# Ritual Damai Sebelum Badai
Hidupku mengalir seperti roda jam kuno yang tak pernah rusak—tiap dentingnya adalah sumbu rutinitas, membakar hari-hari tanpa banyak suara.
Saat langit masih diselimuti kelam, bintang-bintang belum selesai bermimpi, aku sudah terbangun. Tubuhku terbiasa oleh gerak dan luka. Taijutsu dan kenjutsu jadi ibadah sunyi bersama ayah; tiap sabetan kayu menyimpan kasih sayang yang tak pernah dimanjakan kata, hanya terasa lewat kulit dan tulang.
Hari ketika aku resmi jadi murid pribadi Hokage, ayah memberiku sebuah tanto bersarung hitam—tampak sederhana, tapi kualitasnya high grade. Bukan senjata legendaris, tapi penuh kenangan. Ayah pernah menggunakannya sejak muda, dan kini ia mewariskannya padaku dengan mata berbinar bangga. Suatu waktu, aku membawa tanto itu ke toko senjata, berbincang dengan pemiliknya. Ia bilang, senjata ini bisa di-upgrade, asal bahan utamanya memang pilihan. Aku rela menghabiskan tabungan hasil jualan fuinjutsu, meminta owner menambah berat, ketajaman, kekuatan... dan satu permintaan khusus: "Buat agar tanto ini bisa mengalirkan chakra." Biayanya besar, tapi aku setuju. Ini investasi, bukan hanya untuk masa depan, tapi untuk warisan ayah dan harapan diri.
Satu kagebunshin kubagi untuk membantu ibu: menyapu dedaunan, menjemur pakaian, mencuci piring. Kadang Mika ikut membantu, tertawa keras saat Mochi tergelincir mengejar daun, membuat pagi terasa lebih panjang sebelum dunia berubah gelap. Ibu menatapku dengan lembut, "Ryuu, kenapa kamu menggunakan kagebunshin untuk hal-hal sepele? Ibu dengar itu jutsu terlarang dan berbahaya."
Aku menatap ibu dengan senyum tipis. "Ini bukan sepele, Bu. Kalian adalah tujuan hidupku, alasan aku terus berusaha. Impianku tak akan berarti kalau membuat kalian jauh."
Di sela-sela rutinitas, ayah kadang menepuk pundakku, membisikkan nasihat singkat tentang luka, harapan, dan kehormatan seorang shinobi.
Suatu pagi, ayah menantangku, "Kau sudah kuat, Ryuu. Menjadi murid Hokage pasti sudah cukup untuk mengalahkanku. Jangan menahan diri hari ini. Ayah akan kecewa kalau kau menahan diri."
Aku tersenyum, mengeluarkan tanto hadiah ayah, meluncur dengan kekuatan penuh. Kontrol chakra dan pergerakan suriken, kunai, semua jadi senjata utama. Ayah membalas dengan bola api. Aku berkelit, meninggalkan kawarimi sebagai pengecoh. Ayah menembakkan bola api ke arahku, aku melompat, membentuk kagebunshin di udara. Kami bertarung dua lawan satu, tapi pengalaman seorang chunin tak bisa diremehkan. Dengan daya tahan dan kecepatan, ayah menangkis, memukulku, hingga satu bunshin hilang dalam kepulan asap. Tapi saat itu pula, tantoku sudah menempel di punggung ayah.
Ayah terdiam, kemudian tertawa, "Aku bangga padamu, Ryuu!"
Tubuh dan wajah kami penuh memar, tapi senyum tak pernah hilang.
"Terima kasih, Ayah, sudah mengajariku. Aku akan jadi shinobi terbaik dan membuatmu bangga."
Pulang, kami disambut omelan ibu. "Kenapa latihan sampai berdarah dan memar seperti ini?" Setelah mandi, ibu dan Mika mengobati luka kami berdua.
