Aku berdiri pelan, merapikan blusku. Kupastikan rok pensilku enggak naik terlalu tinggi. Padahal, entah kenapa... aku selalu merasa seolah dia lebih suka kalau memang begitu.
Aku bergegas ke ruangannya.
Tok-tok.
“Bos, ini saya... Mia.”
"Masuk."
Suara berat dan dalam. Tak pernah berubah. Tapi efeknya ke tubuhku... selalu beda.
Saat pintu kututup perlahan di belakangku, dia masih menatap layar laptopnya. Tapi aku tahu, dia sadar penuh akan kehadiranku.
Aku melangkah pelan ke depan mejanya. Tumitku berdetak halus di lantai marmer, langkah yang kuusahakan tenang, tapi justru terdengar menggoda.
Dan seperti biasa.
Tatapan itu… menyapu dari ujung kaki sampai garis leherku. Seolah-olah... aku adalah properti yang sedang ia periksa kualitasnya.
“Bos, ada yang bisa saya bantu?”
Aku bisa rasakan sorot matanya menembus kulit. Bikin kulitku meremang. Padahal bajuku... ya, standar sekretaris. Tapi entah kenapa kalau dia yang lihat... semuanya terasa seperti terlalu tipis.
Tatapannya masih menusuk, lalu dia bicara dengan nada rendah tapi tajam.
“Kau sudah lihat jadwalku minggu depan?”
"Sudah Bos... sangat padat," Jawabku, berusaha tetap fokus.
Dia bersandar sedikit, menautkan jari-jarinya.
“Aku mau kamu yang presentasi di depan investor.”
Aku nyaris tersedak oleh kata-katanya.
“S-saya Bos? Tapi biasanya kan Bos langsung yang—”
“Kamu sudah sering komunikasi sama mereka. Kamu tahu cara berbicara dengan mereka. Santai saja... aku akan tetap di sana menemani.”
Aku menelan ludah. Antara bangga, gugup dan ya, sedikit bingung. Kenapa harus aku?
“Baik Bos, saya akan—”
“Tapi ubah penampilanmu.” Memotong pembicaraanku dan menunjuk ke arah rok selututku.
Aku membeku…
"Ubah, p-penampilan saya?" Suaraku nyaris berbisik.
Dia mengangguk pelan, mengunci tatapannya, seolah sedang membaca sesuatu dari sorot mataku.
“Lebih... atraktif”
Jantungku langsung berdebar kencang.
‘Apa maksudnya?!’
Wajahku panas merona, dan tanganku spontan memegang lengan kanan sendiri, seperti mencari perlindungan dari getaran aneh di udara.
“Maksudnya... bagaimana, bos?”
Dia tidak menjawab langsung. Hanya menyipitkan mata sedikit, lalu berkata dengan nada dingin pasti dan mengaduk-aduk emosiku:
"Kamu tahu maksudku, Mia. Presentasi itu bukan cuma soal materi. Aku butuh kamu jadi pusat perhatian—menguasai ruangan, menaklukan mereka dengan pesonamu”
Aku terdiam. Dengan jemari yang bergerak dengan sendirinya memainkan ujung kemeja.
“Kau punya itu, Kau spesial. Dan aku tahu kamu bisa… jadi, apa kamu bersedia?"
Alisku sedikit berkerut dalam diamku.
Pikiranku berkelut mencari jawaban untuk tetap profesional dan menjaga rumah tangga ku.
‘Lebih atraktif? Apakah itu masih dalam batas profesional? Atau..’
“Bos, bagaimana dengan materi presentasi yang baik mungkin? Saya akan menyiapkan materi, dan saya yakin kita bisa melakukannya dengan baik”
Deg — deg — deg
'Aku gugup banget! Ini lebih menegangkan dari drama Korea favoritku! Tatapan Bos. Dinginnya seperti es abadi, tapi... ada sedikit api yang membara di dalamnya!'
“Hmm, ya, aku tahu kau pandai berbicara, dan aku tahu kau bisa menguasai materimu. Ya, tapi aku membutuhkan sesuatu yang berbeda.”
“Saya akan berusaha sebaik mungkin, bos. Presentasi ini sangat penting bagi saya.” Dengan nada yang kuusahakan tetap tenang dan profesional.
