Hari pertama di Akademi Ninja.
Lantai kayu menua berderit di bawah langkahku, aroma pagi bercampur dengan tawa bocah dan napas ambisi yang memenuhi udara. Cahaya matahari menembus jendela, menghangatkan dinding kelas yang dipenuhi poster jutsu dan kalender Hokage Ketiga—wajahnya menenangkan, simbol perlindungan Konoha.
Aku duduk di tengah riuh rendah suasana.
Barisan klan besar menebar aura tak tersentuh: Hyuuga bermata bulan yang tajam, Uchiha sekelam malam, Aburame menyembunyikan rahasia di balik kerah tinggi, Nara tampak mengantuk tapi matanya penuh kalkulasi. Aku menyaksikan mereka, merasa kecil di antara nama besar.
Di sudut sepi, Naruto Uzumaki.
Rambut pirang awut-awutan, pipi berbekas tiga garis seperti kucing liar yang tak pernah dipeluk. Ia tertawa sendiri, menantang dunia yang memandangnya aneh.
‘Naruto, kau tak tahu: masa depanmu akan mengubah sejarah. Hari ini kau tertawa sendiri, kelak namamu akan disebut dengan hormat di seluruh desa.’
Aku pernah bersamanya di balik tembok sekolah, berbagi roti isi, melempar shuriken, membicarakan mimpinya jadi Hokage. Aku hanya mengangguk, tersenyum, karena aku percaya ia akan mencapainya.
Ibuku menangis saat tahu aku bermain dengan Naruto—bukan amarah, tapi luka lama yang belum sembuh. Rumah masa kecilnya hancur bersama teman dan keluarganya saat Kyubi mengamuk. Tangis ibu bukan untukku, tapi untuk kenangan yang hilang.
‘Kyubi membawa kehancuran dan ketakutan bagi banyak orang, tapi Naruto hanya korban takdir yang kejam.’
Ayahku pun, meski tak punya keluarga sebelumnya, tetap merasakan kehilangan karena banyak rekannya gugur.
"Naruto bukan Kyubi. Aku tidak mengerti kenapa banyak orang mengatakan dia jelmaan iblis atau Kyubi, tapi yang kutahu, dia juga korban dari Kyubi," kata ayahku suatu malam, suara lembut di balik gelap.
Iruka-sensei memulai kelas dengan senyum tulus yang hampir selalu hadir.
"Selamat pagi semuanya. Namaku Iruka Umino. Kalian boleh memanggilku Iruka-sensei. Mari kita mulai dengan perkenalan. Mulai dari pojok sana."
Satu per satu maju ke depan, menanggalkan nama dan mimpi di hadapan puluhan pasang mata.
Naruto melompat, suaranya lantang bagai petir di langit cerah.
"Aku Naruto Uzumaki! Suatu hari aku bakal jadi Hokage!"
Beberapa tertawa, lainnya menatap aneh. Namun aku tahu, hari ini dia ditertawakan, kelak semua akan tunduk kagum.
Hinata Hyuuga melangkah perlahan, rambut birunya jatuh menutupi pipi.
"Saya Hinata Hyuuga… ingin jadi ninja kuat."
Matanya bening seperti telaga, rapuh di luar, tapi aku tahu: keteguhan hatinya suatu hari akan melampaui batas darah dan garis klan. Sekarang ia tampak lemah, tapi kelak ia berani mempertaruhkan nyawa demi yang dicintai.
Sasuke Uchiha, dingin dan percaya diri, berdiri seolah menantang dunia.
"Sasuke Uchiha."
Di pundaknya berjalan warisan dan luka. Ia akan jatuh, tersesat, lalu bangkit dengan cara yang tak disangka siapa pun.
Shikamaru Nara menguap sebelum maju, rambut dikuncir malas, mata separuh tertutup.
"Shikamaru Nara. Cita-cita? Hidup santai, tidur jika bisa."
Di balik kemalasan itu tersembunyi otak brilian yang kelak mengubah strategi perang dan takdir desa.
Ino Yamanaka, percaya diri seperti pagi yang cerah.
"Ino Yamanaka! Aku ingin jadi ninja hebat dan cantik!"
Persaingan dan persahabatan akan menempanya; kekuatan sejati akan ia temukan di ruang tak terduga. Ia akan tumbuh jadi kunoichi yang cantik—banget, saking cantiknya kadang bikin Sakura menghela napas dan merasa kalah.
Choji Akimichi, tubuh bulat dan pipi merah, menggenggam keripik dengan kebahagiaan sederhana.
"Choji Akimichi. Aku suka makan dan ingin jadi ninja kuat."
Ketulusannya akan menjadi fondasi persahabatan yang kokoh. Kelak tubuhnya membesar bukan hanya karena jutsu, tapi juga karena hati yang lapang.
Kiba Inuzuka, berisik dan penuh energi, menggendong Akamaru yang menyalak pelan.
"Kiba Inuzuka! Aku dan Akamaru bakal jadi duo ninja keren!"
