Hari itu seharusnya seperti biasa. Bangun, kerja, pulang, tidur. Namun, semakin aku menjalani rutinitas ini, semakin terasa berat. Setiap langkah yang kuambil seperti dihantui beban yang tak pernah berkurang. Tumpukan masalah datang dari berbagai arah, seperti hujan deras yang tak henti-hentinya. Pekerjaan yang tak pernah selesai, bos yang selalu menekan, dan keluarga yang mulai kehilangan kepercayaan. Aku merasa seperti berjalan di tengah lorong gelap yang tak ada ujungnya, tak tahu ke mana arahku.
Di kantor, aku hanya duduk di depan laptop, memandang layar kosong selama berjam-jam. Email-email tak terbalas, tugas menumpuk, dan kepala terasa penuh. Rasanya, dunia ini berhenti memperhatikan aku. Ketika rekan-rekan kerja bercanda atau ngobrol, aku hanya diam, seolah suara mereka tak sampai ke telingaku. Tidak ada gunanya berbicara. Toh, siapa yang peduli? Semua itu terasa semakin membuatku terasing.
Jam kerja berakhir, tapi aku tetap tak punya tujuan. Aku melangkah keluar kantor, tubuh lelah, pikiranku hampa. Hujan mulai turun dengan deras. Jalanan yang biasanya penuh dengan keramaian tiba-tiba terasa lengang. Hanya suara hujan yang menghantam aspal yang terdengar. Aku berjalan tanpa payung, membiarkan diriku basah kuyup. Ada perasaan aneh dalam diriku, seperti hujan ini satu-satunya yang mengerti apa yang sedang aku rasakan. Seolah hujan adalah satu-satunya yang tahu bagaimana rasanya terjebak dalam hidup yang tak menentu.
Aku berhenti di depan sebuah warung kecil, terdiam sejenak, memandangi jalanan yang mulai tergenang air. Aku tidak tahu kenapa aku berhenti di situ, tapi rasanya aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Mungkin, aku hanya ingin lari dari dunia yang terus menerus menghisap energi dariku.
Keheningan itu membawa pikiran-pikiran buruk yang datang silih berganti. Apa gunanya semua ini? Aku merasa lelah berjuang tanpa hasil, terjebak dalam rutinitas yang tak ada ujungnya. Apakah aku harus menyerah? Tapi menyerah seperti apa? Haruskah aku pergi ke tempat di mana tak ada yang mengenal aku? Meninggalkan semuanya, melupakan segala sesuatu yang menekan hidupku? Pikiran itu berputar, semakin gelap seiring dengan derasnya hujan.
Aku menengadah, membiarkan air hujan membasahi wajahku. Dinginnya hujan menusuk, namun entah kenapa aku tak peduli. Rasanya seperti hujan ini satu-satunya yang bisa memahami aku. Aku hanya ingin hilang, menghilang dari dunia ini, pergi dari segala yang menyakitkan. Namun, saat pikiranku hampir menjadi keputusan untuk menyerah, mataku menangkap sosok yang berbeda di kejauhan.
Di depan warung kecil itu, seorang perempuan duduk di kursi panjang, memegang payung kuning yang sudah koyak. Dia tampak begitu tenang, berbeda dari semua orang yang sibuk mencari tempat berlindung. Wajahnya menghadap hujan, seolah sedang berbicara dengan alam yang sedang menangis. Perempuan itu terlihat seperti tak terganggu oleh apapun. Rasanya, aku merasa tertarik mendekat, bukan karena penasaran, tapi karena dorongan yang tak bisa aku jelaskan, seolah ada sesuatu yang memanggilku.
Aku akhirnya membuka suara, pertama kalinya sejak aku meninggalkan keramaian kantor. "Apa nggak mending neduh di sini saja? Payung itu sudah nggak bisa disebut payung lagi," kataku, mencoba untuk mengajak berbicara dengan nada ringan, meskipun hatiku terasa berat.
Perempuan itu menoleh, perlahan, dan memberi senyum kecil. Matanya terlihat tenang, namun ada sesuatu di dalam tatapannya yang mengundang rasa penasaran yang semakin mendalam. "Hujan begini justru enak. Bikin lupa sama ribetnya dunia," jawabnya pelan, namun ada kedalaman dalam suaranya yang seolah menyentuh sesuatu yang tersembunyi di dalam diriku.
Obrolan kami tidak rumit. Dia hanya berbicara tentang hujan, tentang mimpi, dan hidup dengan cara yang sederhana, seolah berbicara tentang sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang membuatku merasa tenang untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Rasanya, dunia luar yang penuh dengan masalah itu mulai menghilang. Perempuan ini, yang hanya sebentar hadir dalam hidupku, memberi aku sejenak kedamaian yang lama hilang.
Aku tidak tahu siapa dia, atau mengapa dia ada di sana, tapi dalam percakapan singkat itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang sangat penting yang baru saja terjadi. Dia membuatku sadar satu hal: aku masih punya waktu untuk berubah. Aku masih punya pilihan. Mungkin, hidupku yang penuh kebingungan ini bukanlah akhir.
Namun, kenyataan menghantam saat dia bangkit untuk pergi. Saat ia menyerahkan surat kepada ku, aku merasa ada yang aneh. Surat itu terasa sangat sederhana, tapi isinya membuatku merasa dunia ini seakan berputar di luar kendaliku.
"Terima kasih sudah menemani aku hari ini. Kadang, hujan adalah satu-satunya yang mau mendengarkan ceritaku. Oh, dan satu hal lagi… tiga tahun lalu, di tempat ini, aku pergi untuk selamanya. Mungkin kita nggak akan pernah bertemu lagi, tapi jangan lupa bahagia, ya."
Tangan ku gemetar saat membaca surat itu, dan aku merasakan kegelisahan yang mendalam. Apa maksudnya? Perempuan ini… dia sudah tidak ada lagi? Apakah aku sedang berhadapan dengan kenangan atau sesuatu yang jauh lebih besar? Aku menatap jalanan yang kosong, tapi tidak ada jejaknya. Sepertinya dia telah menghilang begitu saja. Hanya tinggal aku, berdiri di tengah hujan, memegang surat yang semakin basah.
Perasaan itu tetap tinggal, meskipun hujan mulai reda. Sejak hari itu, aku berjanji dalam hati bahwa aku akan menemukan alasan untuk bahagia, seperti yang dia minta. Mungkin itu adalah pesan terakhir yang dia tinggalkan untukku. Aku tidak akan menyerah. Aku akan mencari jalan untuk berubah.