Episode 9: Luka yang Tak Terlihat

Masa SMA adalah tempat di mana banyak anak muda merasa menemukan diri mereka, atau setidaknya mencoba untuk melakukannya. Aku, yang dulu ceria dan penuh semangat, memasuki dunia SMA dengan harapan baru. Setelah melewati masa-masa sulit di SMP, aku bertekad untuk menjadi seseorang yang selalu bisa memberikan energi positif, yang bisa membuat orang lain merasa senang berada di sekitarku. Aku ingin dikenang bukan karena kesedihanku, tetapi karena senyumku yang selalu hadir.

Awalnya, semuanya berjalan seperti yang aku harapkan. Aku mulai membuat teman baru, tertawa bersama di kelas, dan merasa bahwa dunia baru ini penuh dengan kemungkinan. Namun, tak lama setelah itu, aku bertemu mereka lagi—tiga teman masa kecilku. R, S, dan B. Hatiku melonjak saat melihat mereka di lorong sekolah. Aku ingin segera menyapa mereka, memberitahukan siapa aku, mengingatkan mereka akan janji yang kami buat bersama di masa lalu. Tapi begitu aku mendekati mereka, ada sesuatu yang berbeda.

Mereka tidak ingat aku. Tidak satu pun dari mereka.

"Siapa kamu?" tanya R, tatapannya penuh kebingungan saat aku menyebutkan namaku. Aku mencoba menjelaskan, berusaha membawa mereka kembali ke kenangan indah masa kecil kami, tetapi mereka hanya tertawa canggung dan melanjutkan percakapan mereka tanpa peduli.

Aku tetap ceria, berusaha mendekati mereka dengan senyuman, berpikir bahwa mereka mungkin hanya butuh waktu. Aku menunggu, berharap suatu saat mereka akan mengingat aku lagi. Tapi kenyataan ternyata jauh lebih pahit dari yang aku bayangkan.

Sebuah insiden kecil di sekolah memulai segalanya. Aku tidak sengaja menjatuhkan catatan pribadi S saat kami sedang bergantian tugas di kelas. Catatan itu berisi sesuatu yang sangat pribadi, yang aku tidak tahu bisa menyinggung perasaannya. Aku meminta maaf berkali-kali, menjelaskan bahwa itu tidak sengaja, tetapi dia tidak mau mendengarkan.

Hari itu, semuanya berubah. Bisikan-bisikan mulai terdengar di belakangku. Tatapan sinis mulai menghujaniku setiap kali aku berjalan di koridor. R, S, dan B—mereka mulai menjauhiku, bukan hanya menjauh, tetapi juga aktif menyebarkan cerita tentangku. Mereka membuatku menjadi pusat perhatian yang salah. "Dia sok akrab," "Dia aneh," "Dia nggak tahu tempat."

Aku menjadi bahan tertawaan di kelas, bahkan oleh mereka yang sebelumnya dekat denganku. Tidak ada yang peduli bahwa aku hanya ingin menjadi teman, bahwa aku hanya mencoba untuk diterima. Kata-kata mereka semakin menusuk. "Lihat dia, pura-pura senyum padahal jelas-jelas menyedihkan," "Kenapa dia nggak pindah aja?"

Aku mencoba bertahan. Aku tetap tersenyum, seolah dunia ini masih indah. Namun, perlahan, senyum itu mulai retak. Malam-malamku dipenuhi dengan tangisan yang tak bisa kuhentikan. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apa yang salah dengan aku? Kenapa aku selalu menjadi beban bagi orang lain? Kenapa aku tidak bisa menemukan tempatku di dunia ini?

Ketika akhirnya aku mencoba mencari bantuan, aku mendatangi seorang psikolog. Aku tahu aku butuh seseorang untuk mendengarkan, untuk memberitahuku bahwa aku tidak gila. Tapi ketika berita itu tersebar, semuanya menjadi lebih buruk.

"Dia konsultasi ke psikolog? Dia gila!" Itu yang mereka katakan. Mereka menyebarkan cerita itu ke seluruh sekolah, bahkan ke media sosial. Aku menjadi bahan hinaan digital. Pesan-pesan penuh kebencian masuk ke akunku setiap hari. "Gila!", "Cari perhatian!", "Dasar sampah!"

Keluargaku juga terkena dampaknya. Tetangga mulai berbicara, menyebarkan gosip bahwa aku "anak bermasalah." Orang tuaku dihujani pertanyaan dan pandangan sinis setiap kali mereka keluar rumah. Bahkan ada kiriman paket aneh—barang-barang bekas dengan catatan penuh cemoohan, seperti "Didik anakmu dengan benar!" atau "Buang saja anakmu."

Akhirnya, kami harus pindah sekolah, bahkan pindah rumah. Aku masuk ke SMK, mencoba memulai hidup baru. Tetapi luka itu tidak hilang. Setiap kali hujan turun, aku teringat akan semua hinaan dan cacian itu. Aku teringat bagaimana aku kehilangan segalanya—harga diri, teman-teman, bahkan keluarga yang dulu selalu ceria.

Di tengah guyuran hujan suatu malam, aku berdiri di depan rumah kontrakan kecil kami. Aku menangis tanpa suara, merasakan dinginnya air yang menyatu dengan panasnya air mata. Tubuhku terasa rapuh, seperti akan runtuh kapan saja. Dan memang, tidak lama kemudian, tubuhku benar-benar tumbang.

Aku dirawat di rumah sakit selama berminggu-minggu. Kesehatanku memburuk, bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Orang tuaku kehabisan uang, menjual apa pun yang bisa dijual untuk membayar pengobatanku. Aku melihat mereka berjuang, tetapi aku merasa tak mampu membantu. Aku hanya bisa terbaring di tempat tidur, merasa seperti beban.

Hingga suatu hari, di rumah sakit itu, aku bertemu dengan Arya. Dia ada di bangsal yang sama, beberapa tempat tidur dariku. Aku tidak tahu kenapa dia ada di sana, tetapi saat aku melihatnya, ada perasaan yang aneh. Sebuah harapan kecil muncul, seperti setitik cahaya di tengah kegelapan.

"Hei," katanya pelan saat aku melihat ke arahnya.

Aku tidak menjawab, hanya menatapnya dengan mata yang penuh air mata. Namun, entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa tidak sendirian.