Keberaniannya kadang sembrono, tapi ia tak pernah meninggalkan teman di tengah badai.
Sakura Haruno, rambutnya merah muda, mata berbinar.
"Sakura Haruno! Aku ingin jadi ninja yang pintar dan kuat!"
Sakura, badai emosi dan kecerdasan akan menuntunmu ke jalan baru—kau akan jadi penyembuh luka banyak jiwa. Menjadi penerus sang legenda Sanin Tsunade, sayangnya tidak semua hal diturunkan Tsunade, kamu masih tetap akan memiliki dada yang lapang. Ya, lapang seperti harapan—dan juga sarkas, sebab urusan dada tak bisa diwariskan begitu saja!
Giliranku tiba.
Aku berdiri, Mochi—kucing abu-abu kecil—melompat ke pundakku, ekornya melambai seperti panji perang mini.
“Hai semua. Aku Ryuu Tanaka… dan ini Mochi.”
Mochi mengeong, kepala miring, matanya bulat menyapu ruangan.
“Lucuuuuu!” seru Sakura, pipinya bersemu.
“Gemes banget!” Ino tertawa.
Anak-anak cowok yang tadinya cuek kini melirik. Mochi jadi bintang, menyelamatkanku dari sorotan mata yang bertanya-tanya, ‘Siapa Ryuu ini?’
Aku duduk kembali, menatap satu per satu wajah di kelas.
Mereka—Naruto, Hinata, Sasuke, Shikamaru, dan lainnya—semua adalah tokoh utama dalam cerita besar ini. Aku tahu rahasia mereka, tahu luka dan kemenangan yang menunggu. Tapi aku bukan sekadar penonton. Di dunia yang sudah kutahu ujungnya, aku ingin menulis takdirku sendiri—mungkin di antara mereka, aku bisa jadi perubahan kecil yang berarti.
Saat aku baru saja hendak duduk, suara asing merembes masuk ke kepalaku—dingin, tenang, seperti kabut pagi.
[Ding!]
[Sistem Terdaftar.]
[Selamat, Anda kini menjadi Player dalam Sistem Pembelajaran.
Semoga kamu jadi anak yang pintar~ Tet tet tet!]
Aku diam, mendengarkan suara dalam kepalaku.
‘Sistem… bukan genjutsu ataupun suara Iruka-sensei. Apakah ini seperti cheat code yang datang terlambat?’ ucapku dalam hati.
[Ya. Aku baru aktif karena kamu… akhirnya memenuhi syarat. Kamu telah menjadi murid dari Iruka Umino.]
‘Ah, kamu bisa mendengar suara hatiku ya. Kenapa baru sekarang? Bukankah ayah dan ibuku juga mengajariku? Mereka juga guru buatku.’
[Karena hari ini kamu benar-benar mengikuti pendidikan formal, orangtua sudah pasti punya ikatan denganmu, dan di dunia ini mereka hanya tokoh biasa. Iruka Umino adalah karakter penting yang menjaga mental Naruto sampai akhir, meski bukan tokoh kuat—dia syarat aktifnya sistem ini.]
‘Oke… aku paham. Jadi apa gunanya sistem pembelajaran ini?’
[Membantu kamu jadi pintar.]
‘Ya, aku tahu soal itu, tapi apa kelebihanmu?’
[Dengan Focus Mode Points.]
‘Apa itu?’
[Setiap 1 poin, kamu bisa masuk Focus Mode—otakmu melesat, ilmu menempel mudah, satu jam serasa sepuluh jam.]
Aku membayangkan pelajaran yang biasanya membosankan dan sulit kumengerti bisa kupelajari dengan cepat. Ini akan mengubah pola belajarku.
‘Tapi… kalau aku terlalu berubah, akankah dunia berubah juga?’
‘Lalu bagaimana aku dapat poinnya?’
[Setiap pukul 03.00 pagi kamu dapat 1 poin. Berusaha dan belajar sungguh-sungguh juga bisa menambahnya.]
‘Poinku sekarang?’
[5 poin.]
‘Baiklah… aku coba pakai 1.’
[Focus Mode Aktif – Durasi: 1 Jam]
Dunia tetap sama, tapi pikiranku berlari—segala detail jadi jelas, suara Iruka-sensei, gerak kapur di papan, bahkan detak napas teman-teman. Pelajaran menyatu dalam benakku, bukan sekadar dihafal, tapi benar-benar dipahami.
Tubuhku jadi lamban—seolah pikiran melaju, tapi tubuh tertinggal. Satu jam berlalu, bagiku terasa seharian.
Saat mode berakhir, kepala berdenyut, napas berat. Aku berusaha berdiri, dunia berputar, langit-langit kelas mengabur… lalu gelap.
Aku terbangun di ruang putih—bau obat, tirai tipis, suara monitor jantung yang sunyi.
Rumah sakit.
Tubuhku lemas, perut kosong seperti baru berperang dengan waktu. Aku duduk pelan, napas berat.
‘Sial… efek sampingnya ternyata nyata. Kalau di anime, tak ada yang pingsan hanya karena belajar keras.’