Tatapan itu masih membekas, seperti bayangan yang menolak pergi. Meskipun aku sudah keluar dari ruangannya... aku tahu, dia masih ada di belakang mataku.
Ada sesuatu yang tertinggal di sana. Di antara kata-kata dingin dan cara dia menyebut namaku…
Perasaan yang membingungkan.
‘Aduh, masa iya sih... Bos kecewa karena aku menikah? Dan... apa dia juga diam-diam—seperti aku—memujanya?’
Tanganku otomatis memegangi dada. Jantungku masih berdetak cepat.
Itu tadi percakapan serius… serius banget!
Tapi kenapa... yang membekas justru wajahnya?
Dengan bibir mengerucut, aku berjalan pelan menyusuri lorong. Tumitku berdetak ringan di lantai marmer. Sementara isi kepalaku masih terombang-ambing: takut... malu... dan—jangan bilang, Mia...
penasaran?
Logikaku menolak. Tapi hatiku... enggak bisa diam.
"Nggak mungkin kan dia... suka padaku..." gumamku pelan, sambil melipat tangan di dada.
Padahal tadi cuma tanya soal pernikahan.
Tapi tatapannya tuh... seolah aku ini bukan staf biasa. Seolah—aku barang miliknya yang nyasar ke rak orang lain.
"Mia..."
Aku bahkan masih bisa dengar suaranya. Dingin dan pelan. Menyebut namaku...
Suara itu kayak es krim vanila yang dituangin kopi panas. Dinginnya nikmat... panasnya nyelekit.
Pas sampai di meja, aku langsung duduk perlahan. Menelungkup di atas map tebal.
Pipiku nyentuh dokumen. Tanganku menggambar lingkaran kecil di meja, pakai ujung kuku. Aku menarik napas pelan, lalu teringat…
Dhani.
Dhani yang pagi tadi... bermasalah lagi soal pekerjaan.
"Duh, Dhani... Dhani sayang..." bisikku, sambil mengelus dada. Seperti habis nonton drama Jepang yang terlalu mirip kenyataan.
Aku melipat bibir. Menatap layar kosong. Hati ini rasanya seperti kapas—ringan, tapi gampang hancur kalau dipelintir.
Biar enggak makin tenggelam, aku paksa diriku bekerja. Ngetik laporan, mindahin jadwal meeting bos minggu depan, balesin email yang semuanya... serius. Dunia kantor ini rasanya jauh banget dari peluk hangat suamiku.
Jam istirahat datang.
Aku buka WhatsApp, ngetik cepat:
“Sayang, nanti kita makan bareng ya~ Tunggu aku di kantin 🥺🍽️”
Sebelum turun, aku ketuk pintu ruang bos.
“Bos, saya istirahat dulu ya…”
Suaranya datar. Pendek.
“Ya.”
Tapi efeknya... seperti cupid melepaskan panah. Dan menancap tepat di hatiku.
Aku nyengir sendiri, pipiku merona pink. Pura-pura tegar, padahal dalam hati... rusuh.
Aku berjalan cepat ke kantin. Seperti anak TK nyari temen pas jam main. Dan di sana... dia. Dhani.
Duduk rapi, senyum manis. Satu bangku kosong di sampingnya. Senyumnya kayak tahu goreng hangat: sederhana, tapi bikin adem.
“Hai sayang…” sapaku pelan, duduk di sampingnya.
“Hai cinta…” jawabnya, polos banget. Matanya berbinar kayak anak kecil yang baru dibeliin es krim.
Aku tersenyum lembut. Tapi di dalam... hatiku masih benang kusut. Tanganku mainan sendok, ngetok-ngetok pelan ke meja.
‘Sayang... kamu itu baik banget. Tapi dunia kerja nggak selalu baik ke orang baik.’
