DARAH BULAN DI PULAU DRA’VETHA
Pagi itu, kabut tipis menyelimuti Pulau Dra’vetha, seolah membelai lembut rumah bangsawan bergaya gothic yang berdiri anggun di sisi selatan pulau. Rumah itu tak seperti rumah biasa—atapnya menjulang runcing seperti taring kelelawar, jendela-jendelanya tinggi melengkung dengan kaca patri berwarna darah dan zamrud.
Di halaman depan, padang bunga hitam dan merah bermekaran liar, membentuk lingkaran alami mengelilingi sebuah air mancur aneh: patung bulan sabit merah yang menopang seekor kelelawar besar berwarna hitam, sayapnya membentang menghadap langit. Air mancur itu tidak memancurkan air biasa, melainkan cairan bening kehijauan yang bersinar samar saat terkena cahaya pagi.
Sementara itu, di halaman belakang rumah, dua sosok terlihat tengah berlatih di tanah lapang yang dikelilingi oleh pagar batu kelam dan tanaman merambat.
"Langkahkan kaki kirimu lebih ringan, Ishvara. Kamu menyerang seperti prajurit, bukan seperti penari," kata Zadran, pendekar dari Divisi Raka Lelana, suaranya malas namun penuh ketepatan. Meski posturnya tampak ogah-ogahan, setiap gerakannya menunjukkan pengalaman bertahun-tahun di medan pertempuran.
Ishvara, gadis kecil berusia delapan tahun, menarik nafas dalam-dalam dan mengayunkan pedangnya, Mahacandra, dengan gerakan tajam namun elegan. Rambut hitamnya berayun mengikuti gerakan tubuhnya, pita hijau di sisi kepalanya berkibar tertiup angin.
"Aku bukan penari, Paman Zadran," ucap Ishvara dengan nada judes. "Aku calon pendekar bangsawan."
Zadran terkekeh. "Tapi pendekar juga butuh ritme. Pedangmu indah, tapi kalau kau kaku seperti batu, kau akan kalah dari anak petani yang tahu cara menari sambil menikam."
Ishvara mendengus, lalu menebas ke samping. Tanah di depan Zadran terbelah ringan oleh gelombang energi merah. Sekilas terlihat aura darah menyelimuti pedangnya.
"Hei! Jangan sembarangan pakai itu, nanti tanamannya mati semua," keluh Zadran sambil mundur selangkah. "Kamu tahu berapa lama aku rawat tanaman di sini?"
"Tanaman? Bukankah itu tumbuh sendiri?" tanya Ishvara, mengangkat alis. "Kau bahkan tidak menyiramnya."
“Detail tidak penting,” balas Zadran, tersenyum malas.
Dari jauh, di beranda lantai atas rumah, Lutfayana Dra'vetha, ibu Ishvara, memandang ke bawah dengan mata merah bercahaya. Rambut peraknya yang berkilau keunguan tergerai lembut di bahunya, dan gaun bangsawan Dra’vetha yang membungkus tubuh rampingnya melambai tertiup angin laut.
"Aku melihatnya… gerakanmu sudah mulai meniru langkahku saat seusiamu,” gumam Lutfayana lirih, senyum tipis muncul di bibirnya. “Darah Kalathraya memang mengalir deras dalam tubuhnya.”
Lalu, suaranya mengalun lembut dari atas, namun tetap tegas.
“Ishvara! Cukup untuk pagi ini. Saatnya makan siang. Jangan buat Ibu turun dan menyeretmu ke dalam.”
Ishvara menghela napas. Ia menoleh pada Zadran. “Tugasnya Ibu cuma satu: mengganggu latihan paling seru.”
Zadran tertawa ringan. “Ibumu bisa mengiris tubuh monster dengan lirikan mata, Nak. Anggap saja ini penyelamatan.”
Gadis kecil itu menyarungkan Mahacandra, membersihkan peluh di wajahnya dengan lengan baju, lalu berlari kecil ke arah pancuran bambu di sisi halaman. Ia mencuci tangan dan wajahnya, air dingin membuat pipinya yang pucat memerah.
Saat ia masuk ke ruang makan utama, para pelayan dengan pakaian pelayan Dra'vetha segera menyambut. Meja makan panjang sudah disiapkan. Di atasnya, disajikan hidangan laut khas Mandalagiri—sup kerang merah, sate cumi berbumbu rempah darah, dan salad rumput laut segar.
