BAB 2 : The First Path And The Ordeals

Bab 2 - The First Path And The Ordeals

Hujan telah reda, namun udara kota masih dingin. Langit tampak buram. Ren berdiri di depan sebuah kafe tua yang terjepit di antara dua bangunan tua lainnya. Plang kayunya sudah pudar dimakan waktu, hanya tertulis satu kata:

"Alphine."

Tampak seperti tempat kopi biasa. Tapi ia tahu... tempat ini menyimpan sesuatu.

Ren mendorong pintu masuk.

Sebuah lonceng kecil berdenting. Aroma kopi menyambutnya, bercampur bau kayu tua. Pengunjung tampak sedikit. Beberapa pria dan wanita duduk membolak-balik buku atau berbicara pelan.

Namun, mata mereka semua sempat melirik Ren-satu detik, dua detik. Lalu kembali tenang, seolah tak terjadi apa-apa.

Dari sudut ruang, Ally datang menghampirinya.

"Kau datang," katanya.

Ren mengangguk. "Kau bilang... jika aku ingin tahu siapa pembunuh Ram... aku harus jadi detektif."

Ally tidak menjawab. Ia hanya berbalik dan memberi isyarat agar Ren mengikutinya.

Mereka berjalan menembus pintu di belakang rak kopi. Sebuah lorong sempit, sunyi, lalu turun ke ruang bawah tanah.

Di sana, suasana berubah total.

Lampu-lampu putih menyala terang. Ruangan besar dipenuhi layar hologram, meja penuh dokumen, dan papan investigasi. Ini bukan lagi sebuah kafe. Ini adalah jantung organisasi Alphine.

Di tengah ruangan, Dugh Smythe berdiri dengan tangan disilangkan. Sosoknya tampak seperti dinding yang tak bisa ditembus.

"Ren Moriarty," ucapnya, datar.

"Aku ingin bergabung," kata Ren. "Sebagai detektif."

"Tujuanmu?"

Ren mengepalkan tangan. "Aku ingin... membalaskan dendam adik dan orang tuaku."

Dugh mengerutkan kening. Lalu suara gebrakan keras terdengar. Ia memukul meja di sampingnya.

"Keluar," katanya dingin.

Ren terkejut. "Apa?!"

"Detektif yang termotivasi oleh dendam akan mati lebih dulu sebelum menemukan kebenaran. Kau hanya akan menyeret orang lain ke jurang."

Ren menunduk. Giginya bergemeletuk menahan amarah.

Namun...

"Jika kau masih ingin tinggal," lanjut Dugh, "maka buang dendammu. Bekerjalah untuk kebenaran. Bukan balas dendam."

Hening beberapa saat.

Lalu Ren mengangguk. "Baik..."

Tapi dalam hati, ia tahu: dendam itu tak akan pernah mati. Ia hanya akan menyembunyikannya lebih dalam. Dan membuktikan bahwa ia bisa menemukan jawabannya dengan caranya sendiri.

Dugh menoleh ke Ally. "Bawa dia, Suruh dia ukur pakaian dan pilih senjata."

Ally mengangguk. "Ayo."

Ren mengikuti wanita itu melewati lorong sempit ke bagian belakang markas. Di sana terdapat kamar kecil tempat penyimpanan pakaian standar Alphine. Seragam hitam dengan lapisan pelindung tipis, ringan namun tahan pisau.

Ia mengukur tubuhnya sendiri. Tubuh Ren tidak kekar, justru cenderung kurus. Tapi tekad yang tumbuh di dalam dirinya mulai terlihat dari mata yang tak lagi kosong.

Setelah melakukan pengukuran seragam Alphine, Ally membawanya ke ruang senjata.

"Ada berbagai pilihan: pistol, senapan mini, tongkat, atau yang lain. Kau bebas memilih," ucap Ally.

Ren tidak menjawab. Matanya tertuju pada pisau panjang yang terletak di sudut lemari kaca.

"Pisau?" Ally sedikit terkejut. "Dengan tubuhmu yang belum terlatih, senjata jarak jauh lebih aman."

