# Bab: Menjadi Murid Hokage
Sudah sebulan penuh aku meniti ritme yang sama.
Setiap pagi, sebelum kabut benar-benar mengangkat diri dari jalanan Konoha, aku melangkah ke kantor Hokage.
Di depan pintu, dua penjaga berdiri—wajah mereka mulai lekat di ingatan, sekeras batu di gerbang masa depan.
"Maaf, Tuan Hokage sedang sibuk," kata mereka.
Setiap hari.
Nada mereka berubah dari tegas menjadi ragu, dari acuh menjadi penasaran.
Aku hanya mengangguk.
"Terima kasih."
Lalu pulang, membiarkan bayangan tubuhku memanjang di trotoar basah.
Esoknya, aku datang lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Minggu kedua, mereka menyapaku dengan nama.
Minggu ketiga, mereka bertanya kenapa aku bersikeras.
Jawabanku tetap:
"Aku ingin bicara langsung dengan Tuan Hokage."
Aku tahu, kadang ketekunan lebih berbicara daripada seribu kata.
Di dunia ninja, agar dianggap ada, kau harus dilihat.
Bukan sekadar terdengar.
---
Hari ke-30.
Langit pagi mendung, awan berat menggantung. Tapi hatiku terang, penuh harap yang tak mau padam.
Ketika aku hendak berbalik seperti biasa, salah satu penjaga memanggil pelan:
“Ryuu. Kau dipersilakan masuk.”
---
Ruangan Hokage.
Tidak sebesar imajinasi bocah, tapi udara di dalamnya berat—seperti awan sebelum badai.
Sarutobi Hiruzen duduk di balik meja penuh gulungan dan tumpukan masalah.
Tangan tuanya berhenti menulis.
Matanya menatapku, dalam, seperti menimbang bukan umur tapi isi jiwa.
“Aku dengar kau datang setiap hari selama sebulan.”
Suara beliau pelan, tapi mengandung bobot tahun-tahun yang sudah ia lalui.
Aku membungkuk.
“Benar, Hokage-sama. Dan aku memiliki permintaan.”
“Hoo, apa itu sampai harus bertemu denganku?”
“Karena aku ingin guru. Guru yang bisa mengajariku tentang fuinjutsu.”
“Fuinjutsu, ilmu tingkat tinggi yang kamu minta. Kenapa kamu tidak minta pada gurumu di kelas?”
“Karena aku ingin Hokage-sama yang mendengarnya langsung. Aku percaya Hokage-sama memiliki banyak shinobi ahli di bidang itu, dan saya sendiri sudah mencoba bertanya pada guru-guru di akademi tapi mereka tidak mampu menjawab, bahkan beberapa dari mereka tidak menyukaiku karena mereka sepertinya merasa aku merendahkan mereka dengan pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab.”
Beliau tersenyum kecil—tawa tua yang mengandung rasa ingin tahu.
“Ho... aku mengerti. Aku dengar kamu juga sering membaca buku di perpustakaan? Bahkan aku dengar kemungkinan besar kamu telah membaca seluruhnya, ya?”
Aku mengangguk.
“Ya, itu benar, Hokage-sama. Memang sulit dibuktikan, tapi jika Hokage-sama mau menguji saya, saya siap.”
Diam. Sunyi.
Aku menatap tangan beliau yang bergerak mengambil dua gulungan dari tumpukan.
“Baiklah... Kalau kau bisa menguasai ini dalam satu bulan, kembalilah.
Kalau gagal... lupakan. Ini bukan jalan bagi yang setengah hati.”
Aku membungkuk lagi, mataku menyala.
“Aku akan kembali sebelum waktunya.”
---
Gulungan pertama: teori dasar fuinjutsu.
Bagian akhir: satu rahasia, kode untuk membuka gulungan kedua.
Gulungan kedua: segel penyimpanan.
Di dalamnya: seratus lembar kertas chakra, tinta pekat, kuas berbuluh halus.
Tugasnya sederhana di kata, rumit di kenyataan.
Buat satu kertas peledak, satu kertas paralisis, satu pengikat, satu segel penyimpanan.
Tak ada batas maksimal, hanya satu batas: imajinasi dan kesabaran.
---
Hari-hari awal jadi ujian kegigihan.
Tangan gemetar. Coretan miring. Chakra bocor ke permukaan, membuat pola tak diinginkan.
Aku gagal berkali-kali—kertas terbakar, tinta tumpah, segel tak aktif.
Malam-malamku penuh tinta dan angka,
penuh pola dan pemikiran,
penuh gumaman yang terdengar seperti doa para ilmuwan.
