Malam itu, setelah kejadian mengerikan di kantor, aku tidak bisa tidur. Mataku terasa berat, tubuhku kelelahan, tapi pikiranku tak mau berhenti memutar ulang apa yang kami alami di basement. Suara-suara aneh. Telapak tangan berdarah. Dan bisikan itu—“temukan aku”. Kata-kata yang terdengar pelan, tapi menggores dalam.
Setiap kali aku memejamkan mata, bayangan lift gelap dan lorong parkir berkabut itu muncul lagi, seolah masih menyisakan jejaknya dalam pikiranku. Rasa dingin menempel di kulit, seperti seseorang—atau sesuatu—masih mengawasiku dari dalam gelap.
Akhirnya, aku menyerah. Aku duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu meja yang menyala temaram. Tapi bahkan cahaya itu tidak membuatku tenang. Bayangan di sudut ruangan tampak... terlalu dalam.
Sementara itu, di sisi lain kota, Dinda sedang berdiri di bawah pancuran air hangat di kamar mandinya. Uap memenuhi kaca jendela, menciptakan ilusi lembut yang menenangkan. Tapi pikirannya tak kunjung tenang. Suara-suara di basement kantor, langkah kaki, bisikan misterius—semuanya terus berputar dalam benaknya.
Dinda mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya stres, hanya halusinasi akibat kelelahan. Tapi saat dia memiringkan kepala untuk membilas busa sampo dari rambutnya, terdengar suara ketukan.
Tok... Tok... Tok.
Pelan. Tapi jelas.
Dia membeku. Suara itu berasal dari jendela kamar mandi. Perlahan, ia mematikan keran shower. Tubuhnya masih basah, rambutnya meneteskan air. Dengan napas tertahan, dia mendekati jendela yang tertutup embun.
Tirai tipis ditarik pelan.
Kosong.
Tidak ada apa-apa di luar, hanya halaman belakang gelap dan pagar besi yang membatasi rumahnya dari jalan.
Dinda menarik napas. “Pasti cuma suara kayu retak... atau tetesan air,” bisiknya. Tapi tubuhnya tetap tegang.
Ia mengunci jendela dengan cepat, lalu menyelesaikan mandinya dengan terburu-buru. Setelah mengenakan piyama, ia duduk di meja belajar, membuka laptop untuk mengecek jadwal rapat besok. Tapi belum sempat fokus, suara lain muncul.
Krek... Krek...
Kayu tangga. Seperti ada seseorang yang berjalan naik dengan pelan.
Dinda menahan napas. Perlahan, ia membuka pintu kamarnya dan mengintip. Lorong gelap. Tangga kosong.
Tidak ada apa-apa.
Tapi perasaan was-was itu menempel seperti bayangan. Ia mengunci pintunya kembali dan masuk ke tempat tidur. Malam itu, ia tidur dalam kegelisahan yang tidak bisa dijelaskan.
Keesokan paginya, aku datang lebih awal ke kantor. Rasa kantuk masih menggantung di bawah mataku. Dinda masuk beberapa menit kemudian, langkahnya pelan dan wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku, mencemaskan ekspresinya.
Dia mengangguk, meski jelas sekali dia tidak baik-baik saja. “Aku baik,” katanya, tapi pandangannya menghindar. Lalu ia menatapku lagi, lebih lama.
“Arya… matamu... hitam banget. Kamu nggak tidur, ya?”
Aku mengangkat bahu dan mencoba tersenyum. “Nggak bisa tidur. Aku merasa... kayak ada yang memperhatikan aku dari sudut kamar.”
Dinda menelan ludah. “Arya, semalam aku juga dengar suara-suara aneh. Di rumahku. Di kamar mandi... dan di tangga.”
Kami saling berpandangan.
Tak perlu kata-kata panjang. Kami tahu, apa yang kami alami mungkin bukan kebetulan.
Meeting pagi itu berlangsung seperti biasa. Aku dan Dinda duduk di tengah, mencoba fokus pada presentasi. Tapi pikiranku melayang, tidak bisa benar-benar mendengarkan. Di tengah presentasi, ponselku bergetar.
Panggilan dari nomor rumah.
Aku menatap layar, ragu. Lalu memutuskan untuk tidak mengangkat. “Nanti saja,” pikirku.
Setelah jeda kopi, aku ke toilet untuk mencuci wajah. Harapannya, bisa menyegarkan pikiran.
Di toilet, aku menatap cermin. Mataku sayu, wajahku tampak lebih tua semalam. Aku mencipratkan air ke wajah, lalu mengangkat kepala lagi.
Dan aku melihatnya.
Bayangan. Sosok gelap berdiri di belakangku. Tak jelas wajahnya, hanya kontur tubuhnya samar—dan diam.
Tubuhku membeku. Jantungku berdetak kencang.
Aku memutar tubuh dengan cepat.
Tidak ada siapa-siapa.
Cermin kosong. Toilet kosong.
“Cuma halusinasi...” gumamku. Tapi napasku berat. Tangan gemetar saat aku mengeringkan wajah.
Aku kembali ke ruang rapat. Hujan deras mengguyur luar gedung, dan petir menyambar sesekali. Saat aku membuka pintu rapat, ruangan itu kosong.
Kosong.
Semua rekan kerjaku menghilang.
Aku melangkah masuk perlahan. Detik berikutnya, lampu padam. Ruangan terbenam dalam kegelapan total. Satu-satunya cahaya berasal dari kilat yang menyambar dari luar jendela.
Dan dalam kilatan cahaya itu, aku melihatnya lagi.
Sosok bayangan.
Berdiri diam di ujung ruangan. Tak bergerak, tapi aku tahu dia melihatku.
Lampu menyala kembali. Tapi sosok itu lenyap.
Aku berlari ke arah pintu. Tapi saat aku membukanya, aku hampir menabrak seseorang.
Seorang gadis berdiri di sana.
Memakai jubah kuning, robek-robek. Rambutnya basah menempel di wajah. Matanya gelap.
“Hati-hati...” katanya lirih. “Mereka mengincarmu.”
Aku mundur beberapa langkah, terpaku.
Namun ketika aku menutup pintu dan menoleh ke belakang...
Tangan seseorang menyentuh pundakku.
“Arya, kamu kenapa?”
Aku berbalik. Rekan kerjaku berdiri di sana, tampak bingung.
“Tadi... ruangannya kosong,” kataku.
Dia mengerutkan alis. “Kosong? Kami semua ada di sini dari tadi.”
Aku menatap sekeliling. Semua orang duduk di tempat mereka, mendengarkan presentasi. Seolah tak ada yang berubah.
Tapi aku tahu.
Ada sesuatu yang tak kasat mata... yang mulai menerobos batas realita.
Perempuan itu... gadis berpayung kuning... dia tidak hanya menghantuiku.
Dia sedang memanggilku. Dan kini, lebih dari sebelumnya...
Aku tahu aku harus menemukannya.
Bersambung...