Hujan deras selalu membangkitkan kenangan, kenangan yang terkubur jauh di dalam hati. Aku tahu, mungkin namaku tak penting bagi kalian. Tapi malam ini, izinkan aku menceritakan kisah yang tak pernah selesai. Kisah tentang masa kecilku, tentang sebuah janji, dan tentang mereka—empat anak kecil lain yang hidupnya terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pahami.
Aku tak ingat persis kapan pertama kali aku bertemu mereka. Mungkin di suatu siang yang cerah, saat matahari menyinari halaman sekolah. Atau mungkin, lebih tepatnya, saat hujan tipis turun, menandakan akhir dari pelajaran yang membosankan. Yang aku ingat hanya rasa hangat yang selalu ada setiap kali aku bersama mereka—Arya, Dinda, dan tiga lainnya yang kini hanya ada di bayanganku.
Waktu itu, aku baru saja pindah ke sebuah kota kecil, meninggalkan kehidupanku yang sempit dan sepi. Aku berusia sembilan tahun, dan masuk ke kelas empat sekolah dasar. Kehidupanku terasa kosong sebelum aku mengenal mereka. Aku adalah anak pemalu, yang lebih suka bermain sendiri daripada bergabung dengan anak-anak lain di sekolah. Tapi semua itu berubah saat aku bertemu mereka di halaman belakang sekolah, tempat kami sering bermain petak umpet setelah jam pelajaran selesai.
Arya adalah yang pertama mendekatiku. Dia anak laki-laki dengan tas besar dan senyum kecil yang selalu menghangatkan hati. "Kamu baru di sini, ya? Mau main bareng kami?" tanyanya, sambil mengulurkan tangan. Aku hanya mengangguk, merasa sedikit gugup, namun senyumnya membuatku merasa diterima. Seolah-olah dia tahu betapa berharganya pertemuan ini bagiku.
Lalu ada Dinda, yang selalu riang dan tak pernah berhenti berbicara. Dia menarikku ke permainan mereka, memperkenalkanku pada yang lain. "Ini kelompok kita! Ada Arya, aku, dan tiga lainnya. Kalau kamu mau, kamu bisa jadi anggota juga!" katanya dengan tawa yang membuat dunia seolah berhenti sejenak.
Dalam waktu singkat, aku menjadi bagian dari mereka. Ada lima dari kami—aku, Arya, Dinda, dan tiga lainnya yang aku sebut dengan inisial mereka: R, S, dan B. Kami berlima tak terpisahkan selama dua tahun itu, menghabiskan hari-hari penuh tawa, permainan, dan impian kecil yang kami ceritakan satu sama lain. Semua terasa indah, tanpa beban, tanpa keraguan.
Suatu hari, di bawah langit yang mendung, kami berlima duduk di tepi lapangan sekolah. Hujan mulai turun perlahan, rintik-rintiknya terdengar menyentuh tanah. Tapi kami tidak peduli. Arya, yang selalu menjadi pemimpin dalam kelompok kami, tiba-tiba berdiri dan berkata, "Kita harus buat janji."
"Janji apa?" tanyaku, bingung.
"Janji kalau kita semua nggak akan melupakan satu sama lain, apa pun yang terjadi," jawabnya tegas, matanya yang serius menatap kami satu per satu.
Dinda menatapnya dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kita kan teman selamanya!" serunya, suaranya penuh keyakinan.
S, yang biasanya pendiam, menggenggam tanganku erat, terlihat sedikit ragu. "Tapi… kalau kita pindah atau nggak sekolah bareng lagi, gimana?" tanyanya pelan, matanya terlihat khawatir.
Arya tersenyum, seolah yakin bahwa tak ada halangan yang lebih besar dari persahabatan mereka. "Nggak masalah. Selama kita ingat janji ini, kita akan tetap terhubung, apa pun yang terjadi."
R, yang biasanya usil, malah terlihat serius untuk pertama kalinya. "Kalau begitu, kita harus bikin sesuatu supaya janji ini nggak bisa dilupakan," katanya dengan nada yang lebih dalam.
B mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya—sebuah benda yang penting bagi kami semua. "Bagaimana kalau kita tulis janji itu di sini? Kita akan simpan ini, dan suatu saat nanti, kita semua harus kembali untuk membukanya," katanya, sambil menatap kami dengan mata penuh harapan.
Kami setuju. Dengan spidol yang diambil dari tas Arya, kami menulis sesuatu di benda itu. Aku bahkan tak ingat persis apa yang aku tulis, tapi yang aku tahu saat itu, aku merasa bahagia. Bahagia karena aku merasa diterima, karena aku punya teman, karena aku merasa hidup—akhirnya.
Benda itu kami sembunyikan di tempat yang hanya kami berlima tahu. Tempat itu menjadi saksi janji kami—janji yang kami buat di bawah langit yang mendung. Kami berjanji untuk kembali ke sana suatu hari nanti, saat kami sudah dewasa, tanpa tahu bahwa waktu tak selalu berpihak pada kami.
Dua tahun berlalu, dan segalanya berubah. Keluargaku harus pindah ke kota lain, jauh dari mereka. Hari terakhirku di sekolah adalah hari yang paling menyakitkan dalam hidupku. Aku menangis, memeluk mereka satu per satu, merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri. "Aku akan kembali," kataku, meskipun dalam hati aku tahu, kemungkinan itu kecil.
Mereka juga berubah setelah aku pergi. Arya dan Dinda tetap di sekolah itu, tapi R, S, dan B perlahan menghilang dari grup kami. Setelah kami lulus SD, mereka pindah ke sekolah yang berbeda, meninggalkan Arya dan Dinda di belakang. Pertemanan kami, yang dulu terasa begitu kokoh, perlahan memudar. Aku hanya bisa mengenang mereka dari jauh, berharap suatu hari kami bisa bertemu lagi, meskipun aku tahu janji itu mungkin sudah terlupakan.
Tapi aku tidak melupakan. Aku tidak pernah melupakan. Bahkan ketika segalanya terasa seperti mimpi, janji itu tetap ada dalam hatiku—seperti bayangan yang tak pernah hilang. Dan sekarang, setelah segalanya berakhir, aku hanya bisa berharap mereka juga tidak melupakan aku.
Hujan terus turun, membawa kenangan itu kembali. Aku tidak tahu apakah mereka masih ingat aku, apakah mereka masih ingat janji yang pernah kami buat. Tapi satu hal yang pasti: aku selalu ada di sini, di antara hujan dan kenangan, menunggu hari saat mereka menemukan aku lagi.
Meskipun mungkin, saat itu aku hanya akan menjadi bayangan dalam ingatan mereka.