Sang penerus Mahesvara

Aku tertidur di kursi ruang kerja bekas mendiang ayahku, waktu tertidur aku sempat bermimpi buruk istana terbakar oleh serangan invasi besar besaran, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan prajurit menghanguskan istanaku, disaat aku mau tertusuk oleh musuh, aku langsung terbangun.

Aku terbangun dan terkejut, nafasku terengah-engah, jantung seperti mau copot.

"Mimpi...?" Gumamku sambil menyandar di kursi dan menatap atap ruangan.

Itu memang mimpi buruk, namun itu seperti nyata, sebuah mimpi untuk memperingatiku di masa depan mendatang, aku disini sebagai Adipatni untuk melanjutkan perjuangan ayahku, sang Adipati Radendra, penguasa wilayah Tharanaya.

Ibuku Aryavinda Mahesvara, dia terkena penyakit seperti kutukan, Tabib dari kerajaan menyebutnya sihir pecah jiwa, penyakit itu membuat jiwa ibuku retak, lupa dengan seseorang, bahkan berbicara sendiri.

Namun aku tidak boleh menyerah, aku harus menyembuhkan ibuku dan selain itu aku juga harus melindungi adikku Lalindra Mahesvara, tanggung jawabku sebagai Adipatni sangat besar, bukan hanya melindungi keluargaku, tapi seisi istana ini.

Tak lama kemudian seseorang datang mengetuk pintu ruanganku.

"Masuk.." ucapku sambil menatap pintu.

Setelah masuk, aku melihatnya, dia adalah Arvan, seorang kesatria yang aku percaya, dia enghampiriku dan melaporkan sesuatu padaku.

Dia menunduk kepadaku dengan hormat lalu berbicara.

"Yang mulia Adipatni, aku mendapatkan pesan dari kaisar Darvian" ujarnya sambil memberiku pesan itu.

Tapi aku sedang malas untuk membaca isi oesannya, kepalaku sedikit pusing, badanku sangat lemas, mungkin terlalu banyak bekerja kemarin malam.

Lalu aku menyuruh Arvan untuk membacakannya untukku.

"Bacakan isi pesan itu untukku" ucapku sambil memijat kepalaku dengan satu tangan.

"Baik yang mulia." Jawabnya dengan posisi tegak bersiap untuk membaca isi pesannya.

_"Adipatni Mahira yang bijaksana,

Aku tidak akan membuang waktumu dengan kata manis atau janji kosong.

Kau dan aku sama-sama tahu permainan para bangsawan kini bukan soal kehormatan, tapi soal siapa yang pertama ditelan perang.

Saat ini, mereka meluncurkan koalisi dengan dalih keadilan. Tapi aku tahu, dan kau pun pasti sadar, bahwa yang mereka incar bukan keadilan... melainkan takhta.

Aku mengajakmu untuk berpihak. Bukan karena kelemahan, melainkan karena strategi.

Berdirilah di sisiku. Lindungi kekuasaanku dari tikaman para pengkhianat, dan aku akan menjamin kekuasaanmu tetap berdiri, tak tergoyahkan bahkan oleh seribu pasukan.

Kau bukan perempuan biasa, Mahira. Kau tahu saat kapan harus menyerang, dan kapan harus bertahan.

Kini waktunya memilih sebelum pilihan itu diambil alih oleh pedang orang lain."_

Kaisar Darvian

Segel Kekaisaran Darvian – Dinasti Tirthawana

Arvan menggulung lagi kertas pesan itu, lalu berdiri tegak menatapku dan menungguku berbicara.

Aku terdiam memikirkan isi pesan itu, dan dari sinilah aku di uji dalam hal politik dan strategi, kepalaku semakin pusing memikirkannya, dan untuk saat ini aku belum merekrut ahli taktik atau strategi manapun, karena ahli strategi yang dulu bekerja dengan ayahku sudah pensiun karena umurnya sudah menua.

Hatiku berkata "apa yang harus aku lakukan, apakah aku harus bergabung dengan kaisar?"

Tak lama kemudian, Arvan angkat bicara lagi, terlihat ekspresi wajahnya ada hal serius yang ingin dia katakan.

"Yang mulia Adipatni, ada hal lain yang ingin saya laporkan" ucapnya dengan tegas namun tenang.

Lalu aku menatapnya serius dan bertanya meskipun kepalaku sangat pusing.

