Hujan mengguyur kota sejak pagi. Rintiknya seperti jarum-jarum halus yang menembus jendela rumah kontrakan kami, menyusup ke tulang, menyusupi pikiran. Langit kelabu seolah menambah beban di dadaku. Aku duduk diam di tepi tempat tidur, memandangi genangan air yang mengalir di jalanan kecil depan rumah. Sudah seminggu sejak aku terakhir melihat Arya—atau seseorang yang sangat mirip dengannya—di rumah sakit. Dan sejak saat itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
Setiap malam, aku memutar ulang pertemuan itu di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan tanpa henti. Kenapa dia di sini? Kenapa dia tidak menyapaku? Apakah dia masih mengingatku? Atau... apakah dia pura-pura tidak mengenalku karena aku terlalu menyedihkan untuk diingat?
Akhirnya, aku memilih untuk tidak mendekatinya lagi. Melihatnya dari kejauhan sudah cukup. Mungkin memang begitu seharusnya. Tapi ternyata, harapan kecil itu lebih rapuh dari yang kusangka.
Seminggu berlalu, dan dia menghilang. Bangsal yang biasanya kudatangi dengan alasan 'menengok pasien lain' kini kosong. Lorong rumah sakit tempat aku biasa mengintip ke dalam hanya menyisakan suara langkah kaki dan aroma disinfektan. Aku bertanya pada suster yang berjaga, mencoba menahan gugup.
“Pasien bernama Arya? Maaf, tidak ada nama itu di daftar kami,” jawabnya sambil tersenyum sopan.
Aku diam. Hampa. Apakah aku salah? Apakah aku... hanya berhalusinasi?
Aku ingin segera pulang. Tapi saat keluar dari rumah sakit bersama orang tuaku, hujan turun semakin deras, membasahi trotoar dan membuat suara sepatu seperti derap gendang kecil. Dan di seberang jalan, di tengah derasnya hujan, aku melihatnya.
Seseorang berdiri tenang di bawah payung. Tubuhnya tegap, wajahnya menunduk sedikit, tapi aku tahu itu dia. Aku tahu.
Arya.
Refleks, aku mencoba berdiri dari kursi rodaku. Kakiku gemetar, lemah. Belum sempat sepenuhnya bangkit, tubuhku jatuh kembali. Keras. Sakit. Orang tuaku panik, bertanya, menolongku. Tapi aku tak menjawab. Aku hanya menatap punggung itu—yang perlahan menghilang dibawa hujan dan keramaian jalan.
Keesokan harinya, kami singgah di taman dekat kontrakan. Orang tuaku pergi sebentar untuk membeli makanan, meninggalkanku sendiri di kursi roda di bawah pohon rindang. Udara terasa basah dan menusuk. Taman itu sepi, hanya suara daun basah bergesekan dengan angin dan percikan air dari kolam kecil di tengahnya.
Aku mencoba menenangkan hati, tapi pikiranku tak bisa lepas dari sosok itu. Bayangannya menempel di mataku. Apa aku mulai gila? Ataukah aku benar-benar melihat Arya?
Dan kemudian, dia muncul.
Pria itu—dengan wajah yang hampir identik, sikap yang familiar. Ia membeli minuman dari pedagang keliling. Aku mendekat, tidak tahu dari mana keberanianku berasal.
“Permisi… bisa tunjukkan di mana toilet?” tanyaku, seolah-olah itu pertanyaan paling normal yang bisa kupikirkan.
Dia menoleh. Tersenyum sopan. “Di sana, belok kiri,” katanya ringan sambil menunjuk.
“Namamu siapa?” tanyaku pelan.
Dia tampak terkejut, tapi menjawab, “Raya.”
Raya. Bukan Arya. Tapi... wajahnya, caranya bicara... terlalu mirip. Mungkin aku memang terlalu berharap.
Saat hujan kembali mengguyur, dia menawarkan payung kecilnya. Kami menepi bersama di depan toilet umum taman itu. Aku tak bisa berhenti mencuri pandang padanya. Tapi aku tidak mengatakan apapun. Saat orang tuaku kembali, aku hanya diam dan membiarkan mereka menuntunku pulang.
Pagi berikutnya, hujan belum berhenti. Awan pekat seperti menggantung di atas rumah kami, menekan atap dan langit-langit dengan ketegangan yang tak kasat mata. Di ruang tamu, ayah dan ibu berbicara dengan suara pelan. Tapi aku tahu topik mereka: hutang.
Operasi, pengobatan, obat-obatan. Semua membengkak. Dan kami sudah kehabisan cara.
Tiba-tiba, ketukan keras di pintu membuat seluruh tubuhku menegang.
Dua pria tinggi masuk tanpa basa-basi. Jaket mereka basah oleh hujan. Tatapan mereka tajam. Mereka bukan hanya datang menagih, tapi juga membawa ancaman.
“Kami beri waktu cukup. Sekarang giliran kalian bayar,” kata salah satu dari mereka. Suaranya dingin seperti logam.
Ayahku mencoba menahan mereka, tapi gagal. Mereka mulai merampas barang-barang di rumah. Ibuku memohon, tapi didorong kasar hingga hampir terjatuh.
“Aku mohon, jangan kasar!” seruku. Tapi satu dari mereka menoleh dan menatapku sinis.
“Diam. Ini bukan urusan anak kecil lumpuh.”
Kalimat itu membakar seluruh dadaku. Tapi yang lebih menghancurkan adalah kata-kata ayahku yang menyusul kemudian.
“Jangan ikut campur! Kamu udah cukup jadi beban!”
Aku terdiam. Udara di paru-paruku seperti berhenti mengalir. Tapi saat melihat ibu jatuh, aku tidak bisa tinggal diam lagi.
Aku berdiri. Tubuhku gemetar. Tapi aku berdiri.
Aku meraih vas bunga di meja, dan dengan sisa tenaga, aku melemparkannya ke kepala salah satu penagih utang. Darah mengalir dari pelipisnya. Dia mengumpat dan hendak membalas. Aku tak menunggu. Aku berlari keluar rumah.
Hujan menyambutku seperti tamparan. Jalanan licin, tapi aku terus berlari. Nafasku tercekat, kakiku nyaris menyerah. Tapi aku harus pergi. Aku harus lolos.
Aku menyusuri gang-gang kecil, masuk ke toko kosong, mengganti bajuku yang basah dengan jaket kumal yang kutemukan di sana. Aku ambil payung tua dari sudut ruangan. Tapi mereka mengejarku.
“Keluar sekarang!” suara mereka menggema.
Satu dari mereka menodongkan pistol (senjata api). Aku mematung, lalu melompat dan berlari.
Tembakan meletus. Payungku berlubang. Suaranya seperti kilat yang pecah di telinga.
Aku terus berlari. Asal. Tak tahu arah. Sampai sebuah mobil melaju cepat dari tikungan.
Cahaya lampu menerpa wajahku.
Semua terlambat.
Tubuhku terhempas. Aspal yang dingin menyambutku. Hujan dan darah bercampur di wajahku. Pandanganku buram, hanya suara hujan dan detak jantungku yang tersisa.
Dan dalam hening yang mencekam, aku mendengar suara itu. Lembut. Familiar.
"Maaf... aku belum sempat bilang..."
Dunia memudar. Tapi ini bukan akhir.
Mungkin... ini baru permulaan.