Hujan kembali mengguyur malam itu, deras, seperti tak pernah memberi jeda. Dinda duduk di dekat jendela kamar kosnya, menatap tetesan air yang jatuh tanpa henti. Kepalanya penuh pikiran—tentang Arya, tentang kejadian di rel kereta, dan tentang kucing hitam yang membuatnya tak bisa berhenti merasa waswas. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya lebih lelah lagi.
Dinda akhirnya beranjak ke tempat tidur, berharap bisa memejamkan mata dan melupakan semuanya, meski hanya untuk semalam. Namun, saat matanya tertutup, mimpi buruk yang mengerikan mulai datang.
Dalam mimpinya, Dinda berdiri sendirian di tengah hujan deras, di sebuah tempat yang asing. Jalanan basah, penuh genangan, namun tak ada siapa pun di sekitarnya. Udara terasa dingin, menusuk tulang. Dia mencoba melangkah, namun kakinya terasa sangat berat, seakan ada sesuatu yang menahannya.
Dari kejauhan, Dinda melihat bayangan seseorang—seorang laki-laki yang berdiri membelakanginya. Arya. Ia mengenalinya dari postur tubuhnya yang khas, dari caranya berdiri yang tenang tapi penuh beban. Dinda ingin memanggilnya, ingin mendekatinya, namun suaranya tak keluar. Hanya ada bunyi gemuruh hujan yang menenggelamkan segalanya.
Saat dia mencoba melangkah, bayangan Arya perlahan menjauh, berjalan ke arah rel kereta yang gelap. “Arya!” Dinda akhirnya berhasil berteriak, namun suaranya terdengar kecil, seperti tenggelam dalam hujan. Bayangan itu terus berjalan, semakin jauh, hingga tiba-tiba diselimuti kegelapan. Lalu, sebuah cahaya terang muncul dari arah rel—lampu kereta yang melaju kencang.
Dinda berlari, mencoba menghentikan Arya sebelum terlambat, tapi langkahnya terasa semakin berat. Kakinya seperti ditahan sesuatu yang tak terlihat, membuatnya hanya bisa berjalan di tempat. "Arya! Berhenti!" Dia berteriak lagi, kali ini lebih keras, namun bayangan itu tidak berhenti. Cahaya kereta semakin mendekat, diiringi suara gemuruh roda besi yang memekakkan telinga.
Tepat saat kereta melintas, Dinda melihat Arya lenyap begitu saja. Tidak ada tubuh, tidak ada jejak. Hanya kegelapan dan hujan yang terus turun. Dinda jatuh berlutut, air mata bercampur dengan tetesan hujan. Perasaan bersalah dan putus asa menghantamnya seperti badai. Kenapa dia tidak bisa menyelamatkannya? Kenapa dia selalu terlambat?
Tiba-tiba, suara lain terdengar di belakangnya—suara langkah kaki yang berat, pelan tapi pasti. Dinda berbalik, dan matanya membelalak. Di sana, berdiri sosok perempuan dengan payung kuning yang koyak. Wajahnya tidak terlihat jelas, namun matanya yang kosong menatap langsung ke arah Dinda, seolah menembus jiwanya. Payung itu meneteskan air, bukan air hujan, tapi sesuatu yang lebih gelap, lebih kental.
Perempuan itu berjalan mendekat, perlahan tapi pasti. Dinda mencoba bangun, mencoba melangkah mundur, namun tubuhnya tak bisa bergerak. Suasana berubah menjadi semakin gelap, hujan berhenti, dan hanya ada suara langkah kaki yang menggema di sekitarnya.
“Kenapa kamu tidak menyelamatkannya?” Suara itu pelan, tapi dingin, menusuk hingga ke tulang. Perempuan itu berhenti tepat di depan Dinda, membungkuk sedikit hingga wajahnya hampir sejajar. Dinda ingin menjerit, namun tubuhnya membeku.
“Dia butuh kamu… tapi kamu hanya diam…” Suara itu bergema di kepala Dinda, mengulang-ulang kalimat yang sama. Perempuan itu tersenyum samar, lalu berdiri tegak, membalikkan badan, dan perlahan menghilang di tengah kegelapan. Tapi sebelum pergi, dia meninggalkan sesuatu—sebuah payung kuning yang basah dan koyak, tergeletak di depan Dinda.
Dinda terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Namun, saat mencoba bangkit dari tempat tidur, dia menyadari sesuatu yang menakutkan. Tubuhnya tak bisa bergerak. Dia terbaring kaku, seperti ada sesuatu yang menahannya. Matanya liar, menatap sekeliling kamar yang gelap. Dia mencoba berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan.
Di sudut kamar, ada bayangan samar. Sosok perempuan dengan payung kuning, berdiri memandangnya. Dinda merasakan jantungnya berdetak begitu keras, seakan akan meledak. Perempuan itu perlahan menghilang, namun sebelum lenyap sepenuhnya, dia berbisik pelan.
“Jangan terlambat lagi…”
Ketika akhirnya tubuh Dinda bisa bergerak, dia langsung duduk di tempat tidur, terengah-engah dengan air mata mengalir deras. Hujan masih mengguyur di luar, seperti memukul-mukul jendela kamarnya. Perasaan bersalah dan ketakutan menghantui pikirannya. Apa yang harus dia lakukan? Apa maksud dari mimpi itu?
Dinda memandang keluar jendela, ke arah hujan yang tak pernah berhenti. Bayangan Arya, perempuan berpayung kuning, dan suara-suara dari mimpinya terus menghantui. Untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar takut. Namun, lebih dari itu, dia merasa harus melakukan sesuatu.
Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.