"Laporan apalagi...Arvan..." Tanyaku dengan sedikit lemas karna pusing.

Ia langsung menjawab tanpa melihat kondisiku sekarang yang sedang pusing memikirkan semua pekerjaan.

"Ini soal kota darmatya, yang mulia" ucapnya.

"Kota Darmat—" dia melanjutkan namun aku potong langsung.

"Udah cukup... Aku tau apa yang akan kamu katakan" ucapku yang memotong ucapan Arvan.

Aku tau sekarang kota darmatya sedang kekurangan sumberdaya karena wilayah itu terkena sihir lingkungan yang membuat tanaman disana tidak subur, aku pun tidak tau dari mana sihir itu datangnya.

Lalu setelah itu aku menyuruh Arvan untuk pergi.

"Kamu boleh pergi sekarang, dan terimakasih atas laporannya" ujarku pada arvan.

Lalu dia pun membungkuk hormat padaku.

"Baik yang mulia Adipatni, aku ijin pergi" ucapnya sambil pergi meninggalkan ruangan.

Aku bediri dari dudukku, dan berjalan ke arah kursi sofa yang ada di ruanganku, aku langsung menjatuhkan tubuhku dengan posisi tengkurap.

"Aaahh...bodoh! Bodoh! Bodoh!..." Aku marah dan kesal, kenapa aku harus menjalani hidupku seperti ini, penuh tanggung jawab yang harus aku lakukan.

"Ayah, apa yang harus aku lakukan...Huwaaa!!" Aku berteriak seperti anak kecil menangis meminta untuk membelikan gaun baru pada ayahnya.

Tak lama kemudian para pelayan masuk kedalam ruanganku dengan cepat karena mendengarku berteriak.

"Y-yang mulia! Ada apa!?" Ucap mereka dengan rasa khawatir padaku.

Aku menatap mereka seperti seorang gadis yang sedang sekarat meminta bantuan.

"Aku...mau...minum teh..Cepat!!" Ucapku pelan namun tegas di akhir.

Mereka pun terkejut dan langsung bergegas pergi dari sana menyiapkan untuk menyiapkan teh untukku, lalu setelah itu adikku datang menghampiriku.

"Kak! Ayo ke kota! Aku mau liat liat makanan di pasar!" Lalindra datang sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan cemberut meminta aku mengajaknya kepasar untuk beli makanan yang ia suka.

Ekspresiku mulai seperti orang gila yang terus di paksa bekerja siang dan malam, namun di sisi lain itu sudah tugasku menggantikan ayah dan ibuku sebagai orang tua, dan sebagai Adipatni, aku tidak bisa mengelak dari semuanya.

Sedikit kesalahan, akan fatal jadinya.

Sebelum aku menjawab permintaan adikku, para pelayan datang mengambilkan teh dan makanan ringan untukku, aku langsung duduk dari posisiku sebelumnya.

Aku mengambil teh dan meminumnya, saat meminum teh aku merasakan seperti mendapatkan nyawaku kembali setelah di hajar habis habisan oleh kenyataan.

"Haah~ rasanya seperti hidup kembali~" ucapku setelah meminum teh.

Lalu adikku bertanya kembali "jadi gimana kak? Kita jadi ke pasar kan?" Tanyanya.

Aku menoleh ke arahnya lalu tersenyum dan mengangguk.

"Iya, kita berangkat sekarang" jawabku dengan tenang

Aku melihat adikku terlihat senang saat dia mau ku ajak ke pasar membeli makanan kesukaannya, lalu aku menyuruh salah satu pelayan untuk ikut, dan aku suruh yang lainnya untuk menyiapkan kereta kencana untuk berangkat ke pasar.

Setelah semuanya siap, dan kereta kencana sudah di depan istana, aku dan adikku menaikinya.

Di perjalanan menuju kota aku sempat melihat bagian gang sempit di kota, orang orang yang duduk di gang tersebut, seperti orang yang kelaparan, atau yang tidak punya tempat tinggal.

Aku berpikir sejenak, begitu lemahnya kepemimpinanku sampai tidak bisa mengurus rakyat rakyatku sekarang.

Setelah di pertengahan kota, aku, adikku dan pelayan yang aku ajak tadi turun dari kereta kencana, dan berjalan kaki menuju pasar.

