Episode 3: Bayangan di Tengah Malam

Keesokan harinya, aku—Arya—kembali tenggelam dalam rutinitas yang semakin menyesakkan. Pagi dimulai dengan tumpukan tugas di kantor, rapat yang tak pernah usai, dan tekanan yang rasanya semakin hari semakin menggila. Kepala terasa berat, tubuh letih, namun aku tak punya pilihan selain bertahan. Setiap langkah seolah membawa beban yang lebih berat.

Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, aku terpaksa lembur. Mata sudah terasa berat, tapi pekerjaan seolah tak ada habisnya. Pulang larut malam menjadi kebiasaan baru. Di jalan pulang, aku hanya menatap kosong ke luar jendela bus, menyaksikan lampu-lampu jalan yang memantul di genangan air, dan rasanya seperti dunia berjalan begitu jauh dariku. Ketika aku sampai di rumah kontrakan kecilku, hujan kembali turun deras, seperti mengiringi rasa letih yang menumpuk dalam tubuhku.

Pada malam itu, entah sudah berapa lama sejak pertemuan terakhirku dengan perempuan itu, aku pulang lebih larut dari biasanya. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Jalanan sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Langit gelap, disertai hujan lebat yang mengguyur tanpa ampun. Tubuhku basah kuyup, tetapi aku terlalu lelah untuk peduli.

Saat berjalan melewati rel kereta yang biasa kutempuh, sebuah kereta melintas dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga di tengah sunyi malam. Aku berdiri di pinggir rel, menunggu kereta berlalu. Hujan yang semakin deras dan suara gemuruh kereta membuat suasana semakin mencekam. Tapi tiba-tiba, aku melihatnya—sesuatu yang membuatku berhenti, tidak bisa bergerak.

Di sisi rel, hanya beberapa meter dariku, ada seorang perempuan dengan payung kuning yang koyak. Dia berdiri diam, wajahnya begitu tenang, tak terpengaruh oleh hujan yang membasahi tubuhnya. Wajahnya setenang malam itu, seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Mataku terpaku. Itu dia!

Tanpa pikir panjang, aku berlari menerjang hujan, mencoba mendekatinya. Hatiku berdebar, langkahku semakin cepat, seolah ingin menemukan jawabannya. Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tiba-tiba penjaga rel muncul dan menghentikanku dengan kasar.

“Mas, mau mati?! Itu kereta masih lewat!” bentaknya, menarik lenganku dengan kasar.

Aku menunjuk ke arah perempuan itu. “Tapi… ada seseorang di sana!” seruku, panik, mencoba meyakinkannya.

Namun, begitu aku menoleh, perempuan itu menghilang begitu saja. Tak ada siapa pun di sana. Hanya rel kereta yang kosong, dipenuhi hujan dan suara malam yang mencekam.

Penjaga rel memandangiku dengan tatapan heran, seolah aku gila. “Nggak ada siapa-siapa, Mas. Udah, hujan-hujanan begini, mending pulang.”

Aku mengangguk lemah, merasa bingung. Namun, pikiranku tak bisa tenang. Perempuan itu nyata. Aku yakin. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, dan aku tak bisa diam saja.

Setelah kejadian itu, rasa penasaran menguasai pikiranku. Siapa dia? Mengapa dia ada di sana malam itu? Dan kenapa dia bilang sudah meninggal tiga tahun lalu? Semua pertanyaan itu berputar di kepalaku, mendorongku untuk mencari tahu lebih dalam.

Aku pergi ke warung kecil tempat pertama kali kami bertemu. Aku bertanya pada orang-orang di sekitar, berharap seseorang mengenalnya, namun tak ada yang tahu. Semua orang di sana hanya melihatku dengan bingung, seolah aku mengada-ada. Aku mulai merasa seperti orang yang terjebak dalam mimpi yang tak bisa dimengerti.

Hari-hari berikutnya, rasa penasaran terus menggerogotiku. Aku mulai menggali lebih dalam, mencari berita kecelakaan atau kejadian aneh yang mungkin terjadi di sekitar rel atau di tempat kami bertemu. Malam-malamku dipenuhi oleh pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Nama perempuan itu tetap menjadi misteri, dan meskipun setiap langkahku semakin terasa berat, aku merasa ada sesuatu yang harus aku ketahui, yang harus aku ungkap.

Setiap kali hujan turun, bayangan wajahnya kembali muncul di kepalaku. Tatapannya yang tenang, senyumnya yang hangat, bahkan suara lembutnya yang masih terngiang. Aku merasa terjebak di antara kenyataan dan sesuatu yang jauh lebih besar, yang tak bisa kujelaskan. Aku harus menemukan jawabannya. Aku harus tahu kenapa dia muncul dalam hidupku. Mungkin, jawabannya adalah kunci untuk memahami segala hal yang telah menggelisahkan pikiranku.