Ren hanya menggeleng. "Aku ingin bertarung dari dekat. Aku ingin melihat wajah mereka... saat aku membunuh mereka."

Ally tak menjawab. Ia hanya mencatat pilihan Ren.

Setelah semua selesai, Ren berjalan keluar dari ruang latihan menuju pintu depan markas-kembali ke kafe.

"Aku pulang," gumamnya pelan pada Ally yang masih berdiri di lorong. Wanita itu hanya menatapnya, tanpa ekspresi.

Ren membuka pintu, lonceng kecil berdenting.

Hujan mulai turun lagi.

Ia pergi tanpa sadar bahwa kehidupannya telah bergeser ke arah yang tak bisa ia putar balik.

Sementara itu, di ruangan utama Alphine...

Dugh masih berdiri dengan tangan menyilang, menatap papan investigasi di dinding.

Ally kembali naik dari bawah.

Namun sebelum sempat berbicara, bayangan di lantai bergerak. Seolah memiliki nyawa sendiri, kegelapan merekah membentuk pusaran.

Noir muncul dari sana.

Tubuhnya tinggi, wajahnya dingin seperti biasanya. Rambut hitamnya menutupi sedikit alis matanya.

Ia berdiri di samping Dugh, diam tanpa suara.

Dugh tidak menoleh. "Kau sudah mendengarnya, bukan?"

Noir mengangguk sekali.

"Si bocah... Ren. Dia menjatuhkan sesuatu di kafe tadi."

Ally membuka telapak tangannya. Kertas kecil yang agak kusut.

"Sepertinya ini undangan," ucapnya, lalu menyerahkannya ke Dugh.

Dugh membaca cepat isi kertas itu:

> "Pukul 19:00. Lokasi akan datang sendiri padamu."

Ia melipat kertas itu dan menyelipkannya ke dalam jas.

"Noir. Ally. Ikuti dia malam ini. Kita tidak tahu apa yang menunggunya di tempat itu."

Noir hanya menunduk tipis. Ia menghilang kembali ke bayangan, seolah menyatu dengan gelapnya lantai.

Pukul 19:00.

Langit mulai gelap, dan udara di sekitar tempat kosong itu dipenuhi ketegangan yang tidak terlihat.

Ren Masuk Ke Dalam Tenda Badut. Ren berdiri dengan canggung bersama beberapa orang lainnya - mereka semua memegang undangan aneh yang diberikan oleh badut misterius siang tadi.

Tak lama...

Lampu sorot menyala. Musik kotak tua berdenting.

Dari balik kabut tipis, muncul sosok mencolok: seorang Badut - wajah putih, bibir merah, senyum lebar.

Ia berdiri di atas panggung kecil yang entah sejak kapan muncul di sana.

Tanpa kata, sang Badut mulai memainkan trik kartu.

Satu per satu, kartu-kartu beterbangan di udara.

Ada 54 kartu biasa, dan 22 kartu tarot.

Ren menatap kosong ke udara, dan tiba-tiba satu kartu tarot jatuh ke tangannya.

Tangannya bergetar.

"The Fool."

Kartu yang sama seperti yang ia dapatkan saat mengukur kekuatan tadi siang.

> "Apakah ini... kebetulan?"

Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, seluruh orang di tempat itu pingsan.

Ren ikut tumbang, tubuhnya jatuh menabrak tanah.

Gelap.

Saat membuka mata, Ren tak melihat apapun.

Hanya putih.

Langit, tanah, udara - semuanya putih.

Tidak ada waktu. Tidak ada tempat. Hanya hampa.

> "Apa ini... neraka?"

Ren berjalan. Tapi tidak tahu ke mana.

Suaranya sendiri pun tidak bergema.

Sementara itu...

Noir dan Ally tiba di lokasi undangan.

Mereka terlambat - atau mungkin tepat waktu - karena semua orang sudah pingsan, dan badut masih berdiri.

Tanpa basa-basi, Noir melempar kartu detektifnya ke tanah.