Ishvara duduk anggun, meskipun dengan ekspresi sedikit masam. Seorang pelayan menuangkan teh herbal panas ke cangkir kecil di hadapannya.
"Kalau saja aku bisa makan sambil berlatih…" gumamnya pelan.
Di luar rumah, angin berembus lembut. Kamera imajinasi perlahan menjauh dari jendela ruang makan, melintasi taman belakang, melewati halaman depan dengan patung bulan sabit, hingga tiba di tepi pantai selatan Pulau Dra'vetha. Ombak bergulung lembut, memantulkan cahaya matahari yang memancar dari langit biru keemasan.
Burung laut melintas rendah, dan di kejauhan, seolah mengisyaratkan takdir yang akan datang, bayangan naga samar terlihat melintas cepat di antara awan.
JEMBATAN MENUJU DUNIA BARU
Setelah menyantap makan siangnya dengan lahap, Ishvara mengelap mulutnya dengan saputangan bersulam motif bulan sabit. Baru saja ia hendak beranjak, suara ibunya terdengar lembut namun tak bisa ditawar.
“Ishvara, mandi sekarang. Ibu tak ingin kau mengelilingi kota pelabuhan dengan tubuh berpeluh seperti pendekar jalanan.”
Ishvara meringis kecil. “Tapi Ibu… ini cuma pelabuhan, bukan perjamuan istana.”
“Justru karena itu,” sahut Lutfayana, bangkit dengan anggun. Rambut peraknya berkilau saat terkena cahaya yang masuk dari jendela. “Rakyat kecil lebih cepat menilai dari penampilan. Bangsawan harus terlihat seperti bangsawan. Sekarang naik, ganti pakaian terbaikmu. Kita akan membeli perlengkapanmu untuk Akademi bulan depan.”
Wajah Ishvara langsung berubah serius. “Akademi…” gumamnya. Senyum muncul di wajahnya. “Baik, Ibu!”
Ishvara segera menaiki tangga spiral menuju lantai dua. Lorong menuju kamarnya dihiasi lukisan leluhur Dra’vetha dan patung-patung batu berwajah tenang. Di dalam kamar, ia mandi di pancuran air bunga merah, lalu mengenakan gaun bangsawan hijau tua beraksen emas. Pita di rambutnya ia rapikan sendiri—tetap hijau, tetap ikonik.
Sementara itu di lantai bawah…
“Zadran,” panggil Lutfayana.
Pemuda itu muncul dari arah halaman belakang, menyampirkan mantel hijaunya ke bahu. “Saya dengar, Nyonya.”
“Siapkan kereta. Kita akan ke Adiyaksa siang ini.”
Zadran mengangguk. “Tentu. Kereta akan siap dalam sepuluh menit.” Ia kemudian melirik ke dalam rumah. “Perlu pengawalan ganda?”
“Panggil Velyra. Hari ini terlalu ramai untuk hanya bergantung pada anginmu.”
Seolah tahu ia dipanggil, Velyra muncul dari ruang dalam dengan langkah tenang. Rambut hitamnya menjuntai seperti malam, mata ungu redup menatap Lutfayana.
“Saya sudah mendengar,” kata Velyra, suaranya seperti bisikan mantra. “Saya akan menyertai kalian.”
Zadran menoleh singkat. “Berarti aku harus berperilaku lebih sopan hari ini.”
Velyra hanya mengerling tanpa bicara.
Tak lama kemudian, Ishvara turun dari tangga. Setiap langkahnya ringan dan anggun, namun masih terlihat jejak sifat tegas dalam tatapannya. Gaun bangsawan membalut tubuh kecilnya sempurna.
“Ibu, aku siap.”
Lutfayana tersenyum, lalu mengangguk. “Mari kita berangkat.”
Di halaman depan, kereta kencana berwarna hitam keperakan telah menunggu. Bentuknya elegan dengan ukiran bulan sabit dan garis-garis akar berdarah seperti motif khas Dra'vetha. Di atas bangku kusir duduk seorang pria tua berwajah keras namun ramah, kulitnya kecoklatan khas pesisir Adiyaksa.