Kadang aku terlelap di atas gulungan, mimpi tentang segel yang hidup dan membungkus tubuhku seperti kabut.
Setiap kegagalan adalah pelajaran.
Setiap keberhasilan adalah pijakan baru.
Hari keempat, tiga segel jadi.
Hari keenam, lima lagi.
Hari kesepuluh, aku bisa membuat segel lebih rumit—menggabungkan efek, menyusun pola baru.
Aku mulai bereksperimen dengan variabel-variabel yang belum pernah dicoba di akademi.
Bagaimana jika chakra dikompresi sebelum dialirkan ke kertas?
Bagaimana jika tinta dicampur sedikit darah, seperti di teknik klan Uzumaki?
Bagaimana pola spiral memengaruhi kecepatan aktivasi?
Setiap jawaban selalu memancing pertanyaan baru.
Ada malam ketika aku gagal total—segel meledak di tangan, nyaris mengenai mata.
Aku duduk di lantai, tangan bergetar, napas sesak, tapi ada tawa kecil yang keluar.
‘Kalau gagal seperti ini, setidaknya aku tahu batasnya.’
Kadang, aku keluar ke halaman, menatap bulan dari balik jendela, membiarkan angin malam menyejukkan kepala yang panas.
Aku bicara sendiri, seperti berdoa pada sistem yang setia diam dalam benak.
‘Satu bulan. Aku ingin bisa membuat banyak. Lebih dari 60 meskipun sekarang udah 20x gagal dan bahannya hancur.
Apa aku gila?’
Sistem menjawab pelan:
[Gila adalah jalan para inovator, Host.]
Aku tersenyum.
‘Kalau begitu, biarkan aku sedikit lebih gila malam ini.’
---
Popularitasku di akademi naik diam-diam.
Namaku mulai muncul di papan peringkat: teori, praktik, simulasi pertarungan.
Beberapa teman mulai bertanya, beberapa guru mulai mengawasi.
Aku tetap membangun tameng sosial—jadi kutu buku yang bisa bercanda.
Berteman dengan anak-anak klan besar: Shikamaru yang malas, Ino yang cerewet, Kiba yang berisik.
‘Jika aku hilang, mereka akan sadar. Jika aku berubah, mereka akan bertanya. Dan itu tameng terbaik dari mata-mata seperti Danzo.’
---
Hari ke-29.
Aku berdiri di depan kantor Hokage, kali ini penjaga menyapaku dengan senyuman.
Ruangan itu masih berat, tapi kini terasa lebih hangat.
Sarutobi tampak terkejut melihatku sebelum tenggat.
“Kau kembali lebih cepat. Apa kau berhasil?”
Aku mengangguk, membuka gulungan dari tasku.
“Tentu saja, Hokage-sama. Ini hasilnya.”
74 lembar segel—rapi, aktif, terstruktur, setiap pola punya nama dan kegunaan.
Aku memperlihatkan beberapa segel favorit:
Segel peledak dengan pola spiral yang mempercepat aktivasi.
Segel paralisis yang bisa diatur durasinya.
Segel pengikat yang memanfaatkan tekanan chakra musuh.
Segel penyimpanan yang mampu menampung tiga jenis barang sekaligus.
Beliau menutup mata sejenak, lalu membuka kembali dengan tawa yang jernih.
“Hahaha… luar biasa!”
“Mulai hari ini… selama tidak dalam urusan formal, panggil aku... sensei.”
Senyumku hampir pecah.
“Siap, sensei!”
---
📜
[DING!]
Quest tersembunyi terbuka: “Menjadi Murid dari Seorang Ahli”
Guru: Sarutobi Hiruzen – The Professor
Level: KAGE
Buff pasif: +20% efisiensi pembelajaran semua jutsu
Whoaaaaa! YESSSSS!
Aku menjerit dalam hati. Rasanya seperti menang undian chakra dari langit!
---
“Mulai sekarang,” kata sensei,
“kau mendapat akses ke perpustakaan tingkat satu. Kau bebas belajar apa pun.”
Aku terdiam sesaat, dada terasa penuh.
Senyumku nyaris berubah jadi air mata.
“Terima kasih, sensei…”
Ia menatapku lama dan dalam, seolah mencari sisa-sisa masa mudanya di bola mataku.
“Sebelum kita mulai... apa cita-citamu, Ryuu?”
Aku menjawab tanpa ragu.
“Aku ingin mengubah Konoha menjadi lebih baik.”
Sensei mengangkat alis, menanti penjelasan.
