Pagi itu di kantor terasa seperti rutinitas biasa. Suara ketikan keyboard terdengar bersahutan, panggilan telepon datang silih berganti, dan percakapan ringan antar rekan kerja menciptakan simfoni sibuk yang nyaris tak pernah berhenti. Aku duduk di mejaku, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi dari sudut mata, aku melihat Dinda. Dia memperhatikanku sejak tadi, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu. Tatapannya menyimpan sesuatu yang berat.
Aku tahu. Sejak malam itu, ada sesuatu yang berubah.
Ketika jam makan siang tiba dan ruang kerja mulai kosong, Dinda akhirnya mendekat. Wajahnya tampak resah, suaranya lirih.
“Maaf, Arya…” ucapnya perlahan. “Kemarin malam… aku melihatmu di rel kereta. Aku… ingin menolong, tapi aku terlalu takut.”
Aku membeku sejenak. Jadi dia ada di sana? Aku mengangkat wajah, menatapnya, dan hanya bisa memberi senyum kecil. “Nggak apa-apa, Din. Aku baik-baik saja.”
Dia mengangguk pelan, tampak lega. Tapi kemudian, dia menambahkan sesuatu yang membuat jantungku berdetak lebih kencang.
“Arya… aku sering memimpikan seorang perempuan. Dia berdiri di tengah hujan, membawa payung kuning yang robek. Dia nggak bicara, tapi tatapannya seperti… seperti sedang mencari seseorang.”
Aku tersentak. Payung kuning? Pikiran langsung melompat pada pertemuan di warung kecil, pada perempuan yang meninggalkan secarik kertas dengan kata-kata yang terlalu dalam untuk dilupakan. Tapi kenapa Dinda juga memimpikannya?
Aku mencoba menutupi kegelisahanku, mengalihkan obrolan ke pekerjaan. Tapi suara Dinda terus terngiang. Dan sosok perempuan itu kembali menghuni pikiranku—tak diundang, tapi tak bisa diusir.
Sore itu, kami naik lift bersama. Hanya kami berdua. Aku menekan tombol lantai empat, tempat divisi kami berada. Lift bergerak seperti biasa, tapi tak lama kemudian suara mesinnya berubah. Seperti bergesekan logam tua, berderit, dan melambat.
Kemudian berhenti.
Pintu tidak terbuka.
Aku menekan tombol-tombol lain, mencoba memanggil bantuan. Tapi tidak ada respon. Lampu dalam lift meredup. Suara dengung pelan memenuhi ruang sempit itu.
“Ini… bukan lantai empat,” gumamku, mulai resah.
Pintu akhirnya terbuka, tapi bukan lantai kantor yang menyambut kami. Di depan terbentang area parkir basement—gelap, dingin, dengan hanya beberapa lampu neon tua yang berkedip. Udara lembap dan bau besi tua menyeruak masuk.
“Kita harus keluar dari sini,” bisikku.
Dinda mengangguk, langkahnya ragu saat kami melangkah ke dalam. Lantai semen terasa licin, dan suara langkah kaki kami menggema. Semakin kami berjalan, suasana terasa semakin tidak wajar.
Lalu terdengar suara—lirih tapi jelas.
“Tolong… tolong kami…”
Bukan satu suara, tapi banyak. Seperti gema orang-orang yang terkunci dalam ruang tak terlihat. Dinda menggenggam lenganku erat, dan aku tahu dia mendengarnya juga.
Lampu-lampu mulai berkedip lebih cepat. Bayangan bergerak liar di dinding. Kami berlari ke arah sebaliknya, tapi jalan yang kami pilih berakhir di dinding kosong. Ketika kami berbalik, koridor di belakang sudah berubah. Seolah ruangan ini bergerak, mengubah bentuknya sendiri.
“Tolong tetap tenang,” kataku, meski suaraku sendiri bergetar.
Lampu tiba-tiba menyala terang seluruhnya. Lalu, dari jauh, muncul cahaya merah di sudut ruangan. Bukan lampu biasa. Merahnya menyala seperti sirine, perlahan berkedip seperti detak jantung yang tegang.
Di bawah lampu itu, pintu lift terbuka sedikit. Terlalu sempit untuk dilalui. Aku menarik Dinda ke sana, berharap itu jalan keluar.
Namun, langkah-langkah berat terdengar dari segala arah. Suara sepatu—bukan kami—memantul. Dinda mulai panik.
“Siapa itu?! Arya, kita harus pergi!”
Kami mendorong pintu lift dengan paksa. Lampu di atas kepala berkedip. Bayangan-bayangan seperti menari di ujung penglihatan.
Kami masuk.
Lift tertutup.
Tapi sebelum pintu menutup sepenuhnya, sesuatu menyentuh tanganku. Dingin. Licin. Basah. Aku menunduk.
Sebuah tangan—pucat, penuh luka, darah menetes dari sela jarinya—menempel di dinding lift.
Dinda berteriak.
Aku memukul tombol lantai 1 berulang kali. Lift mulai naik, tapi terasa lambat. Sangat lambat, seperti ada beban berat yang mencoba menahannya dari luar.
Suasana makin mencekam.
Lalu... pintu terbuka.
Kami berlari keluar. Ruangan kantor tampak seperti semula, tapi hening. Sangat hening. Kami melihat ke dinding.
Pukul 9 malam.
Padahal kami masuk lift pukul 6 sore.
“Apa… apa yang terjadi barusan?” tanya Dinda dengan suara gemetar.
Aku tak punya jawaban.
Kami keluar menuju lobi. Penjaga malam sedang duduk di posnya, tampak terkejut melihat kami.
“Pak… tolong bukakan pintu. Kami harus keluar,” kataku dengan napas tersengal.
Dia mengangguk pelan, dan kami melangkah ke luar gedung.
Hujan.
Deras.
Langit hitam. Jalanan tergenang. Udara dingin menampar wajah.
Kami berdiri di bawah atap depan gedung. Dinda bersandar ke dinding, wajahnya pucat.
Dan di tengah gemuruh hujan, aku mendengar bisikan.
"Temukan aku."
Aku menoleh.
Tidak ada siapa-siapa.
Tapi Dinda menggenggam lenganku erat. “Kamu juga dengar, kan?”
Aku hanya mengangguk. Dadaku sesak. Suara itu... suara perempuan dengan payung kuning. Suara yang datang dari kedalaman sesuatu yang belum selesai.
Kami berdua tahu: ini belum berakhir.
Dan jika kami ingin kembali ke kehidupan normal...
Kami harus menemukannya.