Aku terbangun oleh suara gesekan halus seperti kuku menyeret di dinding papan kayu. Jam di tanganku menunjukkan pukul 02.34 dini hari. Udara malam menyelinap lewat jendela yang sedikit terbuka, menampar wajahku dengan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang.
Dani yang tidur di sampingku mulai bergerak-gerak, mungkin terganggu juga. Aku mencoba menahan suara nafasku. Tapi lalu, kantung kemih ku berontak. Aku harus ke toilet.
Biasanya, aku tak masalah berjalan sendirian ke ujung lorong menuju toilet sekolah, bahkan dalam gelap. Tapi malam ini... ada sesuatu yang terasa sangat salah. Udara di sekitarku seperti membeku, menekan dadaku.
Aku menggoyang pelan bahu Dani.
"Bro... bangun. Temenin gua ke toilet, bentar aja."
Dani membuka matanya perlahan, mengerjap, lalu duduk sambil mengucek mata. "Hah? Lu takut, Dean? Biasanya lu sendirian juga berani."
"Ada yang aneh... gua ngerasa dia ngeliatin gua dari ujung lorong tadi," kataku pelan, hampir berbisik.
Dani mengernyit, menatapku sejenak, lalu mendengus pelan. "Siapa? Jangan halu deh."
"Gua gak halu... Gua liat... bayangan hitam... tapi dia jalan terbalik, Dan."
Dani terdiam. Wajahnya yang awalnya malas mulai berubah. Ia berdiri, mengambil senter kecil dari tasnya. "Oke, cepet ya."
Kami keluar dari kelas yang dijadikan ruang tidur sementara untuk acara pramuka ini. Lorong sekolah lengang, hanya suara kipas angin tua di ujung aula yang berputar pelan, mengeluarkan bunyi "krek... krek..." berirama, seakan menghitung detik menuju sesuatu yang tak kasat mata.
Langkah kami bergema di lantai keramik putih yang sudah kusam. Kami melewati ruang UKS, lalu ruang guru yang gelap lampunya berkelip sekali seperti memberi peringatan. Aku menunduk dan mempercepat langkah.
Saat kami hampir sampai di toilet, kami mencium bau anyir... seperti besi berkarat. Darah?
Aku menelan ludah. "Lu cium gak?"
Dani mengangguk perlahan. "Iya... itu bukan bau pembersih toilet."
Kami tiba di depan pintu toilet. Pintu itu terbuka sedikit, menciptakan celah sempit yang gelap pekat.
"Senter dulu," bisikku.
Dani menyorot ke dalam. Tak ada siapa-siapa.
Tapi saat kami melangkah masuk, pintu di belakang menutup dengan sendirinya. CETAKK!!
Kami melonjak. Dani buru-buru mencoba membuka, tapi tak bisa. Terkunci dari luar... padahal tak ada siapa pun di koridor tadi.
Tiba-tiba... dari bilik paling ujung terdengar suara tangisan lirih.
“...ma... ma... maaa... jangan dikunciin lagi... gelap, ma...”
Suaranya seperti anak kecil, tapi parau. Tidak wajar.
Dani dan aku saling berpandangan. Napasku tercekat.
Tangisan itu berubah menjadi tawa pelan... pelan... lalu membesar.
“Hihihihihihiii... kamu juga mau dikunciin, ya?”
Lampu toilet mendadak padam.
Kegelapan menyelimuti kami. Senter Dani mati baterainya seolah habis secara tiba-tiba.
Sesuatu menyeret kakinya aku mendengar suara gesekan cepat. Dani berteriak, jatuh.
Aku panik, meraba dalam gelap.
“DANI!!”
“Ada yang megang kaki gua! DEAN!!!” teriaknya panik.
Aku mencoba menarik tangannya, tapi saat itu...
...ada tangan lain yang juga memegang Dani.
Tangan yang dingin... basah... dan jari-jarinya lebih panjang dari manusia biasa.
Aku melihat ke arah bilik paling ujung.
Pintu bilik itu terbuka perlahan, berdecit seperti tercekik.
Dan dari dalam, keluar sosok...
Tubuhnya membungkuk, rambut panjang menutupi wajah, seragam pramuka SMP... sobek-sobek, dan di lehernya tergantung papan nama lusuh bertuliskan "Zahra."
Matanya putih, tanpa bola hitam. Ia menatap langsung ke arahku. Tersenyum.
"Kalian nginap juga ya… kayak aku dulu… tapi aku gak pernah bisa pulang…”
Aku tak bisa bergerak. Nafasku tercekat di tenggorokan.
Zahra... atau apa pun itu... terus mendekat. Setiap langkahnya di lantai toilet yang basah meninggalkan suara ceplak... ceplak seperti ada darah yang menetes dari tubuhnya.
Dani terus menggenggam lenganku kuat-kuat. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi. “Dean… itu apaan, Dean…”
Sosok itu berhenti hanya dua meter di depan kami. Wajahnya perlahan terangkat.
Dan di bawah rambut kusutnya senyum mengerikan itu tetap terpahat. Tapi... bukan senyum yang menyeramkan lagi. Senyum itu... mulai terasa familiar.
Mataku menyipit, berusaha menembus kegelapan... dan saat itulah aku sadar. Aku mengenali wajah itu.
"Zahra...?"
Ia tiba-tiba berteriak sangat keras, membuat aku dan Dani reflek menutup telinga.
Lampu toilet langsung menyala, dan suara dari luar pintu terdengar lantang.
"Selamat kamu kena JERIT MALAM!!"
DUAAARRRRR!! Pintu toilet dibuka keras dari luar. Senter dan lampu LED disorot masuk.
Ternyata, di luar, berdiri para panitia MOS dengan wajah ceria sambil tertawa terbahak-bahak. Beberapa bahkan merekam dengan ponsel mereka.
Aku menatap Zahra yang sekarang berdiri tegak, membuka rambutnya, lalu... tertawa geli.
“Gila! Muka kalian lucu banget! Dean, lo sampe pucat banget!”
Dani terdiam sesaat, masih berusaha mencerna semuanya.
“Ini... ini rencana kalian semua?!”
Salah satu panitia, Kak Wisnu, masuk sambil memegang walkie talkie. "Sukses total, bro! Dua bocah paling berani malah jadi paling panik! Mantap!"
Jantungku masih berdetak kencang. Aku duduk di lantai, masih belum bisa percaya. Rasa takut yang tadi begitu nyata, sekarang terasa seperti mimpi buruk yang berubah jadi candaan.
“Astaga, gua bener-bener kira kita bakal diculik hantu sekolah,” gumamku.
Zahra menghampiri dan menjulurkan tangan. “Sorry ya, Dean, Dani. Aku disuruh jadi ‘korban’ hantu sekolah. Tapi jangan khawatir, kalian bukan yang pertama yang ketakutan sampai kencing hampir keluar,” katanya sambil tertawa kecil.
Dani menatap Zahra sejenak... lalu ikut tertawa. “Anjirrr. Gua kira gua ditarik setan beneran…”
Kami semua keluar dari toilet. Koridor sekolah yang tadi terasa dingin dan menyeramkan kini terasa hangat oleh tawa-tawa yang bersahut-sahutan.
Namun, saat aku menoleh sekali lagi ke arah toilet sebelum pintunya ditutup kembali... aku melihat sesuatu dari kaca kecil di atas wastafel.
Refleksi... dari bayangan hitam. Ia berdiri membelakangi ku.
To be continue