WebNovelExoterra40.00%

1. Pendaratan

Hening.

Hanya dengung listrik halus yang terdengar, bercampur suara desisan samar dari pipa oksigen di sudut kabin sempit itu. Leon West sedikit mengerang saat membuka matanya perlahan.

Cahaya redup kebiruan dari panel kontrol memenuhi ruangan berbentuk oval, membuat bayangan kursinya memanjang di lantai logam. Rasa perih di pelipis kirinya mengingatkannya bahwa ia masih hidup—dan bahwa perjalanan terakhirnya bukan mimpi buruk belaka.

Ia tetap berbaring sejenak di kursi sempit safepod itu. Dadanya naik turun cepat, tubuhnya terasa lesu dan kaku seperti baru saja diperas dari dunia lain. Suara sistem safepod terdengar tenang, datar, namun menusuk sunyi itu:

> "Kondisi atmosfer eksternal tidak mendukung pernapasan manusia. Tetap di dalam kapsul atau gunakan filter."

Leon memejamkan mata lagi, mencoba mengatur napas. Jantungnya masih berdegup terlalu cepat, dan di ingatannya masih terngiang suara ledakan kapal induk yang jatuh ke atmosfer. Ia memegang sisi kursi, merasakan logam dingin di telapak tangannya. Panik menggeliat di dada, tetapi logikanya memaksanya untuk berpikir secara rasional.

'Sudah... berapa lama aku tidak sadarkan diri? Abaikan itu! Aku harus mencaritahu apa yang kumiliki sekarang.'

Tangannya gemetar saat membuka kunci sabuk pengaman. Kursi itu berderit ringan ketika ia mendorong dirinya yang lesu berdiri. Pandangannya menyapu ruangan berbentuk silinder itu: panjang kira‑kira empat meter, diameter dua meter, cukup untuk dua orang duduk saling berhadapan. Dindingnya dilapisi panel hitam dengan garis tipis bercahaya biru—sisa teknologi kapal induk yang sekarang entah sudah hancur atau tercerai-berai.

Bagian depan pod dilengkapi konsol navigasi mini. Layar datarnya memancarkan simbol-simbol: status energi, suplai oksigen, dan sebuah peta statis yang hanya menampilkan koordinat lokal. Di bawah layar, tuas manual untuk membuka pintu darurat tampak sedikit bengkok, bekas guncangan keras saat mendarat.

Di bagian belakang, terdapat deretan kompartemen kecil dengan label putih: Food, Tools, Med, Power. Leon merangkak pelan, membuka satu demi satu.

Kotak pertama berisi makanan kering berkemasan tipis, air suling dalam botol bening, dan beberapa tablet elektrolit.

Kotak kedua berisi alat-alat teknis—obeng, kunci pas, solder portabel, kabel, bahkan printer 3D ukuran tangan dengan kartrid bahan mentah.

Kotak ketiga berisi peralatan medis sederhana, sebuah suntik otomatis dengan indikator digital, perban, antiseptik.

Kotak keempat berisii modul panel surya lipat, baterai cadangan, dan sebuah tas kecil berisi tabung oksigen.

Leon menghela napas lega melihatnya, meski napas itu goyah. Setidaknya, ia tidak benar-benar telanjang di tengah dunia asing ini. Sambil mengusap pelipisnya yang masih basah darah kering, ia memperhatikan satu kotak lain yang berbeda dari yang lain—hitam pekat, dengan lambang keamanan dan tulisan samar SURVIVAL TIER-1.

Tangannya ragu-ragu. Ia membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, tertata sebuah gelang logam tipis berwarna hitam matte, permukaannya halus seperti kaca, dan sebuah lampu kecil di sisinya berpendar pelan. Begitu ia mengangkatnya, gelang itu mengeluarkan bunyi klik ringan lalu memunculkan garis cahaya biru yang mengitari tepinya.

Layar pod menampilkan pesan:

> “Perlengkapan survival terdeteksi. Harap kenakan untuk integrasi.”

Leon menelan ludah. Dengan gerakan kaku, ia menyelipkan gelang itu ke pergelangan kirinya. Begitu menempel, gelang itu mengencang otomatis, dan seketika sebuah suara netral terdengar dari speaker helm pod—lebih jernih dan… pribadi.

> “Selamat datang, Leon West. Sistem survival aktif. Lifeband S-3 siap digunakan.”

Leon membeku. Matanya terbelalak menatap gelang yang kini memancarkan cahaya biru lembut di pergelangannya. Ia menelan ludah lagi, lalu berbisik, suaranya serak:

“Jadi… kau akan menemaniku dari sekarang?”

> “Konfirmasi. Saya adalah asisten survival Anda. Status vital: stabil. Oksigen dalam baju luar angkasa: 89%. Suhu internal: normal.”

Suara itu datar, tapi entah kenapa memberi secercah ketenangan di dalam dada Leon. Setidaknya, ia tak lagi sepenuhnya sendiri.