'Aduh, aku harus fokus! Jangan sampai aku salah ngomong'
“Apakah ada hal lain yang perlu saya perbaiki, Bos? Saya akan sangat berterima kasih atas arahan yang lebih spesifik.”
'Dia masih melihatku... apakah dia, tidak menyukaiku? Atau, akah dia... tertarik padaku?'
Tanpa sadar menggigit bibirku kencang dan sedikit mengepal.
Dia dengan suara baritonenya dan lantang.
“Presentasi masih sesuai jadwal minggu depan. Kita bisa manfaatkan minggu ini untuk persiapan. Aku mau kamu mulai memakai pakaian yang lebih atraktif mulai besok, apakah kamu bersedia… Mia?”
Aku terdiam sesaat, merasa tidak nyaman dengan permintaan terakhirnya. Sedikit keringat yang dingin sudah muncul di dahiku, tapi aku coba untuk… profesional.
‘Mulai besok? Persiapan?..’
Meskipun jantung ini berdebar kencang. Aku berusaha keras untuk mengendalikan emosiku.
Bos Gotis menopang dagunya dengan tangan, yg bersandar diatas meja besarnya. Tatapannya tetap tajam dan dingin, menunggu jawabannya
“Mia?”
Setelah beberapa saat terdiam, aku menjawab dengan berat, sambil sedikit menunduk dan menggigit bibirku lagi.
”Eh, iya Bos. Maaf, saya — saya perlu waktu untuk memikirkan permintaan Bos. Presentasi minggu depan, akan saya usahakan sebaik mungkin”
Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan – apakah itu ketidakpuasan, atau ada rencana lain?
‘Ya Tuhan, apa yang baru saja saya katakan? Semoga beliau tidak marah. Suami saya, pekerjaannya, dan permintaan beliau yang aneh itu... Aduh, bagaimana ini?’
Suaranya rendah, sedikit lebih tenang, tapi matanya masih tajam menelusuk.
"Yang aku inginkan, kau jadi sekretaris yang tak hanya cantik di meja depan — tapi cukup berharga untuk berdiri di ruangan mana pun... dan tetap membuat semua orang diam dan iri kepadaku.”
‘WHAT?! lagi-lagi kan, kan, KAN!.. miliknya?!’
Celoteh Hatiku sedikit mengartikan kata-katanya.
Aku tahan suaraku tetap tenang, meski jantung berdentum cepat.
“B-baik, Bos. Saya akan berusaha menjadi sekretaris yang... seperti bos inginkan.”
Tanganku refleks merapikan rok. Sedikit bergetar… tapi tetap sopan.
“Tapi, permintaan Bos tadi... apakah itu masih dalam konteks profesionalisme, Bos? Saya hanya... ingin memastikannya, supaya saya tidak salah tangkap.”
Bos Gotis tersenyum tipis, pelan... dan datar dia menjawab…
“Hm? Menurutmu… itu personal?!"
DEG.
Kalimat itu... seperti suara palu hakim di ruang sidang-memvonis sesuatu yang belum ku pahami sepenuhnya.
Aku menunduk.
Jari-jariku kembali memainkan rok pensilku, seolah mencari perlindungan dari kainnya yang tipis.
Pipiku memanas... merah, merona. Dan bibirku gemetar saat mulai bersuara lagi, pelan, nyaris seperti bisikan.
“M-maaf, Bos... saya t-tidak bermaksud menyinggung. U-umm.”
Kutatap wajahnya-wajah dingin, mendominasi, tapi... sangat memikat.
Dengan sisa keberanian yang kupunya.
“Bos... ini pertama kalinya Anda menilai penampilan saya—”
“Apa semua ini karena saya menikah... diam-diam? Atau karena suami saya bermasalah?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja.
Aku tak tahu, sedang melawan atau menyerah.
Bos Gotis terdiam.
Tapi sesaat. Matanya berubah.
Bukan dingin. Bukan menilai.
Lebih seperti... sesuatu yang tak sempat disembunyikan. Retakan kecil di dinding baja.
Dia menyandarkan punggung ke kursinya, menghela napas pelan.
Pandangannya turun-menyapu meja, lalu kembali ke mataku. Kali ini tak sedingin tadi. Masih tajam, tapi... ada jeda. Ada diam yang terasa pribadi.
"Jadi seperti itu penilaianmu?”
Nada suaranya lebih tenang. Lebih dalam. Bukan menggertak, tapi... seperti menahan sesuatu yang tak ingin bocor dari bibirnya.