Ayah bercerita tentang kekalahannya, Mika tak percaya, lalu merengek ingin berlatih seperti aku. Ayah semangat menyambut, dan aku pun ikut melatih Mika agar jadi lebih kuat.
---
Pagi selepas sarapan, langkahku sejajar dengan anak-anak bersandi nama emas: Hyuuga, Aburame, Inuzuka. Sedang aku? Aku Ryuu Tanaka, lahir dari pelukan ibu, tempaan darah dan keringat ayah, murid Sang Professor. Banyak orang mulai iri melihat statusku sebagai genin spesial.
Hari-hariku pecah jadi bayang-bayang.
Satu bunshin tenggelam dalam gulungan di perpustakaan ninja tingkat satu, menulis catatan soal sejarah Konoha, membandingkan naskah baru dan lama, mencari jejak sensor dan propaganda.
Satu lagi sibuk menulis segel di hutan belakang Konoha, ditemani Mochi yang kadang mengendus tinta, kadang tertidur di atas gulungan.
Aku belajar jutsu baru—api, air, angin, petir, tanah. Semua konsep kupelajari, sinergi elemen mulai kupahami. Sekarang aku mengerti kenapa tiap orang punya potensi atau elemen berbeda. Naruto angin, Sasuke api dan petir.
Aku mencoba kertas chakra, dan tahu elemen utamaku adalah petir. Dari latihan itu, aku menciptakan variasi jutsu: rasengan kecil dengan elemen petir, sebesar bola baseball. Bunshin langsung hilang jika terkena serangan ini, dan aku pun merasakan efeknya—setiap pengguna utama juga menanggung sakitnya, meski hanya separuh. Aku lempar jutsu ini dengan kecepatan tinggi, jangkauan sekitar 10 meter. Jika lebih, sifat petirnya cepat terurai atau berbelok mengikuti medan listrik. Ini jadi “kartu as” dan signatureku.
Kadang, aku dan teman-teman seperti Shikamaru, Kiba, atau Ino duduk di bawah pohon, bertukar gosip tipis tentang rumor “angin aneh” di desa. Ada yang bilang Anbu makin sering patroli, ada juga yang membahas bisik-bisik soal Uchiha. Suasana Konoha perlahan berubah. Orang dewasa lebih waspada, anak-anak mulai takut gelap sebelum waktunya.
Setiap fuinjutsu yang aku buat, kupikirkan:
Akankah ini jadi pijakan masa depan atau hanya jejak yang terhapus waktu?
Sepulang sekolah, jika jawaban belum kutemukan, aku temui Hiruzen-sensei. Kadang kami berdiskusi soal teori jutsu, kadang hanya duduk menatap senja. Jika tidak, aku larut dalam eksperimen—menyusun handseal, mengatur chakra, menulis fuin yang warnanya menguning oleh tinta dan tekad.
Sore hari, aku berlatih ninjutsu bersama teman-teman, kadang tertawa, kadang berdebat soal teknik. Shikamaru sering mengeluh, "Kau terlalu rajin, Ryuu. Kadang aku iri. Otakmu hebat, tapi kau juga belajar sendiri dengan bunshinmu. Sebenarnya kau ini ingin jadi apa?"
Aku hanya tertawa, "Impianku sederhana, mengembangkan Konoha jadi lebih baik."
"Kau sebut itu sederhana?"
Malam hari, aku menumpahkan Focus Point untuk pelajaran tersulit. Apa yang tak dipahami bunshinku, kutaklukkan sendiri. Apa yang tak bisa ditembus, kudobrak dengan tangan kosong. Fokus Point tersisa seratus lebih; aku tak selalu memaksakan mode fokus. Selain membebani finansial, otakku pun rentan. Fokus Point kupakai hanya di saat genting—bertemu musuh kuat, atau latihan tingkat tinggi. Kartu cadangan itu penting agar aku tak mati konyol.