Dia nyuapin aku. Aku nurut, ngunyah pelan. Kami seperti dua anak kecil yang main rumah-rumahan. Pura-pura jadi dewasa... padahal dunia nyata? Nggak segampang itu.
“Sayang,” bisikku, “kamu janji ya... jangan bikin kesalahan lagi…”
Dia mengangguk. Semangat. “Iya! Aku janji. Demi kamu~”
Aku langsung meluk lengannya. Kecil. Manja. Berharap dunia cukup sabar untuk anak-anak sepolos kami.
---
Dengan tatapan tanpa rasa bersalahnya dia menoleh kepadaku.
"Tapi kesalahan apa ya?... Mmmm…”
Aku melotot kecil.
‘Nah. Ini nih.’
Deg-degan yang tadi sempat reda... sekarang kayak disiram bensin.
Dhani itu... terlalu polos. Kayak kertas putih yang belum tahu dunia ini penuh coretan tajam. Dan karena itu... dia nggak sadar, posisinya sekarang... bahaya.
“Ohh, karena tadi pagi enggak bareng kamu ya?” Sambungnya lagi dengan nada yang lebih meninggi. Padahal… salah.
Aku mendongak pelan. Senyumku datar. Kosong.
Kayak karakter anime yang kena bad ending rute ketiga.
Aku mengatur napasku perlahan, menurunkan emosiku.
“Hm, semuanya, sayang...” bisikku, ndusel pelan ke lengannya.
“Di rumah tangga kita… di kerjaan kamu… ya… ya…”
Suaraku nyaris seperti bisikan doa orang teraniaya tapi cinta.
Dia langsung mengangguk. Matanya penuh tekad.
“Oke sayangku, aku janji… akan selalu men—”
Entah kenapa... suaranya hilang di telingaku.
Mungkin karena jiwaku... sedang pergi.
Menatap wajahnya yang serius banget. Dunia tiba-tiba jadi hening.
Seolah... hanya kami berdua di frame ini. Setidaknya untuk saat ini.
‘terkadang aku merasa dia terlalu putih untukku, meskipun aku menyukai cara naifnya mencintaiku. Tapi… ada jarak yang tak bisa kujelaskan’
“Oke, sayang?” Aku berkedip-kedip tersadar oleh pertanyaannya.
“Eh—iya, iya sayang! Terima kasih ya~ Semangaaat!”
Senyumku agak panik. Tapi dia enggak sadar.
Masih polos. Masih manis. Masih Dhani seperti biasanya.
Kami lanjut makan. Suapan nasi. Seruput es teh. Candaan kecil. Di tengah keramaian kantin, kami seperti dua tokoh dalam taman rahasia.
Setelah makan siang, aku kembali ke lantai atas.
Langkahku pelan... tapi pasti.
Kembali ke dunia nyata. Dunia tempat Dhani bisa tersingkir hanya karena satu kesalahan kecil—yang bahkan tak ia sadari.
Aku duduk. Menyalakan monitor.
Cahaya biru menyapaku dingin. Aku membuka agenda rapat minggu depan.
“Hmmm… minggu depan padat sekali ya…” gumamku.
“Rapat... dan rapat... dan rapat.”
Tiba-tiba, notifikasi WhatsApp muncul di layar:
Bos G:
“Kamu sudah di atas? Kalau sudah, ke ruanganku. ASAP.”
Aku mematung.
Kata "ASAP" dari dia tuh... rasanya beda.
Kayak campuran antara ancaman dan undangan.
Yang bikin gugup, tapi juga... ingin tahu.
Padahal aku baru saja ingin bernapas lega.
Tapi dia...
Selalu tahu caranya mengganggu ritme hatiku.
Dan mungkin—tanpa aku sadari—aku mulai membiarkan dia melakukannya.
Karena saat kutatap layar ponselku...
Yang kulihat bukan lagi pesan.
Tapi... panggilan dari sisi gelap yang tak pernah kuundang—tapi diam-diam kutunggu.