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Tangan masih gemetar, tapi kutahan agar tak terlihat.
Bos Gotis kembali menatapku. Tapi kini, bukan dari atas ke bawah seperti biasa. Tatapannya sekarang menyorot lurus... langsung menembus ke dalamku. Dalam sekali…
Lalu dia bicara, pelan. Dingin. Tapi entah kenapa... terasa lebih manusiawi dari sebelumnya.
“Kalau kau merasa ini tidak pantas... kau boleh menolaknya, Mia.”
Dia berkata begitu tanpa berkedip
Tatapan itu... seperti ujian. Seolah dia tahu aku bisa berkata tidak-tapi dia juga ingin tahu, apakah aku akan melakukannya?
Deg...
Hatiku seperti dilempar ke ruang kosong.
Dia memberiku pilihan... tapi kenapa rasanya lebih sulit dari perintah?
Kukedipkan mataku pelan. Kutatap wajahnya-wajah lelaki yang selama ini kupikir tak punya celah. Tapi hari ini... aku melihat sedikit bayangan yang lain.
Entah apa bayangan itu?
Atau mungkin... rasa yang bahkan dia sendiri tak ingin akui?
Aku menarik napas pelan. Bibirku terbuka sedikit, tapi belum kuputuskan akan berkata apa.
Aku baru saja mengangkat wajahku, masih dengan jari-jariku yang tanpa sadar memutar ujung kemeja.
Kata-kataku belum sempat keluar-masih tertahan di ujung bibir,
Masih terbungkus ragu dan degup jantung yang memburu tak karuan.
Tapi dia lebih dulu bicara.
“Silakan pergi, Mia. Kau boleh kembali bekerja.”
Nadanya... datar.
Lurus seperti garis lurus di layar monitor.
Tak ada intonasi tinggi. Tak ada penekanan emosi.
Tapi justru di situlah tekanannya terasa-
Seperti pintu baja yang tertutup pelan... tapi tak bisa kau buka lagi dari luar.
Aku terdiam.
Seolah suara itu belum sepenuhnya terserap ke telingaku.
Lalu aku mengangguk kecil-refleks, lemah.
Langkahku terasa kaku saat memutar badan dan berjalan ke arah pintu.
Kurasakan punggungku seperti masih disorot matanya,
Tapi aku tak berani menoleh.
Klik.
Kutekan tombol pintu.
Dan aku pun keluar.
Dengan dada yang sesak oleh sesuatu yang tak bisa kusebutkan namanya…
Tanganku sudah menggenggam kenop pintu.
Jantungku berdetak seperti genderang perang.
Kata-katanya tadi masih bergema di telingaku…
"Kalau kau merasa ini tidak pantas... kau boleh menolaknya, Mia."
Begitu singkat.
Tapi kenapa terasa... menggantung?
Aku menarik napas pelan. Dalam.
Tubuhku sudah separuh berbalik.
Tapi entah kenapa, hatiku belum bisa ikut pergi.
Dan tiba-tiba, tanpa rencana, tanpa aba-aba dari otak.
Aku menoleh.
Dan untuk sekali ini... dia tampak berbeda
Bos Gotis.
Sosok yang biasanya berdiri tegak, tajam, dan tak tergoyahkan, kini… duduk menunduk. Matanya kosong. Seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri, atau... mungkin sedang bertarung dengan pikirannya.
Pena di tangannya tak bergerak. Bahunya tak setegas tadi. Dan ruangan itu... rasanya dingin sekali. Tapi bukan dingin karena AC-dingin karena ada sesuatu yang hilang.
'D-dia… dia? Kenapa? Apakah aku telah menyakitinya karena telah menikah?'
Entah kenapa air mata menggenang di mata ku .
Aku terdiam beberapa detik… menatapnya dari balik pintu yang nyaris tertutup.
Dan tanpa sadar, aku menggigit bibirku lagi.
Bukan karena gugup kali ini... tapi karena sedih.
Sedih melihat sisi lain dari seseorang, yang selama ini hanya ku pahami dari luar. Apa ada kesalahan pada diriku selama ini… ketidak pekaan!?
Lalu, aku membalikkan badan.
Melangkah pergi dengan langkah perlahan.
Tapi perasaanku tertinggal.
Di ruangan yang baru saja kutinggalkan…
Apakah benar, dia?..