Awal yang Baru

Dunia ini seharusnya hanya fiksi.

Aku biasa melihatnya di komik, layar televisi, atau forum diskusi penggemar Naruto. Masa kecilku penuh dengan obsesi tentang cakra, jutsu, dan pertarungan ninja epik. Tapi aku tak pernah menyangka bahwa suatu hari... aku akan terbangun di sana. Bukan dalam mimpi, bukan sebagai penonton—melainkan sebagai bagian dari dunia itu sendiri.

Aku terlahir kembali.

Bukan sebagai keturunan klan Uchiha, bukan juga Uzumaki. Tidak ada Sharingan, tidak ada darah Senju, tidak ada sistem canggih yang menuntunku dari masa depan. Aku bahkan tidak mendapat kekuatan misterius seperti tokoh isekai dalam cerita lain.

Aku adalah Ryuu Tanaka. Anak dari keluarga sederhana di pinggiran desa Konohagakure.

Ayahku, Tadashi Tanaka, seorang chunin rendah hati. Tak ada kisah legendaris darinya, tidak ada misi tingkat S yang tercetak dalam buku sejarah. Tapi dia adalah ninja sejati—dalam sikap, keberanian, dan dedikasinya pada keluarga.

Ibuku, Hanna Tanaka, bukanlah kunoichi. Dia hanya penjual dango di sudut pasar. Tapi senyumnya memiliki kekuatan lebih menenangkan daripada ribuan genjutsu. Dia membalut luka kami dengan salep herbal, menghidangkan dango hangat, dan membisikkan semangat lewat pelukan sederhana.

Di mata mereka, aku adalah pusat semesta. Dan di mata anak kecil yang pernah kehilangan hidupnya… itu lebih dari cukup.

🌱 Awal yang Sederhana

Tidak mudah menjalani hari-hari sebagai anak biasa di dunia ninja. Anak-anak lain sering berceloteh tentang klan mereka, tentang jutsu warisan, atau silsilah kekuatan keluarga. Sementara aku hanya bisa menatap langit dan bermimpi.

Tapi aku tak pernah menyerah.

Setiap pagi, aku berlari keliling desa. Kadang aku bilang hanya ingin bermain, tapi sebenarnya… aku sedang melatih stamina. Saat Ayah libur dari misi, dia mengajariku taijutsu dasar, sedikit teknik senjata seperti shurikenjutsu, dan sesekali kenjutsu ringan.

Aku selalu berjanji akan jadi ninja hebat.

Tentu saja, aktivasi cakra bukan hal mudah. Bulan-bulan pertama hanya diisi dengan duduk diam dan merasa frustrasi. Tapi ayahku sabar. Dia bilang, kekuatan bukan soal siapa yang cepat menguasai jutsu. Tapi siapa yang tak pernah berhenti mencoba, meski tak ada yang melihat.

Hingga suatu hari, aku berhasil.

Nyala kecil seperti api lilin muncul di telapak tanganku. Tak besar, tak mengancam. Tapi itu milikku. Kekuatan pertamaku.

Ayah tersenyum, menepuk bahuku. “Nyala itu kecil, tapi semangatmu besar. Kau akan menjadi seseorang suatu hari nanti, Ryuu.”

🔥 Pelajaran dari Ayah dan Ibu

Ada satu hal yang selalu tertanam dalam diriku:

“Kita bukan klan besar, Ryuu. Maka mimpimu harus ditempa oleh kerja keras. Keringat, darah, dan keberanian menghadapi kekalahan.”

Ayahku selalu mengulang pesan itu. Menjadi kuat bukanlah jalan yang mudah. Tidak ada shortcut, tidak ada takdir instan. Tapi setiap luka yang aku dapat, setiap rasa sakit di tubuhku, memberiku pelajaran:

Kekalahan bukan tanda kelemahan. Itu ruang untuk tumbuh.

Ibuku punya pendekatan berbeda.

Ia tak bicara tentang kekuatan, tapi tentang cinta. Saat aku pulang dengan luka-luka kecil di tangan dan kaki, dia akan membalutnya perlahan, menyuapkan dango hangat, dan berkata, “Kamu boleh lelah, tapi kamu tak boleh berhenti. Kamu selalu menjadi kebanggaan Ibu.”

Saat aku bersandar di pangkuannya, menatap langit sore yang teduh, aku merasa… dunia ini, meski berbahaya, juga dipenuhi cinta.

🐾 Mika dan Mochi: Dua Cahaya Kecil

Lalu, hadir Mika. Adikku.

Saat ia lahir, dunia kecil kami berubah. Rumah yang sebelumnya tenang menjadi ramai oleh tawa dan suara tangis bayi. Mika membawa warna baru dalam hidupku.

Dia suka bermain masak bersama Ibu, menggunakan pisau mainan dan mengaduk adonan seperti chef kecil. Hasilnya sering tak bisa dimakan, tapi semangatnya selalu membuat kami tertawa.

Bagiku, Mika adalah alasan kenapa aku ingin jadi kuat. Aku ingin melindungi dia, menjaga senyumnya, memastikan tidak ada bahaya yang menyentuhnya.

Dan tak lupa, Mochi.

Seekor kucing Scottish Fold yang kutemukan di hutan kecil saat latihan. Ia kotor, kurus, dan lemah. Aku membawanya pulang, membersihkannya, dan sejak itu… dia jadi bayangan kecilku.

Mochi sering duduk di atas kepalaku, menyelinap ke jaket saat aku berlatih, atau mengeong saat aku melakukan gerakan salah. Entah kenapa, keberadaan Mochi membuatku lebih semangat. Rasanya seperti memiliki partner latihan yang tak menghakimi.

🎓 Hari Masuk Akademi

Hari ini… segalanya dimulai.

Aku berdiri di depan rumah, mengenakan kimono biru pudar pemberian Ibu saat ulang tahunku yang kelima. Rambutku kusut, mata coklat muda memantulkan semangat pagi. Mochi tidur di atas kepalaku, seolah merestui langkahku.

Ibu menyelipkan kotak bekal ke tasku, senyumnya hangat. “Untuk makan siang nanti, Ryuu. Jangan lupa makan ya.”

Ayah mengacak rambutku, seperti biasa. “Jangan takut gagal, Nak. Kakimu sudah terbiasa untuk berdiri lagi.”

Langkahku ringan, tapi hatiku penuh gelombang.

Akademi Ninja.

Tempat mimpi dimulai. Tempat di mana anak-anak dari klan besar bersaing. Tempat aku harus belajar menantang takdir yang tidak memberiku kekuatan besar sejak lahir.

Tapi dalam hatiku… ada keyakinan kecil yang tumbuh:

Hidup kali ini… akan kujalani sepenuh jiwa.