BAB 3 : Withered Shadow And The Fall

Bab 3 - Withered Shadow And The Fall

Udara di Distrik 13 malam itu terasa berat.

Ren dan Noir melangkah hati-hati menyusuri lorong-lorong bekas pemukiman, tempat terjadinya kejadian aneh yang menelan warga tanpa jejak. Misi mereka jelas: mencari keberadaan Cursed yang dikenal sebagai The Trickster.

Namun, yang mereka temukan jauh lebih familiar… dan jauh lebih berbahaya.

> “Kalian masih ingat aku, ya?”

Suara itu menggema dari balik bayangan.

Dari kegelapan, muncul sosok badut berwajah rusak. Cat mukanya mengelupas, matanya membelalak dengan senyuman miring, dan tubuhnya gemetar seolah menahan tawa.

Ren terdiam. Matanya melebar.

“Kau…”

Noir mencabut senjatanya.

“Kau badut yang kabur saat pertarungan sebelumnya.”

Senyuman itu melebar. “Hehehe… Kalian pikir aku lari karena takut?”

Clown menyentuh wajahnya, lalu mencakar catnya sendiri hingga berdarah. “Aku lari… karena aku tertawa. Aku melihat sesuatu yang luar biasa waktu itu… kematian."

Badut Tersebut Terus Berbicara “Cursed yang dibunuh Noir… dia bukan pahlawan. Dia adalah jalan bagiku untuk menyadari jati diriku.”

Ren menegang. “Apa maksudmu?”

Badut itu tertawa seperti orang gila. “Aku tidak lagi pengecut yang lari. Aku tidak lagi sekadar figuran. Aku adalah The Clown, Generasi Ke-8. Aku adalah mimpi burukmu yang tertunda.”

Noir menatap Ren tajam. “Dengar baik-baik. Dia bukan musuh sembarangan. Dia adalah Cursed yang terlahir dari obsesi. Dan sekarang dia bukan lagi Cursed biasa. Dia berkembang… karena trauma dan kegagalan kita sendiri.”

Clown membuka lengannya lebar.

"Kalian memberiku kesempatan kedua untuk hidup, dengan menunjukkan apa yang terjadi kalau seseorang menyaksikan kematian dari terlalu dekat."

"Kematian yang terlalu indah... terlalu lucu... HAHAHAHA!!"

Lalu tanah bergetar. Bangunan-bangunan di sekitar mereka mulai berubah—menciptakan sirkus gelap dengan cermin, tawa, dan suara gendang rusak. Mereka kini berada di panggung The Clown.

Ren merasa dunianya berputar. Dalam pantulan cermin, ia melihat dirinya gagal menyelamatkan Ram. Melihat Noir mati. Melihat dirinya tertawa.

“Selamat datang, Ren. Di panggung ini, semuanya berakhir dengan lelucon… termasuk harapan.”

Tawa itu terdengar lagi.

Ren berdiri di tengah reruntuhan bangunan tua, dengan hanya satu pisau di genggamannya.

Tangannya gemetar. Keringat menetes deras. Napasnya memburu. Tapi matanya tidak lagi penuh keraguan.

Di sisi lain, Noir menatap lurus ke depan. Wajahnya berdarah, tapi tatapannya masih tenang. Seperti biasa.

Di hadapan mereka: The Clown, tubuh bengkok dengan wajah rusak, berdiri sambil tertawa pelan.

> “Dua manusia biasa... melawanku?”

“Apa kalian pikir ini pahlawan vs penjahat?”

Ren menggeretakkan gigi. “Aku cuma pengen kamu diem.”

Noir mengangguk. “Bersama. Sekarang.”

Pertarungan dimulai.

Clown mengayunkan lengannya yang memanjang seperti cambuk. Noir bergerak cepat menahan serangan itu dengan pelindung spiritualnya. Ren menyusup dari sisi lain, menyerang dengan pisaunya — tapi serangan itu ditangkis dengan mudah.

Terlalu cepat. Terlalu kuat.

Ren terdorong ke belakang, jatuh terguling. Pisau itu terlempar dari tangannya, nyaris jatuh ke dalam jurang puing.

Tanpa senjata. Tanpa kekuatan.

Clown berjalan mendekat sambil tertawa.

> “Jadi ini manusia yang mencoba melawan takdir? Kau tidak punya apa-apa.”