> "Namaku Noir. Generasi 7.

Jika kau pelakunya, kau akan jatuh di tanganku."

Pertarungan terjadi.

Noir mengeluarkan kemampuan miliknya - Ombre, kemampuan memanipulasi bayangan menjadi pedang.

Bayangan mengalir dari bawah kakinya, membentuk bilah hitam pekat.

Sang Badut melawan, tapi gaya bertarungnya tak teratur, kacau, namun berbahaya.

Noir tetap unggul.

Badut mulai panik... dan akhirnya kabur, melompati atap sambil tertawa nyaring.

Noir hendak mengejar, tapi gagal.

Dan kemudian, mereka berdua sadar...

semua orang yang pingsan mulai menghilang, Lenyap tak bersisa.

Di dunia putih itu, Ren melihat satu per satu tubuh orang-orang lain lenyap seperti abu.

Tangannya mulai dingin.

Nafasnya pendek.

Ketakutan melumpuhkan tubuhnya.

> "Aku tidak boleh mati..."

"Ram... aku belum membalaskanmu."

"Aku belum tahu siapa yang membunuhmu..."

"AKU BELUM SIAP MATI!!"

Ia berteriak sekuat tenaga,

meskipun tidak ada yang mendengarkan.

Tangisan berubah menjadi jeritan.

Jeritan menjadi sumpah.

Sumpah menjadi titik balik.

---

Dan Ren terbangun.

Tubuhnya terbaring di tanah basah.

Di depannya - Noir dan Ally.

Ally menangis saat melihatnya sadar. Tapi ekspresi bahagianya berubah...

Menjadi terkejut.

> "Ren... tangan kirimu...!"

Ren menoleh.

Tangannya..... sudah tiada.

Ia berteriak, kali ini lebih keras daripada sebelumnya.

Tapi bukan karena sakit -

melainkan karena kesadaran bahwa dirinya memang tidak kuat... tidak cukup.

Keesokan harinya.

Ren datang ke Alphine dengan langkah goyah.

Lengan kirinya sudah dibalut kain panjang.

Wajahnya pucat. Tapi matanya... tajam.

Ia berdiri di ruang pelatihan, melihat deretan senjata yang tersedia.

Senapan. Pedang. Belati. Tongkat. Busur.

Semua tersedia.

Dan Ren memilih...

Pisau.

Hening sejenak di ruangan.

> "Pisau?" gumam seorang anggota Alphine.

"Itu senjata jarak dekat. Untuk orang dengan satu tangan, itu bunuh diri."

Tapi Ren tidak menjawab.

Noir tersenyum kecil dari jauh, lalu menyilangkan tangan.

---

Hari itu, mereka menerima misi:

> Menangkap seorang Cursed - seseorang yang telah terinfeksi kutukan misterius.

Mereka menemukannya di sebuah gang sempit.

Cursed itu tubuhnya kurus, matanya putih, dan bergerak seperti orang kerasukan.

Noir menyuruh Ren maju.

Ren mencoba melawan.

Berulang kali.

Tapi kekuatan fisik, reaksi, dan pengalaman Ren jauh dari cukup.

Ia dilempar. Dipukul. Dihantam tembok.

Darah keluar dari hidung dan mulutnya.

Tapi ia terus berdiri.

> "Aku belum bisa mati...

Aku harus jadi lebih kuat...

Aku... harus..."

Saat cursed itu hendak menghabisinya, Noir akhirnya maju.

Bayangan keluar dari kaki Noir, membentuk pedang hitam tajam.

Dalam satu gerakan...

Cursed itu tertebas dan tewas.

---

Ren terduduk di tanah, tubuhnya gemetar.

> "Aku tidak berguna..."

Noir mengulurkan tangan kanannya untuk membantu Ren berdiri.

> "Belum berguna," katanya.

"Tapi kau akan berguna - jika kau tetap bertahan."

Ren menatap tangannya sendiri.

> "Satu tangan pun cukup... asalkan aku tidak berhenti."

Langit tampak muram, seolah tahu bahwa hati Ren sedang runtuh.

