WebNovelExoterra20.00%

Prolog

Aku masih ingat suara itu.

Denting logam yang bergema dari jauh, seperti suara rantai yang dipukul palu, memantul di dalam tubuh kapal kami yang raksasa. Suara itu menyelinap masuk ke telinga, lalu menancap di dada, membuat jantungku berdegup semakin cepat.

“Ada apa lagi ini…?” gumamku, hampir tak terdengar di tengah hiruk pikuk ruang mesin.

Tanganku masih memegang kunci pas yang tadi kugunakan untuk mengencangkan pipa pendingin. Aku seorang teknisi biasa, bukan perwira, bukan ilmuwan hebat. Tugasku cukup sederhana—menjaga agar kapal komersial Hesperia ini tetap berjalan mulus sampai tiba di Planet Axis. Tapi saat lampu peringatan berwarna merah mulai berkedip, tak ada lagi yang terasa sederhana.

“Apa statusnya?” teriak seseorang di belakangku.

Aku tak mengenalnya dengan baik—hanya seorang teknisi shift malam yang tiba-tiba muncul saat kabar kerusakan menyebar ke seluruh dek.

“Pendingin kedua overload! Sistem utama tidak merespons!” Aku sendiri kaget mendengar suaraku yang nyaring, terdengar panik. Padahal aku tahu saat ini, panik tak mampu menolong siapa pun.

Kapal bergetar keras. Suara deru mesin berubah menjadi erangan rendah yang membuat telinga berdenging. Aku merasakan gravitasi buatan kacau—lututku nyaris tak kuat menahan tubuh saat dek bergoyang seperti gelombang.

Tenang, Leon. Tenang... Berpikirlah.

Aku memaksa diriku menarik napas panjang. Tanganku bergerak otomatis, membuka panel samping, mencari jalur cadangan. Sementara itu, sirene panjang meraung, tanda seluruh kru sudah tahu: ini bukanlah sebuah kerusakan kecil.

“Semua penumpang harap tetap di kursi!” suara kapten bergema di seluruh kapal melalui interkom. Tapi aku tahu, di lorong-lorong jauh sana orang-orang sudah mulai berteriak, mencari cara menyelamatkan diri.

Aku menelan ludah. Bau ozon memenuhi ruang mesin, tanda ada kebocoran energi di suatu tempat. Monitor di hadapanku menampilkan data yang berloncatan: tekanan menurun, gravitasi eksternal meningkat. Aku mengerjapkan mata. Itu berarti satu hal—kita sudah terlalu dekat dengan sebuah planet.

“Apa mereka mau pendaratan darurat?” tanyaku pada diriku sendiri. Tak ada yang menjawab.

Getaran mendadak membuatku terpental. Aku menghantam dinding, kunci pas terlempar, berbunyi klang dan menghilang entah ke mana. Mataku terpaku pada jendela kecil di sisi ruang mesin—bayangan planet besar mulai terlihat, selubung gas kehijauan yang memantulkan cahaya bintang. Aku tak mengenali planet itu. Itu bukan Axis. Bukan salah satu jalur komersial yang kutahu.

Tidak… tidak… ini bukan rute yang seharusnya.

Seseorang menarik lenganku. “Leon! Safepod! Kita harus keluar!”

Aku mengenalnya samar—salah satu teknisi senior. Wajahnya penuh keringat, matanya liar. Di belakangnya, lorong sudah miring. Lampu-lampu padam satu per satu.

Aku menatapnya, ingin bertanya, bagaimana dengan penumpang lain? Tapi bibirku kelu. Bukan karena tak peduli… tapi karena aku tahu aku tak bisa menolong siapa pun kalau aku mati di sini.

Kami berlari. Suara dentuman mengiringi langkah kami, seperti ada raksasa memukul lambung kapal dari luar. Dinding logam retak, serpihan melayang. Aku terpeleset, menahan diri di rel pegangan. Tubuhku menggigil, otakku hanya berfokus pada satu hal: selamatkan diri.

Lorong menuju dek penyelamat sempit dan gelap. Asap memenuhi udara. Nafasku serak, paru-paru terbakar. Di kejauhan, aku mendengar teriakan orang-orang lain, tetapi suara itu ditelan oleh gemuruh mesin yang kolaps.

Safepod. Satu-satunya harapan.

Aku memaksa tubuhku memanjat masuk ke salah satu safepod yang pintunya sudah terbuka. Sistemnya masih aktif, lampu hijau berpendar. Tanganku gemetar ketika mengunci harness di dada. Jantungku seperti palu, memukul terus menerus, membuat telinga berdesir.

“Leon! Cepat!” suara teknisi senior itu kembali. Dia mencoba masuk ke safepod lain, tapi pintunya macet. Aku ingin membantunya, tapi podku sudah bergetar. Sistem otomatis mulai menghitung mundur.

Tiga… dua… satu…

Dunia mendadak menjadi cahaya putih menyilaukan.

Pod meluncur. Suara gemuruh berubah menjadi pekikan atmosfer yang disayat-sayat logam. Aku menjerit tanpa suara. Melalui jendela sempit, aku melihat tubuh kapal Hesperia—rumah terapungku, tempat aku bekerja selama tiga tahun—terseret gravitasi planet asing itu, retak, lalu meledak menjadi hujan api.

Dan aku… hanya bisa terlempar menjauh, sendirian, mengambang dalam kapsul logam kecil, sambil mendengar isak tangisku sendiri.

Planet itu makin dekat. Selubung gas kehijauan berputar, daratan tak berbentuk di bawah sana menanti seperti mulut raksasa. Aku menutup mata, mencoba bernapas tenang.

Bertahan hidup, Leon… apa pun yang terjadi… bertahanlah