Ren merangkak. Napasnya pendek.

Tapi… di sela puing di belakangnya, ia melihat sesuatu yang tertancap.

Berkarat. Berat. Tapi masih utuh.

Sebuah kapak tua.

Tangannya bergerak. Ia mencabutnya perlahan. Pegangannya kasar. Tapi terasa nyata.

Clown makin dekat.

“Pikir kapak itu bisa menyelamatkanmu?”

Ren berdiri. Lututnya gemetar. Tapi ia menatap langsung ke mata si Badut.

“Bukan soal menyelamatkan. Tapi aku…”

Noir kembali di sisinya, berdarah tapi berdiri.

“…nggak mau mati hari ini.”

Clown berteriak dan menyerang.

Noir menahan dengan tubuhnya.

Ren maju. Mengayunkan kapak.

Darah muncrat.

Tawa berhenti.

Kapak menancap tepat di kepala Clown.

Senyuman di wajah si badut perlahan menghilang. Tubuhnya terguncang… lalu runtuh perlahan.

Sunyi.

Ren berdiri sambil memegangi kapak itu. Nafasnya masih memburu.

Tangannya masih bergetar.

“Aku... benar-benar membunuhnya...”

Noir duduk di puing, tersenyum kecil.

“Dengan senjata seadanya. Sama seperti kita.”

Ren menatap tangannya. Pisau kecilnya… kapaknya… dan rasa sakit yang tak bisa dihapus begitu saja.

Tapi di balik semua itu—

Dia masih hidup.

Malam itu sunyi.

Setelah Clown dikalahkan, dunia tampak… tenang. Terlalu tenang.

Ren duduk bersandar di tembok reruntuhan, tubuhnya penuh luka. Di tangannya, kapak yang sudah tidak lagi ia genggam dengan marah… tapi dengan beban.

Noir duduk di sebelahnya.

Ia tersenyum, meski wajahnya memar dan napasnya berat.

“Kerja bagus tadi.”

Ren menunduk. “…Aku hanya beruntung.”

“Bukan soal keberuntungan,” jawab Noir. “Kau hidup karena kau memilih untuk tidak menyerah.”

Ren diam lama.

“Noir…”

“Apa kau pernah takut mati?”

Noir tidak langsung menjawab.

“…Setiap kali.”

Ren menatapnya, terkejut.

Noir tersenyum samar. “Aku hanya belajar menyembunyikannya.”

Tapi sebelum Ren sempat menjawab…

Udara tiba-tiba berhenti.

Tidak ada angin. Tidak ada suara.

Waktu seperti membeku. Burung-burung diam di langit. Puing-puing berhenti jatuh.

Ren tidak bisa bernapas.

Di depan mereka…

Seseorang muncul.

Tidak melangkah. Tidak turun. Tidak muncul dari kabut. Tapi tiba-tiba ada.

Seolah dia memang sudah di sana sejak awal—hanya saja baru disadari sekarang.

Wajahnya tertutup. Tidak ada identitas. Tidak ada aura.

Tapi Ren merasakannya.

Kehadiran yang bahkan lebih mengerikan dari kematian.

Noir berdiri perlahan. Tangannya mengangkat pedangnya.

“…Siapa kau?”

Sosok itu tidak menjawab.

Tapi kemudian—jari telunjuknya terangkat.

Seketika... dada Noir hancur.

Tanpa suara. Tanpa ledakan. Tanpa peringatan.

Ren membeku.

Tubuh Noir jatuh… seperti pohon yang ditebang.

“…Noir?”

Darah menggenang.

Mata Noir perlahan menutup, tapi sebelum sepenuhnya hilang, dia menoleh sedikit—menatap Ren.

> “Jangan mati... sebelum tahu alasannya.”

Lalu diam.

Ren tidak bisa bergerak.

Sosok itu menatapnya. Tanpa wajah. Tanpa bentuk. Tapi Ren tahu...

Sosok Itu Berkata "Kau bisa memanggilku sebagai Anonymous"

Tapi ia tidak membunuh Ren.

Ia hanya membisikkan sesuatu.

> “Kau masih belum siap, Ren Moriarty.”

Lalu...

hilang.

Tubuh Noir tergeletak diam.

Darah mengalir perlahan dari Dadanya Yang Hancur.

