Episode 8: Persimpangan di Masa Remaja

Dinda tak pernah membayangkan bahwa suatu hari mereka akan berada di sekolah yang sama lagi. Saat pertama kali melihat perempuan itu di SMP, rasa familiar muncul dalam benaknya, tapi wajah itu tetap terasa kabur, tak dapat ia kaitkan dengan kenangan apapun. Perempuan itu bukanlah sosok yang mencolok—dia hanya seorang siswi baru yang terlihat biasa saja, pendiam, dan lebih sering menyendiri.

Namun, perempuan itu sangat berbeda dari Dinda. Di tahun pertama SMP, perempuan itu selalu menampilkan ekspresi riang yang seakan menular ke sekelilingnya. Dia berusaha berteman dengan siapa saja, termasuk Dinda. Tapi bagi Dinda, yang tengah berjuang untuk menyesuaikan diri dengan tekanan sosial SMP—persaingan nilai, geng pertemanan, dan rasa ingin diterima—mendekati seseorang yang "terlalu berbeda" seperti perempuan itu terasa seperti beban.

Dinda ingat betul saat perempuan itu pertama kali menyapanya di kantin. "Hei, kayaknya kita pernah ketemu, ya? Kamu Dinda, kan?" suaranya ceria dan penuh harapan.

Dinda hanya membalas dengan nada dingin, "Mungkin. Aku nggak ingat."

Rasa bersalah melintas di hati Dinda, namun dia segera membenarkan tindakannya. Lingkungan SMP membuatnya merasa harus menjaga jarak dengan orang-orang yang dianggap "tidak sesuai" dengan standar sosial. Dia takut menjadi sasaran ejekan jika terlalu dekat dengan seseorang yang terlihat "berbeda." Perempuan itu, meskipun ramah, sering terlihat sendirian, kurang cocok dengan kelompok-kelompok populer di sekolah, dan selalu membawa keceriaan yang Dinda anggap seakan tidak nyata.

Namun, di tahun kedua, segalanya berubah. Sebuah insiden kecil di kelas membuat hubungan mereka retak. Saat itu, Dinda dan perempuan itu sedang bekerja sama dalam tugas kelompok. Perempuan itu mencoba memimpin, memberikan ide-ide ceria yang dianggap Dinda terlalu berlebihan.

"Ayo, kita buat tugasnya lebih menarik! Kita tambahkan presentasi kreatif supaya seru," seru perempuan itu dengan antusias, matanya berkilat penuh semangat.

Dinda, yang tengah merasa terbebani dengan tekanan untuk menjaga nilai, merasa ide itu hanya membuang waktu. "Kita nggak perlu kayak gitu. Cukup buat yang biasa aja. Nggak usah repot-repot," jawabnya tajam, suaranya terdengar lebih kering dari yang dia inginkan.

Perempuan itu terdiam sejenak, ekspresinya berubah, namun ia tersenyum kecil. "Aku cuma mau kita nggak bosan," katanya pelan, seperti mencoba menyembunyikan kekecewaannya di balik senyuman.

Namun, ketika tugas selesai dan dinilai, beberapa teman mulai mengomentari perempuan itu. "Tugasnya sih bagus, tapi kayaknya kamu terlalu maksa, deh," ujar salah satu teman dengan nada sinis.

Ucapannya seakan menusuk perempuan itu. Dia hanya diam, tidak membela diri, seperti sudah terbiasa dengan sikap tersebut. Dinda, yang diam-diam merasa bersalah, tetap memilih untuk tidak mengatakan apa-apa untuk mendukungnya.

Hari itu, hubungan mereka berubah drastis. Perempuan itu mulai menjaga jarak, dan Dinda juga tidak berusaha memperbaiki keadaan. Tapi, dalam diamnya, Dinda merasakan adanya sesuatu yang aneh.

Di tahun kedua SMP, Dinda mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Lingkungan yang penuh tekanan dan persaingan membuatnya merasa semakin kecil. Dia mulai menarik diri dari teman-temannya, menjadi lebih pendiam, lebih pemalu, dan bahkan merasa takut berbicara di depan umum. Dinda sering merasa sendiri, namun tak tahu bagaimana cara keluar dari lingkaran itu.

Sebaliknya, perempuan itu berubah menjadi sosok yang lebih berbeda lagi. Dia menjadi lebih ceria, lebih berani berbicara, dan lebih mudah berteman dengan siapa saja. Dia sering terlihat tertawa bersama teman-teman baru, seperti dunia tidak pernah memberinya luka. Perubahan itu membuat Dinda merasa iri sekaligus menyesal, karena ia tahu bahwa dirinya tidak bisa berubah begitu saja.

Suatu hari, di perpustakaan sekolah, perempuan itu menghampiri Dinda, memecah kesunyian yang sudah lama menggelayuti hubungan mereka. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan suara lembut, seolah berusaha membuka pintu yang sudah lama terkunci.

Dinda hanya mengangguk tanpa menatapnya, perasaan bersalah dan canggung membuncah dalam dirinya. Namun sebelum perempuan itu pergi, dia berkata pelan, dengan penuh ketulusan yang sulit disembunyikan, "Aku nggak tahu kenapa kamu menjauh, tapi aku nggak pernah marah. Kalau kamu butuh teman, aku masih ada."

Ucapan itu membuat Dinda tertegun. Sesuatu di dalam dirinya terasa tergetar, namun ia tidak punya keberanian untuk membalasnya. Dia hanya melihat punggung perempuan itu menjauh, merasa ada bagian dirinya yang hilang, namun tetap tak mampu untuk menggapainya.

Ketika mereka akhirnya lulus SMP, sikap keduanya sudah sepenuhnya berubah. Dinda menjadi sosok yang semakin pendiam, pemalu, dan penakut. Dia merasa sulit untuk membuka diri pada siapa pun, selalu dihantui rasa bersalah atas bagaimana dia memperlakukan perempuan itu. Sementara itu, perempuan itu menjadi seseorang yang lebih ceria, penuh semangat, dan selalu membawa tawa ke mana pun dia pergi, seolah-olah tak ada luka yang tersisa di dalam dirinya.

Mereka tidak pernah berbicara lagi setelah kelulusan. Namun, di dalam hati Dinda, ada rasa penyesalan yang tak pernah hilang. Perempuan itu adalah cerminan dari apa yang seharusnya dia lakukan—berani, menerima diri sendiri, dan tidak takut menjadi berbeda.

Namun, di balik keceriaan perempuan itu, ada sesuatu yang tak Dinda ketahui. Sebuah luka yang tersimpan rapat, yang hanya perempuan itu sendiri yang bisa mengungkapkan. Dan kini, saat Dinda melihat bayangan masa lalu itu kembali dalam kehidupannya, dia tahu—semuanya belum benar-benar selesai.