Ia menghela napas panjang, lalu melirik pintu pod. Panelnya retak, lampu indikator merah berkedip pelan. Ia mencoba menekan tombol buka-tutup, tapi tak ada respons selain bunyi klik mati. Leon meraba-raba bagian bawah, menemukan tuas manual. Ditariknya sekali, pintu bergeser sedikit lalu macet. Suara dentingan logam dari luar membuat Leon menahan napas.

> “Pintu safepod mengalami kerusakan. Sarankan penggunaan alat reparasi.”

Suara gelang itu kembali tenang, seperti guru yang memberi instruksi. Leon memelototi pintu itu, tangannya sudah bergerak membuka kotak alat.

Ia mengeluarkan obeng besar, mengungkit panel, dan menemukan roda tuas cadangan di baliknya. Dengan napas berat dan tangan gemetar, ia memutar roda itu perlahan.

Gesekan logam bersuara nyaring, pintu bergeser sedikit lebih lebar, lalu berhenti lagi. Leon memutar lebih keras, otot lengannya menegang, pelipisnya berdenyut. Akhirnya pintu terbuka penuh dengan desisan keras, gas luar yang dingin menyeruak masuk.

Visor helmnya segera mengabur, sistem filter berbunyi pelan. Udara di luar bukan untuk paru-paru manusia. Ia menarik napas dalam melalui tabung oksigen dan menunduk melewati pintu.

Permukaan planet itu menyambutnya dengan warna yang memukau sekaligus asing. Batuan luas terbentang sejauh mata memandang—permukaan hijau gelap, seperti batu zamrud kusam, dengan guratan dan retakan alami yang memantulkan cahaya redup. Di sela retakan, kilatan biru samar dari akar-akar tumbuhan menyala seperti serabut listrik yang menyebar di tanah. Gas tipis melayang di permukaan, berwarna kehijauan pucat, bergerak pelan seolah hidup.

Flora yang tumbuh di sekitarnya tampak jauh lebih berwarna daripada yang pernah dilihat Leon. Ada batang-batang ramping berwarna biru cerah yang berkilau seperti serat optik, melengkung ke atas lalu bercabang menjadi daun pipih berpendar samar. Ada juga semacam kantung transparan yang memantulkan cahaya ungu-biru, seolah diisi cairan berkilau. Di kejauhan, pohon rendah dengan kulit hijau lumut memanjang, di antara cabang-cabangnya tumbuh bunga biru tua berbentuk spiral.

Leon melangkah hati-hati, setiap pijakan di batu hijau itu mengeluarkan bunyi gema aneh, seperti memukul gong kecil di bawah tanah. Ia berjongkok, menyentuh permukaan dengan sarung tangan. Dingin, sedikit lembap, dan bergetar halus, seolah ada denyut kehidupan yang mengalir di bawahnya.

> “Atmosfer eksternal: stabil namun beracun. Saran: jangan berada di luar lebih dari dua jam tanpa kembali ke kapsul.”

Leon mengangguk pelan, meski tak ada yang melihatnya. Ia menatap gelang di pergelangannya. Cahaya biru memproyeksikan hologram kecil: peta radius sekitar pod, titik-titik samar yang bergerak perlahan—mungkin tumbuhan, mungkin sesuatu yang lain.

Perhatiannya tertarik pada sebuah tanaman kantung besar berwarna biru kehijauan dengan serabut perak yang bergoyang pelan. Ia menyentuhnya dengan tongkat pemindai. Kantung itu langsung menutup cepat, memercikkan cairan berkilau biru yang mendesis saat jatuh ke batuan hijau, menghasilkan asap tipis yang menghilang di kabut.

Leon terlonjak mundur, napasnya memburu.

“Jangan… disentuh lagi…,” gumamnya pelan.

> “Catatan: flora lokal bereaksi agresif terhadap sentuhan. Disarankan menjaga jarak minimal dua meter.”

Ia mengatur napasnya lagi, matanya terus bergerak waspada ke sekitar. Planet ini terasa seperti makhluk hidup yang memandangnya balik. Perlahan, ia melangkah kembali ke pod. Pintu pod menutup di belakangnya dengan desisan halus, memutus suara luar yang aneh itu.

Ia duduk di kursi sempit, melepas helm, menarik napas panjang dari udara oksigen dalam pod. Tangannya meraba gelang di pergelangan. Cahaya biru itu masih berdenyut lembut, seperti detak jantung kedua.

> “Vital Anda stabil. Tidak ada sinyal kehidupan manusia lain terdeteksi.”

Leon menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya.

“Satu-satunya sinyal manusia… cuma aku?” bisiknya.

Beberapa detik sunyi.

> “Konfirmasi.”

Leon menatap pintu pod yang kini tertutup rapat. Di luar sana, permukaan hijau dan flora biru itu seakan berdenyut pelan, menunggu.