Sejak malam itu, di tengah hujan deras dan gelapnya lantai atas kantor, aku mulai merasa ada dorongan yang sulit dijelaskan. Arya bukan lagi sekadar seseorang yang aku kagumi dari jauh. Dia adalah teka-teki yang ingin aku pecahkan, seseorang yang ingin aku temani, meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya mendekatinya.
Hari-hari berikutnya, aku menjadi lebih sering memperhatikannya daripada sebelumnya. Aku melihat bagaimana dia bekerja keras, sering lembur sampai larut malam, dan selalu pulang sendirian dengan raut wajah yang semakin letih. Tapi di balik keletihannya, aku melihat ada sesuatu yang lebih besar—beban yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
Suatu malam, aku melihat Arya berjalan keluar dari kantor. Hujan deras mengguyur, seperti biasa. Aku memberanikan diri untuk mengikutinya, meski dari kejauhan. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Mungkin aku ingin memastikan dia baik-baik saja, atau mungkin aku hanya ingin merasa dekat dengannya, meski dia tidak tahu.
Langkah Arya membawanya ke arah rel kereta, tempat yang sunyi dan gelap. Saat aku sampai di sana, kereta lewat dengan suara memekakkan telinga. Di tengah derasnya hujan, aku melihatnya berdiri di pinggir rel, memandang sesuatu yang aku tidak bisa lihat. Tapi aku melihat sorot matanya—penuh fokus, seperti sedang mencari seseorang, atau sesuatu.
Aku ingin memanggilnya, ingin menghampirinya, tapi langkahku terhenti. Ada rasa takut yang tiba-tiba muncul. Takut mengganggu dia, takut dia menganggapku aneh karena mengikutinya. Aku hanya berdiri beberapa meter di belakangnya, menonton saat dia berlari ke arah rel dengan panik, seakan mencoba mendekati sesuatu yang hanya dia lihat.
Tapi kemudian, seorang penjaga rel muncul dan menghentikannya. Aku menghela napas lega. Namun, di sisi lain, ada penyesalan yang tumbuh begitu cepat. Kenapa aku tidak melakukan apa-apa? Kenapa aku hanya berdiri diam di sini, membiarkan dia menghadapi itu sendirian? Aku bisa saja mendekat, memberinya dukungan, tapi aku memilih untuk tetap diam.
Saat Arya pergi meninggalkan rel, aku tetap berdiri di tempatku, tubuhku menggigil karena hujan yang semakin deras dan perasaan bersalah yang semakin menggerogoti. Aku mencoba mengikuti jejaknya lagi, tapi langkahku terasa berat, semakin berat. Ketika aku akhirnya mendekati daerah kontrakannya, suasana menjadi semakin sunyi. Hujan masih turun deras, dan jalanan lengang.
Di depan gang kecil menuju kontrakannya, seekor kucing hitam tiba-tiba muncul dari balik bayangan. Matanya menatap lurus ke arahku, seperti sedang mengawasi. Aku berhenti, merasa waswas. Kucing itu tidak bergerak, hanya berdiri diam di tengah jalan, membuat suasana semakin mencekam. Seperti ada sesuatu yang salah.
Aku mencoba berjalan melewatinya, tetapi entah kenapa aku merasa langkahku semakin berat. Bayangan Arya dan kejadian di rel tadi terus muncul di pikiranku. Aku mulai merasa seperti ada sesuatu yang salah—bukan hanya dengan Arya, tetapi juga dengan diriku sendiri. Kenapa aku selalu terlalu takut untuk bertindak? Kenapa aku tidak pernah berani mendekati dia, apalagi menolongnya?
Kucing hitam itu akhirnya berbalik dan pergi ke arah lain, tapi bayangan matanya tetap membekas di pikiranku. Saat aku akhirnya sampai di rumah, aku merasa semua itu tidak akan hilang begitu saja. Penyesalan terus menghantui, seperti bayangan yang menempel erat.
Malam itu, aku duduk di tepi tempat tidur, memandangi hujan yang masih turun di luar jendela. Aku memikirkan Arya, rel kereta, dan kucing hitam tadi. Semua terasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang aku tidak mengerti. Tapi yang aku tahu, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu, sebelum semuanya terlambat.
Penyesalan itu mulai menggerogoti pikiranku. Aku tahu, jika aku terus diam, aku akan kehilangan kesempatan untuk memahami Arya, dan mungkin juga kehilangan dia. Tapi di sisi lain, aku takut menghadapi apa yang sebenarnya terjadi. Dan dalam keheningan malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri: aku akan menemukan keberanian untuk mendekatinya, apapun yang terjadi. Tapi aku tidak tahu, apakah aku masih punya cukup waktu.