Ren berlutut di samping sahabatnya itu, tubuh gemetar, napas tercekik oleh kenyataan.

> “Noir...”

Tak ada jawaban.

Hanya keheningan… dan angin malam yang terasa lebih menusuk dibanding sebelumnya.

Air mata Ren jatuh.

Tapi bukan air mata yang lepas.

Melainkan tertahan, menggumpal dalam dada, seperti bom waktu yang tak bisa meledak.

> “Kau... selalu menolongku.

Kau yang melindungiku saat aku tak bisa berdiri.

Dan sekarang... kau mati karenaku.”

Ren mengepalkan tangan.

Lalu perlahan, ia berdiri.

---

Langkah pelan membawanya pada sesuatu di tanah —

kartu-kartu milik si Badut. Puluhan, lusinan.

Kartu tarot. Kartu permainan. Kartu terkutuk.

Ren menatapnya sejenak.

Lalu memungut semuanya.

Tak jauh dari sana…

topi detektifnya sendiri.

Basah oleh lumpur, sobek di sisi kanan. Tapi tetap miliknya.

Ren memungut topi itu dengan tangan satu-satunya.

Menatapnya.

Lalu mendongak ke langit gelap.

Dan…

Kartu-kartu itu ia menyebarkan ke langit.

Kartu-kartu itu terbang ke udara, menari di langit malam seperti hujan dari dunia lain.

HUJAN KARTU.

Kartu menari seperti pertunjukan. Tapi tak ada penonton.

Hanya Ren… dan tubuh Noir yang terbujur kaku.

---

Ren kemudian mengenakan topi detektif itu perlahan…

...dan mulai berjalan maju.

Langkahnya berat. Tapi setiap langkah adalah keputusan.

Ren Moriarty tidak lagi sama.

Dan dunia belum tahu apa yang baru saja terlahir di malam kelam itu.

---

Beberapa jam kemudian…

Langkah kaki tergesa-gesa mendekat.

Dugh dan Ally tiba di tempat kejadian.

Tubuh Noir ditemukan.

Kartu berserakan di mana-mana.

Tak ada jejak Ren.

Ally memalingkan wajah, menahan tangis.

Donn berlutut di samping tubuh Noir, tangan gemetar.

> “Kau... bodoh…” gumamnya.

“Kau bahkan belum sempat hidup dengan tenang.”

Ally menjatuhkan air mata. Dugh menunduk dalam diam.

---

Scene beralih ke pemakaman.

Dugh dan Ally berdiri di depan nisan Noir.

Payung hitam di tangan Ally.

Hujan masih turun kecil-kecil.

Tak ada kata-kata.

Tangisan sudah jatuh.

Tapi rasa kehilangan tetap menggantung di dada.

---

Beberapa jam kemudian…

Dugh dan Ally berjalan pulang ke kafe Alphine.

Malam telah larut, dan jalanan kota sunyi.

Di sebuah tikungan…

mereka melihat sosok badut.

Berdiri membelakangi cahaya lampu jalan.

Topi tinggi. Jas panjang.

Badut itu tampak asing… dan sekaligus familiar.

Dugh melangkah maju.

“Permisi… kita pernah bertemu sebelumnya?”

Badut itu menoleh sedikit.

Senyum tipis menghiasi wajahnya, meski tak ada kebahagiaan di sana.

> “Mungkin itu hanya perasaanmu saja,” jawabnya ringan.

Dugh dan Ally saling pandang, lalu berjalan menjauh perlahan.

Tapi setelah beberapa langkah…

suara si badut terdengar lagi:

> “Aku adalah The Clown...”

“Ren Moriarty.”

Dugh langsung berhenti. Matanya membelalak.

Ally menoleh cepat. Tapi…

badut itu sudah tak ada.

Sebuah kartu tarot terjatuh : The Fool. Kartu milik Ren Moriarty."

Dugh dan Ally akhirnya berjalan dan sampai di Alphine.

> Dugh menatap hujan yang membasahi bumi, lalu berucap pelan,

"Ally, apa kau tahu... untuk apa sebenarnya Alphine dibentuk?"

Ally menggeleng. "Maaf Kapten, aku tidak tahu."

Dugh tersenyum samar.

"Tujuan dibentuknya Alphine

adalah—"