Kadang aku bermimpi buruk—tentang mata merah, langit terbakar, atau suara ibu memanggil dari kejauhan. Aku terbangun, keringat dingin di pelipis, Mochi mendekat dan mengeong pelan, seolah berkata, "Kau tidak sendiri."
Aku hidup seperti bayangan yang berjalan di belakang diriku sendiri—sunyi, setia, tapi selalu mengawasi.
---
Sampai senja itu datang.
Sebelumnya, sore-sore selalu diisi latihan atau obrolan kosong di pinggir lapangan. Tapi hari itu, langkahku tertarik ke kuil tua di pinggir desa. Di sana, di antara bayang-bayang pohon dan suara burung terakhir, aku melihat siluet yang menyatu dengan cahaya jingga. Tak bergerak, tak bersuara—hanya berdiri, seperti penanda babak baru yang menunggu diketuk takdir.
Uchiha Itachi.
Langkahku terhenti.
Jantungku lupa ritmenya—detak yang biasanya tangguh kini bimbang.
Matanya menatap langit, Sharingan berputar perlahan seperti roda takdir. Merah darah, sunyi abadi.
"Indah..." bisikku, entah pada siapa.
Ia menoleh, pelan, seperti bayangan menyadari dirinya diamati.
"Hai, Nak. Apa yang kamu sebut indah?"
Suaranya dalam, tapi lembut—membawa luka yang tak tampak, tapi terasa.
Aku menatap matanya. "Matamu, Kak. Kakak… seorang Uchiha, ya?"
Ia mengangguk, satu gerakan sederhana tapi sarat makna.
"Benar. Dan kamu siapa?"
"Ryuu. Aku… bukan siapa-siapa. Tapi mata itu, indah sekali."
Wajah Itachi berkerut, senyum tipis bercampur duka.
"Terima kasih… Tapi keindahan ini datang bersama beban yang tak bisa dibagi."
Ia berjalan menjauh.
Bayangnya menelan cahaya senja, hilang dalam diam.
Aku hanya bisa berdiri.
Namun hatiku—bergetar.
Aku kenal rasa itu, aroma itu: badai akan datang.
Di balik rutinitasku yang damai, roda besar takdir mulai berderak.
---
**Catatan Pribadi**
Nama: Ryuu Tanaka
Misi Pribadi: Menjaga masa depan dari tangan yang kotor
Target: Menggagalkan Danzo mencuri mata Sharingan
Risiko: Kematian jika ketahuan
Kesadaran: Ini bukan pencurian. Ini penjagaan. Bukan demi kekuatan, tapi demi masa depan.
---
Aku mulai bersiap.
Bukan hanya dengan otot dan jurus, tapi dengan hati dan neraca moral.
Kukumpulkan 10 Ration Pill—hasil tabungan dari menjual fuinjutsu.
Focus Point kusimpan untuk saat genting.
Latihan ekstrem: teknik menyembunyikan chakra, agar bahkan mata Sharingan pun tak bisa mencium jejakku. Semua sulit; level sharingan Uchiha dan byakugan bisa mendeteksiku. Tapi saat aku gunakan Focus Point, mereka sulit membaca jejak. Selain kecepatan tinggi, aku bisa mengendalikan chakra, jantung, dan semua organ, membuatku seolah mati, menyatu dengan alam. Tapi aku tak bisa terus-menerus menggunakan FP—ada efek samping, dan para Uchiha pun tak bisa terus-menerus menggunakan matanya.
Aku mendata satu per satu Uchiha yang telah membangkitkan Sharingan. Aku takkan menyentuh mata yang belum mekar. Aku bukan monster.
Tapi bila dunia dipertaruhkan—aku akan jadi bayangan yang melangkah lebih dulu dari kegelapan.
Karena seseorang harus memilih jadi kotor,
agar yang lain tetap bisa tumbuh bersih.
Dan aku,
aku memilih jadi bagian dari luka kecil dalam sejarah,
asal dunia tak berubah jadi kumpulan mayat besar.