Episode 1: Pertemuan di Guyuran Hujan

Hujan turun begitu deras, seolah langit ingin menumpahkan seluruh beban dunia. Jalanan kota yang biasanya padat dengan kendaraan kini terasa kosong, hanya suara gemuruh hujan yang menggema di seluruh sudut. Arya, dengan langkah yang berat, berjalan menyusuri trotoar yang licin. Ia merasa seperti sedang berjalan di tengah labirin, terperangkap oleh rutinitas hidup yang menjemukan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menahannya.

Kepalanya penuh dengan tumpukan pekerjaan yang tak selesai dan tekanan dari keluarga yang semakin membuatnya merasa lelah. Ketika ia melangkah lebih jauh, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sesuatu yang membuatnya berhenti.

Di seberang jalan, seorang perempuan berdiri sendirian di bawah guyuran hujan, memegang payung kuning yang koyak. Dia tampak begitu tenang di tengah kerumunan hujan yang deras, seperti tidak ada apa-apa yang bisa mengganggunya. Arya merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang menariknya untuk mendekat. Sesuatu yang ia rasakan, meski tak bisa dijelaskan, seperti seruan dari dunia yang lebih besar daripada rutinitasnya yang membosankan.

Dengan langkah terburu-buru, Arya mendekati perempuan itu, mengabaikan genangan air yang menggenang di jalan.

“Apa nggak mending neduh di sini saja? Payung itu sudah nggak bisa disebut payung lagi,” Arya memulai percakapan, mencoba melontarkan kalimat ringan, meskipun hatinya terasa gelisah.

Perempuan itu menoleh perlahan, wajahnya tidak terlihat jelas karena hujan yang menutupi sebagian besar pandangannya. Namun, senyumannya begitu lembut, seolah dunia tidak pernah memberinya beban.

“Hujan begini justru enak. Bikin lupa sama ribetnya dunia,” jawabnya, suaranya lembut tapi menggema dalam hati Arya.

Ada sesuatu dalam suara itu yang membuat Arya merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang mengenalnya, meskipun ia yakin bahwa ini adalah pertemuan pertama mereka. Mereka berdua berdiri dalam diam, saling menatap, seolah berbicara tanpa kata-kata. Hujan, yang tadinya terasa berat di hati Arya, kini memberi ketenangan yang tak terduga.

Setelah beberapa menit, perempuan itu menyerahkan sebuah secarik kertas kepada Arya.

“Baca ini nanti, ya. Terima kasih sudah menemani aku,” katanya, tersenyum lembut sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Arya menatapnya pergi, anehnya langkah perempuan itu seakan menghilang begitu saja di tengah jalan, meskipun ia tahu bahwa perempuan itu hanya berjalan menuju ujung gang. Ada rasa yang mengganggu dalam pikirannya, rasa yang seakan-akan perempuan itu bukan hanya sekadar orang asing yang ditemui di jalan, melainkan sesuatu yang lebih. Namun, ia mengabaikannya dan membuka secarik kertas yang diberikan.

Isi surat itu begitu singkat dan misterius, namun entah mengapa membuat darah Arya berdesir:

"Terima kasih sudah menemani aku hari ini. Kadang, hujan adalah satu-satunya yang mau mendengarkan ceritaku. Oh, dan satu hal lagi… tiga tahun lalu, di tempat ini, aku pergi untuk selamanya. Mungkin kita nggak akan pernah bertemu lagi, tapi jangan lupa bahagia, ya."

Tangan Arya gemetar saat membaca surat itu, dan tubuhnya terasa kaku. Dia melirik sekelilingnya, mencari sosok perempuan itu, tapi jalanan kini kosong, hanya sisa hujan yang membasahi bumi. Tidak ada jejak langkah yang tertinggal.

"Apa maksudnya?" pikir Arya, bingung. Ia merasa seperti ada yang tidak beres, namun juga tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakannya. Di balik kebingungannya, ada perasaan yang kuat, seolah ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia temui, sesuatu yang terhubung dengan masa lalu yang terlupakan.