Disana aku juga sempat melihat seorang pria mengenakan jubah putih dan buku di tangannya, rambutnya hitam pendek, dia tampak bingung mencari sesuatu, aku langsung menghampirinya dan bertanya padanya.

"Apa kamu mencari sesuatu?" Tanyaku.

Saat ini aku hanya mengenakan pakaian biasa, bukan pakaian formal seperti bangsawan.

Dan setelah itu dia menoleh ke arahku, menjawab sedikit gugup dan bingung.

"Anu...aku sedang mencari kediaman Nona Adipatni Mahira, tapi aku malah tersesat ke pasar." Dia menjawab dengan ekspresi nyengir sambil garuk kepala.

Lalu aku menjawab dengan datar dan menujuk ke arah utara, tepatnya ke arah istanaku.

"Kamu cuma ambil jalan lurus ini, nanti kamu akan menemukannya tak jauh dari sana, disana ada penjaga berpatroli, kamu tanya saja" jawabku dengan ekspresi datar, tak ada senyum, yang ada pikiranku meledak.

Aku tidak peduli dia ada urusan apa denganku, aku tidak langsung mengaku siapa diriku, yang penting sekarang aku bisa main dengan adikku di pasar untuk berbelanja.

Tak lama kemudian, adikku memanggilku dari kejauhan, aku langsung menghampirinya dan menggenggam tangan adikku.

Aku dan adikku mulai berbelanja dan memilih makanan apa yang dia suka, akan tetapi di saat aku sedang berbelanja, tiba tiba ada kegaduhan disana.

Seseorang sedang bertengkar, ada empat orang disana, satu orang sedang dihantam oleh ketiga orang tersebut.

Ketiga orang itu seperti seorang bandit dari luar kota, dan aku sempat berfikir,

"seburuk ini kah kepemimpinan seorang adipatni mahira, sampai ada bandit masuk ke kotaku sendiri." Ucapku dalam hati

Aku langsung mendekati mereka, dan menghentikan para bandit itu ketika mereka mau menginjak orang yang mereka serang.

"Hey! Tunggu!" Teriakku pada mereka.

Mereka langsung menoleh ke arahku dengan tatapan tajam, seolah mereka mendapatkan mangsa baru yang cantik dan siap di culik, mereka membawa senjata kapak di punggungnya, namun aku tidak takut dengan itu.

"Hahh??! Kamu mau apa nona manis?" Ucap salah satu dari mereka sambil mendekatiku, lalu melihat ke arah dadaku dan ke bawah.

"Bagus juga tubuhmu, dari pada marah tidak jelas, mending ikut dengan kami" ucapnya lagi, namun kali ini dia mau meraih pipiku, akan tetapi aku langsung menangkisnya dan memutarkan tangannya dengan keras hingga terbalik.

"Jangan beraninya menyentuhku, biadab!" Ucapku dengan marah sambil mencengkram erat tangannya.

Setelah itu dia langsung menyuruh kawannya untuk memyerangku, dan suasana pasar mulai gaduh, kedua kawannya langsung mendekatiku untuk menyerang.

Namun tak lama kemudian, tanpa ada perintah apapun, para penjaga berlari ke arahku, dan sebelum para bandit itu menyerangku, para penjaga langsung mengelilingi mereka, dan mereka langsung terpojok lalu di tangkap.

Arvan datang kepadaku, dan memintaku untuk berhati hati saat berjalan di kota, dia tunduk dan berlutut padaku.

"Yang mulia Adipatni Mahira, maafkan aku, kondisi kota sekarang sangat kritis, banyak orang asing yang datang ke kota ini." Ucapnya tegas dan hormat padaku.

Orang orang di Sekeliling pasar langsung terdiam dan tertunduk hormat saat Arvan memanggilku Adipatni.

Dan orang yang di serang tadi langsung bersujud padaku untuk berterima kasih.

"Yang mulia Adipatni, terima kasih sudah menolongku!" Ucapnya dengan penuh terima kasih.

Aku mengangguk dan memyuruhnya berdiri.

"Beridirlah, kamu aman sekarang"

Dan aku pun kehilangan suasana santaiku yang baru aja aku mulai.

"Ya tuhan, kapan aku bisa santai" ucapku dalam hati sambil menatap langit.

Lalu aku menatap Arvan dengan serius.

"Baiklah, nanti di istana kita bicarakan soal ini"