“Kusir Baman sudah siap sejak pagi, Nyonya,” sapa Zadran, membuka pintu kereta.
Lutfayana dan Ishvara naik lebih dulu, disusul oleh Velyra dan Zadran yang duduk di sisi luar. Dengan hentakan ringan, roda kereta mulai bergerak melintasi jalan batu, melewati pepohonan tua, menuju jembatan batu besar yang menghubungkan Pulau Dra'vetha dengan daratan utama.
Angin laut menerpa wajah mereka, dan dari jendela kereta, Ishvara melihat hamparan biru laut yang tenang.
“Ibu…” bisiknya. “Apakah Ibu juga pernah sekolah di Tirabwana?”
Lutfayana menatap keluar, matanya seperti terseret pada kenangan silam.
“Tidak, dulu Bangsawan Jin tidak diperbolehkan belajar di sana. Namun ayahmu memperjuangkan agar kau bisa. Kau akan menjadi yang pertama dari darah Kalathraya yang diakui oleh Akademi Mandalagiri.”
“Berarti aku harus lebih hebat dari mereka semua?” tanya Ishvara pelan, namun matanya tajam.
“Bukan lebih hebat. Lebih bijak,” jawab Lutfayana. “Kekuatanmu sudah cukup mengerikan.”
Kereta tiba di dermaga kota pelabuhan Adiyaksa, parkir di tepi alun-alun. Dari sana, keempatnya turun dan berjalan di tengah keramaian kota yang hidup. Di seberang jalan, barisan toko-toko berjejer rapi: toko perlengkapan akademi, toko senjata ringan, butik pakaian bangsawan, perpustakaan kecil, hingga toko perhiasan dan alat sihir.
“Ibu, lihat itu!” ujar Ishvara, menunjuk toko pedang kecil dengan logo kepala harimau. “Pedangnya mirip seperti punya Paman Langit!”
Lutfayana melirik sebentar. “Pedangmu sudah buatan ayahmu sendiri. Tidak perlu tergoda dengan kilap baru.”
“Tapi… aku mau lihat aksesorisnya, siapa tahu ada tempat pedang lucu…”
“Lucu tidak membuatmu menang duel.”
Ishvara mendengus. “Ibu ini… semua harus menang, semua harus disiplin…”
“Karena kau pewaris Darah Merah. Dunia tidak akan mengasihani kelemahanmu, Nak.”
Mereka masuk ke toko perlengkapan utama. Velyra mulai mencatat daftar kebutuhan, sementara Zadran duduk santai di bangku luar sambil mengawasi sekitar.
Di dalam toko, Ishvara memegang satu per satu item—tas kulit naga, buku mantra anak-anak, pelindung lengan dari kulit rotan bercahaya, dan sarung pedang dari kulit hitam dengan ukiran akar Dra'vetha.
“Ibu, boleh ambil yang ini?”
Lutfayana menyentuh ukiran sarung pedang itu dengan lembut.
“Sarung itu dirancang untuk menyimpan energi darah… Bagus. Tapi kau harus belajar mengendalikan sihirmu lebih dulu.”
Kamera imajiner naik tinggi, memperlihatkan Kota Pelabuhan Adiyaksa dari atas: bangunan-bangunan tinggi dengan kubah dan menara khas Mandalagiri bercampur arsitektur Kerajaan Utara dari bangsa asing, pasar terbuka yang penuh warna, dan rakyat dari berbagai ras dan bangsa: kulit cerah, kuning, coklat, dan hitam, semuanya hidup berdampingan seperti miniatur dunia.
Di antara keramaian, langkah kecil Ishvara perlahan menyusuri jalan menuju masa depannya—masa depan yang akan membawanya ke jantung kerajaan: Akademi Tirabwana.
BULAN SABIT DI LANGIT DRA’VETHA
Hari mulai merambat senja ketika kereta kencana mereka menyusuri kembali jalan batu menuju Pulau Dra’vetha. Langit di sebelah barat berwarna keemasan, berpendar lembut di atas jembatan yang menghubungkan kota pelabuhan Adiyaksa dengan pulau kecil tempat Mereka tinggal.
Saat kereta tiba di halaman depan rumah, Velyra langsung sigap memerintahkan para pelayan untuk membawa belanjaan masuk.
