Tak lama kemudian, panitia menyuruh kami membuat formasi dan yel-yel kelompok. Semua bingung, saling lempar ide. Lalu tiba-tiba Yudi bersuara, pelan tapi jelas, "Gimana kalau kita pakai nada 'Garuda di Dadaku', tapi diganti liriknya?"
Semua menoleh. Kaget karena dia akhirnya bicara.
"Contohnya?" tanya salah satu anak.
Yudi membuka bukunya, lalu membacakan lirik ciptaannya. Lucu tapi padu, dan langsung disukai semua anggota kelompok. Hebatnya, anak pendiam ini justru jadi penyelamat saat kelompok mulai kacau.
Setelah latihan yel-yel, kami punya waktu istirahat sebentar. Aku akhirnya memberanikan diri duduk di sebelah Yudi.
"Liriknya bagus," kataku.
Dia menoleh, lalu mengangguk kecil. "Cuma spontan."
"Dean," kataku memperkenalkan diri.
"Yudi," jawabnya singkat.
Lalu diam. Tapi bukan diam yang canggung lebih seperti dua orang yang tahu kapan harus bicara dan kapan cukup duduk dalam sunyi.
Beberapa menit kemudian, Dani muncul sambil membawa dua kotak susu cokelat yang entah dari mana dia dapat.
"Brooo, lo di sini toh. Nih, buat lo. Gue tuker sama permen karet," katanya sambil nyodorin satu kotak ke arahku. Lalu dia melirik Yudi. "Wah, lo anak baru juga? Gue Dani."
Yudi hanya mengangguk singkat.
Dani duduk di antara kami dan langsung cerita soal kelompoknya yang isinya "kayak sinetron penuh drama."
Dan entah kenapa, Yudi malah nyengir tipis mendengarnya. Momen singkat itu membuatku sadar: meskipun tampak tertutup, Yudi bisa terbuka kalau bersama orang yang tepat.
Hari itu, kami bertiga akhirnya duduk bareng mengobrol sedikit, lebih banyak diam, tapi terasa nyaman. Seperti tiga orang dengan luka berbeda yang tanpa sadar sedang saling menyembuhkan lewat kebersamaan sederhana.
Mungkin, di sinilah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang belum kami pahami saat itu. Tapi takdir kadang suka bekerja diam-diam.
Dan hari kedua MOS pun ditutup dengan perasaan sedikit lebih hangat daripada kemarin. Karena untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian.
Hari Keempat - Malam yang Tak Akan Pernah Kami Lupa
Hari keempat, seluruh siswa kelas tujuh diwajibkan menginap di sekolah untuk kegiatan perkemahan Pramuka. Bukan hal barutiap tahun katanya begitu, tradisi sekolah. Tapi tahun ini... berbeda. Sangat berbeda.
Kami diminta datang sejak siang. Di halaman sekolah kami di suruh berbaris dalam keadaan teriknya matahari . entah kenapa semakin sore awan mulai semakin gelap, memberi suasana yang tidak biasanya. Entah kenapa, dari awal aku sudah punya firasat buruk. saat jam 7 malam kami di suruh untuk tidur di ruangan kelas dengan kelompok masing-masing.
"Bro, ini bukan perkemahan, ini jebakan cuaca," gumam Dani sambil membenarkan sleeping bag-nya. "Kalau hujan malam ini, kita semua berubah jadi ikan cupang."
Aku tertawa sedikit, sementara Yudi duduk tak jauh di sudut kelas. Seperti biasa, menulis sesuatu di buku kecilnya. Entah menulis cerita, entah puisi, entah mungkin catatan tentang orang-orang di sekelilingnya.
Kami satu kelompok dengan tiga siswa perempuan lain: Zahra anak baru yang katanya berani dan sangat cerewet, dan satu lagi... Yuna. Entah kenapa, panitia memasukkannya ke kelompok kami. Dea pun ikut, duduk tenang dengan wajah datar seperti biasa.
"Eh, katanya malam ini ada jelajah malam," kata Zahra penuh semangat. "Seru, ya! Aku suka yang beginian."
Dani menyipitkan mata. "Serius lo suka? Atau cuma sok suka?"
Zahra tertawa keras. "Aku? Gak takut hantu lah. Cemen amat." Tapi aku lihat tangannya gemetaran saat membuka senter kecil di tangannya.
Malam menjelang. Kami dikumpulkan di lapangan, senter di tangan, tali pramuka terikat di lengan. Kakak pembina menjelaskan jalur, aturan, dan hal-hal yang harus kami lakukan.
"Kalian akan berjalan menyusuri halaman sekolah dan tentunya kita akan jalan ke lingkungan warga juga tapi hati hati karena kita akan melewati rumah kosong dan persawahan . Setiap kelompok akan diberi waktu sendiri. Jangan menyentuh benda apapun. Jangan meninggalkan kelompok. Dan paling penting... jangan percaya semua yang kalian lihat."