Ren duduk sendirian di bangku kayu tua di pojok markas Alphine. Tangannya gemetar, bukan karena luka-tetapi karena rasa malu dan frustrasi yang menumpuk. Pita perban yang membalut luka-lukanya mulai memudar warnanya, seperti semangatnya.

"Kalau saja aku lebih kuat... mungkin Noir tidak perlu menyelamatkanku berkali-kali."

Pikiran itu terus berputar di kepalanya. Matanya menatap kosong ke lantai. Ia benci perasaan itu-bukan karena kalah, tapi karena tidak berdaya.

Langkah kaki mendekat. Sepatu hitam menginjak lantai kayu dengan mantap.

Dugh Smythe.

Dengan jaket panjang khasnya dan tatapan yang tak bisa dibaca, pemimpin divisi itu berdiri di hadapan Ren. Di tangan kirinya, secangkir teh hangat.

"Minum ini. Kau terlihat seperti akan mati karena pikiranmu sendiri, bukan karena luka," ucap Dugh tanpa basa-basi.

Ren hanya menatap cangkir itu sebelum akhirnya menerimanya. Ia diam.

"Terima kasih..."

Suasana hening. Hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar.

Dugh akhirnya duduk di sebelahnya. "Kau merasa gagal?"

Ren mengangguk.

"Bagus," jawab Dugh singkat.

Ren menoleh kaget. "Bagus?"

Dugh menatap ke depan. "Kalau kau tidak merasa gagal, itu berarti kau tidak belajar apa-apa dari kemarin. Tapi, perasaan gagal saja tidak cukup."

Ia melirik ke arah Ren.

"Ren Moriarty. Dunia ini tidak akan memberi belas kasihan hanya karena kau berasal dari Generasi 9. Tak peduli seberapa keras kau mencoba, jika kau tetap seperti ini... kau akan mati."

Kata-kata itu menusuk, tapi entah kenapa, Ren merasa itu perlu. Dugh berdiri.

"Kemampuanmu belum tentu menjanjikan, tapi caramu bertahan hidup, berpikir, dan bertindak-itu yang akan menentukan ceritamu."

Sebelum pergi, Dugh meninggalkan satu dokumen di samping Ren.

Sebuah nama: Cursed Class S. Lokasi terakhir terlihat: Distrik 13. Kode: 'The Trickster'.

---

Malam Harinya

Ren kembali ke kamarnya. Noir sudah tertidur di kasur sebelah. Nafasnya tenang, seperti seseorang yang tidak pernah ragu.

Ren berdiri di depan cermin. Menatap dirinya sendiri.

"Kenapa aku tetap bertahan? Aku bahkan tidak bisa menyentuh Cursed kemarin... Tapi tetap saja aku hidup."

Ia terdiam. Dan dalam sekejap, entah kenapa... sebuah suara lirih terdengar di benaknya.

> "Kau hidup bukan karena keberuntungan, Ren. Tapi karena cerita ini belum selesai."

Ren memutar tubuhnya. Tidak ada siapa-siapa.

Ia menatap ke luar jendela, menatap langit malam yang penuh bintang.

"Kalau cerita ini belum selesai... maka aku akan menulis sisanya dengan tanganku sendiri."

Ren meremas kartu tarot lusuh yang selalu ia bawa: The Fool.

"Aku akan membuktikan... bahwa bahkan seorang bodoh pun bisa menantang dunia."

---

Keesokan Harinya

Ren mendatangi Noir dengan wajah baru: penuh tekad, meski luka-lukanya belum sepenuhnya sembuh.

"Aku ingin ikut misi selanjutnya," ujar Ren mantap.

Noir menatapnya. "Kau yakin? Yang kemarin hampir membunuhmu."

"Aku yakin. Karena kalau aku tidak terus mencoba, maka aku akan tetap seperti kemarin-lemah dan bergantung."

Noir diam sejenak... lalu tersenyum tipis.

"Baiklah, Bodoh. Tapi kalau kau mati kali ini, jangan minta aku menangis."