Episode 4: Dalam Gelap

Namaku Dinda. Aku bekerja di kantor yang sama dengan Arya. Selama ini, aku hanya memandangnya dari jauh. Dia bukan tipe yang suka banyak bicara, lebih sering diam di mejanya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tetapi, aku tahu, ada sesuatu yang berat di hidupnya. Caranya menunduk saat bekerja, seringnya pulang terakhir, dan tatapannya yang kosong, seakan menyimpan cerita yang tak pernah ingin dibagikan.

Aku ingin mendekatinya, ingin tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Tapi, aku selalu ragu. Bukan karena aku takut ditolak, tapi lebih karena aku merasa aku bukan siapa-siapa baginya. Hanya rekan kerja biasa yang sesekali mengucapkan "pagi" dan "selamat pulang" tanpa arti lebih.

Akhir-akhir ini, aku merasa ada yang berubah pada Arya. Dia terlihat lebih lelah, lebih sering melamun, dan sesekali terlihat gelisah, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Aku ingin membantunya, meski hanya dengan kata-kata kecil atau sekadar berada di dekatnya. Namun, aku tak pernah punya keberanian untuk benar-benar bicara.

Hingga suatu malam, semuanya berubah.

Hari itu hujan turun deras sejak sore. Di kantor, listrik tiba-tiba mati menjelang malam. Lampu darurat menyala redup, memberikan sedikit penerangan di tengah gedung yang gelap. Sebagian besar rekan kerja sudah pulang, namun aku dan Arya masih berada di lantai atas. Aku sedang membereskan beberapa dokumen, sementara Arya seperti biasa, tenggelam dalam pekerjaannya.

“Kita terjebak,” gumamku pelan sambil memandangi jendela yang dipenuhi tetesan air hujan. Lift mati, tangga darurat gelap gulita, dan suara gemuruh petir di luar membuat suasana semakin mencekam.

Arya menoleh ke arahku dengan ekspresi datar, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. "Sepertinya kita harus menunggu hujan reda atau listrik kembali. Kamu takut gelap?"

Aku menggeleng, meski jujur aku sedikit merasa tak nyaman. "Enggak, cuma… rasanya aneh aja, gelap-gelapan begini."

Kami duduk di ruang meeting kecil di lantai atas, satu-satunya ruangan yang cukup terang karena lampu darurat yang berkedip-kedip. Hujan makin deras, disertai suara petir yang menggelegar. Sesekali, aku melirik Arya yang duduk diam, menatap kosong ke luar jendela. Ada sesuatu di wajahnya yang sulit dijelaskan, seakan sedang memikirkan hal yang berat.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang aneh. Angin dingin berhembus begitu kencang, meskipun jendela tertutup rapat. Aku bergidik, namun mencoba mengabaikannya. Suasana semakin mencekam. Aku menoleh dan mendengar suara langkah kaki samar-samar terdengar di lorong luar, padahal kami yakin tak ada orang lain di lantai ini.

"Arya, kamu dengar itu?" tanyaku dengan suara pelan, mencoba memecah keheningan yang semakin menyesakkan.

Dia mengangguk perlahan, wajahnya tegang. "Iya, tapi nggak mungkin ada siapa-siapa. Semua sudah pulang."

Aku mencoba berpikir logis, mungkin itu hanya suara bangunan tua yang berderit karena angin. Namun, sebelum aku bisa berkata lebih banyak, pintu ruang meeting tiba-tiba bergeser sedikit, meski tak ada angin yang cukup kuat untuk mendorongnya. Kami saling menatap, jantungku berdebar kencang.

"Arya…" Aku hampir tidak bisa menyelesaikan kalimat itu, tapi dia sudah berdiri perlahan.

"Kamu tetap di sini," katanya dengan suara rendah, memberi peringatan yang seolah lebih berat dari sebelumnya.

"Tunggu, jangan keluar. Kita nggak tahu apa yang terjadi," aku berusaha menghentikannya, tapi dia hanya tersenyum tipis, namun matanya menunjukkan sesuatu yang lebih dalam.

"Aku cuma mau memastikan."

Aku tak bisa membiarkannya pergi sendirian, jadi aku ikut berdiri dan mengikuti langkahnya ke luar ruangan. Lorong gelap terasa lebih dingin dari biasanya. Kami berjalan perlahan, dengan hanya lampu darurat yang sesekali berkedip memberikan sedikit cahaya. Suara langkah itu semakin teredam, digantikan oleh keheningan yang semakin menyesakkan. Rasanya aku bisa mendengar detak jantungku sendiri.

Tiba-tiba, sesuatu jatuh dari rak di ujung lorong, membuat kami berdua terkejut. Rak itu kosong, dan tidak ada alasan apapun untuk benda itu jatuh sendiri. Aku mulai merasa panik, namun Arya tetap tenang. Dia menarik napas panjang dan berkata, “Mungkin ini cuma kebetulan. Kita kembali ke ruangan aja.”

Aku mengangguk, meski jantungku masih berdebar kencang. Saat kami kembali ke ruang meeting, suasana sudah mulai terasa lebih tenang, namun ada yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang menempel di antara kami, sesuatu yang mengisi ruangan itu dengan ketegangan yang tak terucapkan.

Melihat Arya mencoba melindungiku di tengah situasi seperti ini membuatku sadar, dia bukan hanya sekadar seseorang yang aku kagumi dari jauh. Ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar teman kantor.

Di balik hujan deras malam itu, di tengah gelapnya ruangan yang mencekam, aku merasa perasaan ini semakin nyata. Aku ingin ada untuknya, bukan hanya sebagai teman kantor, tapi lebih dari itu. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa dia andalkan, yang bisa membantu meringankan beban yang selama ini dia bawa sendirian.

Meski hujan belum reda dan misteri di lantai atas belum terjawab, satu hal menjadi jelas malam itu: aku tidak bisa lagi hanya memandang Arya dari jauh.