Semua tertawa kecil, menganggap itu cuma gimmick. Tapi tidak denganku. Kalimat terakhir itu terasa... terlalu serius.
Tiba giliran kelompok kami. Kami berjalan pelan, menyusuri jalur yang hanya diterangi senter kecil. Udara terasa semakin dingin. Semak-semak bergoyang perlahan, angin menusuk sampai ke tulang.
"Ini kita akan ke rumah kosong begitu?, apa sih sebenernya maksud mereka?" bisik Dea.
"Katanya dulu ini rumah bekas orang bunuh diri sekeluarga karena depresi bangkrut mereka depresi begitulah pas di temuin sudah tinggal tulang," jawab Yudi pelan.
Zahra menelan ludah. "Apa lo bilang!!?"
Kami masuk ke rumah mewah yang sangat besar lalu melewati lorong sempit, melewati ruangan yang kacanya pecah sebagian. Di ujung lorong, ada pintu besi berkarat yang setengah terbuka. Terdengar suara... seperti kursi yang diseret dari dalam.
Kami semua langsung berhenti.
"Denger gak?" tanya Dani pelan.
Aku mengangguk. "Suara gesekan."
Yuna langsung mundur satu langkah. "Itu... bukan kita yang bikin suara barusan, kan?"
Tiba-tiba senter Zahra berkedip lalu mati.
"Eh, eh, eh... mati dong! Jangan bercanda ah!" Zahra panik. "Ini gak lucu."
Dani menyorot senter ke arah pintu berkarat. Tak ada siapa pun. Tapi saat kami berbalik untuk pergi... pintu itu menutup sendiri dengan bunyi dentuman keras.
Zahra langsung berteriak kecil. "DEMI APA?!"
"Tenang! Jangan panik!" kataku dengan nada yang cepat.
Tapi suasana sudah berubah. Wajah-wajah kami pucat. Nafas kami tertahan.
Yudi melangkah maju, matanya menatap tajam ke pintu. "Bukan angin. Ini... ada sesuatu."
Tiba-tiba dari dalam ruangan terdengar suara berbisik pelan, tapi jelas. Seperti suara anak kecil menyanyikan lagu... tapi nadanya sumbang. Lagu yang tidak seharusnya ada di tempat seperti ini.
"...peluit patah... tali kusut... semua hilang... semua surut..."
Yuna terduduk. Dea memegang lengan bajuku erat. Dani... diam. Dan Zahra? Ia berusaha bicara, tapi tidak keluar suara. Tangannya menutup mulutnya sendiri. Badannya menggigil hebat.
Akhirnya aku menarik mereka semua mundur. "Kita keluar dari sini. Sekarang."
Kami berlari tanpa peduli rute, sampai akhirnya kembali ke lapangan. Nafas kami tak beraturan. Senter Zahra menyala lagi entah kenapa, padahal sebelumnya mati total. Dan... saat kami melirik ke arah belakang-gedung itu gelap, tapi di salah satu jendela, ada siluet anak kecil berdiri diam.
Kami semua melihatnya.
Kami tidak bicara soal itu malam itu. Bahkan Zahra, yang biasanya paling berisik, hanya bisa duduk diam sambil memeluk lutut. "Jangan bilang siapa-siapa," katanya pelan. "Gue bukan penakut... gue cuma... cuma kaget aja."
Tapi kami semua tahu. Malam itu... bukan cuma sekadar kegiatan Pramuka. Ada sesuatu di sekolah ini. Sesuatu yang sudah lama tinggal di sana, dan malam tadi, ia menunjukkan dirinya.
Dan malam itu jadi awal dari misteri besar yang mulai membayangi tahun-tahun sekolah kami ke depan.
dan saat sampai di lapangan aku menceritakan sesuatu yang aku lihat di sawah saat kita berlari ketakutan keluar dari rumah kosong "eh tadi kalian liat sesuatu nggak waktu lewat persawahan di belakang sekolah?"
zahra menjawab sambil ketakutan "nggak ada apa apa udah lah dean jangan nakutin gue"
"nggak Zahra aku nggak nakutin emang beneran liat sesuatu" kataku dengan wajah meyakinkan
"okey fine ceritain cepet gue penasaran" kata zahra sambil memeluk tangan Dea.
"jadi tadi aku ngeliat ada kayak kain putih gitu di atas pohon mangga, tapi pas aku liat lagi kaim putih nya kayak terbang trus ngilang"
semua anak langsung ketakutan dan bahkan yudi juga terlihat ketakutan yang asalnya dia selalu diam meskipun ada keadaan yang gawat. Setelah itu semua kelompok kembali ke lapangan, dan para panitia menyuruh kami untuk beristirahat di kelas , kami pun menyiapkan sleep bag dan aku pun tertidur pulas.