“Cita-cita yang sangat luas, dan tentu tidak mudah. Apa yang akan kamu lakukan untuk mencapainya?”
“Aku sudah membaca semua buku dasar akademi.
Tapi 30–40% isinya kontradiktif. Banyak genin salah paham sejak awal.
Salah teknik. Salah konsep dasar. Mereka gagal bukan karena bodoh—tapi karena sistemnya usang.”
“Jadi… yang pertama ingin kulakukan adalah merombak pendidikan ninja.
Menyusun ulang dasar. Membuat sistem yang benar-benar mendidik.”
Sensei menatapku lama, lalu tertawa pelan seperti membaca ulang masa lalunya dalam diriku.
“Cita-cita yang besar. Tapi sadar, kan?
Belajar denganku berarti tidak ada waktu bermain. Sedikit waktu dengan keluarga...”
Aku menatap tanganku, lalu tersenyum.
“TAJUU KAGEBUNSHIN NO JUTSU!”
Pop!
Dua klon muncul, identik, membungkuk serempak.
“...Kagebunshin!?”
Matanya melebar. “Di umurmu... kau sudah bisa membuat klon sejati!?”
Aku mengangguk.
“Saya sudah pelajari bunshin biasa. Lalu saya melihat jounin menggunakan kagebunshin. Tidak seperti klon biasa, dia bisa bergerak, berinteraksi bahkan belajar. Saya perhatikan dari balik pohon. Saya coba. Dan beberapa kali gagal tapi saya tidak pernah menyerah, jutsu ini terlalu berharga. Saya tidak akan berbohong, saya juga bertanya ke beberapa guru di akademi; mereka bilang ini jutsu terlarang, dan beberapa konsep mereka bocorkan dan jadilah kagebunshin yang aku buat ini. Saya uji. Dan... saya berhasil.” ucapku dengan sedikit bumbu kebohongan.
Sensei diam lama, menatapku seperti menakar masa depan.
Lalu ia menghela napas, seperti memanggil tekad lama dari dalam dirinya.
“Kalau begitu, Ryuu... bersiaplah.
Aku akan melatihmu... lebih keras dari siapa pun.
Dan kau akan menjadi... lebih hebat dari semua muridku sebelumnya.”
Aku mengepalkan tangan.
Langit hatiku terbuka, cahaya harapan membanjiri segala keraguan.
“Aku siap, sensei.”
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar dilihat.
Bukan sekadar murid, bukan sekadar angka di papan peringkat—tapi benih masa depan yang sedang tumbuh, dalam dunia yang menunggu perubahan.
Sekarang aku juga mendapat perlindungan dari Hokage secara langsung, semakin sulit Danzo menggangguku.
---
### Malam Pengumuman
Hari itu, aku pulang dengan langkah ringan, membawa gulungan dan izin baru—dan rahasia yang terlalu besar untuk disimpan sendiri.
Begitu pintu rumah kubuka, aroma dango hangat dan suara tawa kecil Mika menyambutku. Mochi melompat ke kakiku, mengeong seolah tahu aku membawa kabar baik.
“Ibu, Ayah—aku pulang!”
Mika berlari, memeluk pinggangku. “Nii-chan, kenapa hari ini senyum banget?”
Ibu mengintip dari dapur, ayah menoleh dari teras.
Aku menarik napas, memandang mereka satu per satu.
“Aku… Aku diterima jadi murid pribadi Hokage.”
Suasana rumah sejenak hening, lalu meledak jadi sorak-sorai kecil.
Ayah mengacak rambutku, matanya berkaca-kaca. “Kau anak hebat, Ryuu. Aku bangga.”
Ibu memelukku erat, sambil berbisik, “Jangan lupa makan, jangan lupa pulang.”
Mika bertepuk tangan, lalu berlari ke Mochi, mengangkatnya tinggi-tinggi. “Mochi, kakak jadi ninja hebat!”
Makan malam hari itu jadi yang terhangat dalam hidupku.
Tawa mengisi meja, Mochi dapat ikan lebih banyak dari biasanya, Mika berkali-kali bertanya soal Hokage, ayah bercerita masa mudanya, ibu menambahkan porsi dango.
Di sela-sela kebahagiaan itu, aku sadar—sekuat apa pun aku berlari, tempat pulangku tetap di sini: keluarga, teman, dan sahabat kecilku yang berbulu.
Dan malam itu, sebelum tidur, aku berjanji dalam hati:
Aku akan membuat mereka bangga.
Bukan hanya sebagai ninja, tapi sebagai anak, kakak, sahabat, dan murid yang tidak akan pernah berhenti belajar.