BAB 1 : A Tarnished Beginning

Bab 1 - A Tarnished Beginning

Langit kelabu menggantung di atas kawasan kumuh bernama Murkrow Alley yang merupakan bagian dari Clover Area, tempat Ren Moriarty tinggal. Deretan rumah reyot berdiri rapat, dihimpit oleh beton-beton mati dan jalanan yang penuh genangan.

Ren Moriarty terbangun dari tidurnya. Tubuhnya masih lemas, seolah kelelahan tak pernah pergi dari dirinya. Ia menatap cermin di samping ranjang — pantulan dirinya tampak mengenaskan. Tubuh kurus, kulit pucat, dan mata yang dihiasi lingkar hitam. Tatapan kosong, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar bangun dari mimpi buruk.

Ia keluar kamar dan mendapati adiknya, Ram Moriarty, sedang berdiri di dapur, membuka lemari kosong.

"Ren," panggil Ram tanpa menoleh. "Bahan makanannya habis. Bisa kau beli ke pasar?"

Ren menguap dan menggaruk kepala. "Ya, ya... aku berangkat."

Setelah mengambil beberapa koin receh dari meja kecil dekat pintu, Ren mengenakan jaket lusuhnya dan keluar.

Namun baru beberapa langkah dari rumah, ia merasakan sesuatu. Dingin yang bukan berasal dari cuaca. Semacam... kehadiran yang tidak terlihat.

Ia menoleh cepat ke belakang.

Rumahnya tetap sunyi. Tak ada siapa-siapa.

"...Halusinasi," gumamnya pelan. Ia mengangkat bahu dan meneruskan langkah.

Setelah membeli bahan makanan di pasar dan hendak pulang, Ren melihat sebuah tenda gelap di pinggir pasar.

Ren pun memutuskan untuk memasuki tenda gelap di pinggir pasar, aroma dupa memenuhi udara.

Di dalamnya, duduk seorang peramal tua dengan jubah hitam yang lusuh. Di depannya, sebuah bola kristal tergeletak di atas meja bundar.

"Letakkan tanganmu di sini, Nak," ucap si peramal dengan suara yang seperti gumaman angin.

Ren meletakkan tangan kanannya di atas kristal.

Beberapa detik.

Lalu cahaya ungu keluar perlahan dari dalam batu itu.

Si peramal menyipitkan mata, menarik napas dalam.

"Generasi... Sembilan." Generasi ke-9 adalah generasi terlemah.

Ren diam.

Ia tidak terkejut. Dia bahkan tidak mempedulikannya.

"Dan sekarang," lanjut si peramal, "pilih satu dari tiga kartu ini."

Ia menggeser tiga kartu tarot tertutup ke hadapan Ren.

Tanpa berpikir lama, Ren menunjuk yang di tengah.

Peramal membaliknya perlahan.

Gambarnya: Seorang badut dengan wajah polos, membawa tas kecil dan melangkah menuju tebing.

"The Fool."

Peramal mengangguk pelan. "Si bodoh... kartu yang tidak memiliki arah, tapi punya potensi tak terbatas."

Ren tidak menjawab.

Ia hanya menarik napas panjang, lalu pergi keluar dari tenda.

Di tengah perjalanan pulang, di antara keramaian pasar yang hiruk pikuk, seseorang berdiri menatap Ren.

Seorang badut.

Wajah putih, topi tinggi, cat senyum yang aneh. Diam saja di tengah jalan, tidak bergerak.

Ren berhenti.

Si badut menyodorkan secarik kertas undangan.

Ren menerimanya tanpa bertanya.

> "Pukul 19:00. Lokasi akan datang sendiri padamu."

Begitu Ren mengangkat wajah... si badut menghilang. Tanpa jejak.

Ren hanya mendecak pelan, lalu melanjutkan perjalanan pulang. Undangan itu ia masukkan ke saku celana, dan ia sendiri pun nyaris melupakannya.

Langit semakin gelap ketika Ren tiba di depan rumah.

Pintu rumah terbuka setengah.

Ren merasakan hawa aneh. Tak ada suara dari dalam.

"Ram?" panggilnya.

Tidak ada jawaban.

Ren mendorong pintu perlahan, dan...

Tubuh Ram, adik perempuannya yang selalu ia lindungi, tergeletak di depan pintu masuk rumah.

Tanpa sehelai kain menutupi tubuhnya. Dingin. Tak bernyawa. Tubuhnya rusak. Matanya kosong.

Ren tidak mampu berkata apa-apa.

Barang belanjaan jatuh ke lantai. Ia menutup mulutnya, lalu muntah dan menangis di tempat seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi.

"...Tidak... Ini mimpi... bukan nyata... ini... mimpi..."

Tapi darah yang menggenang, mayat yang terdiam, dan kehampaan di udara memaksanya menerima kenyataan.

Ren lari dari rumah, tubuhnya basah oleh hujan, pikirannya kosong, jiwanya terkoyak. Ren terus berlari tanpa tujuan.

Di bawah langit yang menangis, Ren berlutut di sebuah jembatan tua. Hujan mengguyur tubuhnya yang menggigil.

Air mata dan air hujan menyatu, dan napasnya berat. Dunia seolah hancur dalam satu malam.

Lalu, dari balik kabut hujan, dua bayangan muncul.

Dugh Smythe dan Ally.

Dugh melangkah pelan, menatap Ren dengan dingin.

"Ren Moriarty?"

Ren menoleh dengan tatapan kosong. "...Kalian... siapa?"

"Aku tahu apa yang terjadi padamu," kata Dugh pelan. "Apakah Kau tahu siapa yang melakukannya."

Ren mencengkeram tanah. "Tidak... tahu!!"

"Kau ingin kebenaran?" Dugh menatap lurus. "Jadilah detektif. Maka semua pintu akan terbuka."

Ren berdiri, marah. "Aku tidak butuh detektif! Aku butuh... pembalasan!!"

Ia menerjang, tapi tubuhnya lemah. Dugh menahan serangannya dengan mudah, bahkan tanpa gerak berlebihan. Dugh menggunakan kekuatannya yang bernama "Rêve" yang memungkinkan Dugh membawa Ren masuk ke dunia mimpi miliknya.

Di dunia mimpi, Dugh Smythe berkata

"Kau bukan apa-apa dalam kondisi seperti ini," katanya. "Tapi jika kau ingin mencari jawabannya, dan tetap hidup... maka buang dendammu. Dan datanglah ke Alphine." Kami akan mengurus jasad adikmu.

Dugh dan Ally berbalik pergi, meninggalkan Ren dalam hujan.

Namun tekad sudah tumbuh dalam dada remaja itu. Di antara hujan dan duka, sebuah kehendak baru mulai menyala.