“Letakkan buku-bukunya di rak ruang belajar Ishvara, dan perlengkapan lainnya di kamar latihan,” katanya, suaranya tenang namun tegas.
Sementara itu, Zadran sudah menghilang entah ke mana. Seperti biasa, ia membenci momen merapikan dan lebih suka menguap ke atap rumah sambil menatap langit.
Malam turun perlahan. Angin dari selatan berembus dingin namun menyegarkan. Di langit, bulan sabit putih bersinar lembut di antara ribuan bintang yang berkelip. Dari jendela ruang santai di lantai bawah, cahaya lentera merah tua menyala redup.
Di dalam ruangan itu, Lutfayana duduk anggun di sofa panjang bersulam sutra hijau dan emas, secangkir teh hangat dalam cawan berleher sempit berada di tangannya. Di sisi lain duduk Ishvara, menyandarkan kepalanya ke bantal hias, tubuh kecilnya terbungkus gaun tidur lembut berwarna zamrud.
Suasana tenang. Hingga akhirnya Ishvara membuka suara, polos namun menusuk.
“Ibu…”
“Ya, Nak?”
“Kenapa Ayah belum pulang?”
Lutfayana berhenti menyesap teh. Ia menatap langit di balik jendela, lalu menghela napas perlahan.
“Ayahmu… akan pulang di awal minggu ketiga. Saat ini, dia sedang di rumah Mama Cathrine, di Desa Kalabumi.”
Ishvara mengerutkan dahi. “Tapi Paman Zadran sudah pulang. Mereka kan kerja di tempat yang sama di Guild Bayu Geni… kenapa Ayah tidak ikut?”
Lutfayana tersenyum tipis. Ia letakkan cawan teh perlahan, lalu duduk lebih dekat, merapikan helaian rambut Ishvara yang tergerai.
“Ayahmu adalah pria yang adil, Ishvara. Ia memiliki dua istri—aku dan Mama Cathrine. Ia membagi waktunya dengan adil, dan Ibu menghormatinya untuk itu.”
Mata Ishvara membulat. “Jadi... Ayah tidak setia?”
Lutfayana kembali menarik napas, matanya menatap jauh ke dalam.
“Cinta tidak selalu sederhana, Sayang. Ada alasan mengapa aku dan Mama Cathrine… tidak saling membenci. Kami berdua pernah berada dalam bahaya besar. Dan Ayahmulah yang menyelamatkan kami. Ibu berhutang nyawa kepadanya... begitu juga Mama Cathrine.”
Ishvara mengangguk pelan. Lalu, tanpa peringatan, ia berkata:
“Kalau aku besar nanti… kalau suamiku menikah lagi, aku akan menghajarnya!”
Lutfayana tertawa kecil, tapi tak bisa menyembunyikan ekspresi pasrah. Ia menepuk jidatnya ringan lalu menggeleng sambil mengelus pipi putrinya.
“Kau ini… masih terlalu kecil untuk bicara soal pernikahan. Kau bahkan belum masuk akademi.”
“Tapi aku serius, Ibu. Suamiku nanti hanya boleh mencintaiku satu orang,” sahut Ishvara sambil mengangkat dagunya angkuh, seperti putri bangsawan sejati.
“Kau belum mengerti misteri tentang cinta, Ishvara,” gumam Lutfayana sambil tersenyum sendu.
Malam semakin larut.
Setelah menyantap makan malam ringan bersama ibunya—sup akar merah dan buah selatan rebus manis—Ishvara naik ke lantai dua, menuju kamar pribadinya. Kamar itu dipenuhi cahaya lembut dari lampu kristal merah. Ia menggantungkan gaun tidurnya, menyimpan pita hijau di kotak kecil, lalu memeluk boneka berbentuk kelelawar merah sebelum tidur.
Sementara itu di lantai satu, Lutfayana kembali ke kamarnya sendiri. Kamar itu luas namun terasa sunyi. Di meja rias, ada lukisan kecil dirinya bersama suaminya, Jasana Mandira, di hari pernikahan mereka. Ia menatapnya lama.
“Cepat pulanglah…” bisiknya. “Rumah ini terlalu hening tanpamu.”
Ia mematikan lampu kristal, menyelip di balik selimut, dan menatap langit malam dari jendela besar kamarnya—bulan sabit putih masih setia bersinar, seperti penjaga langit Pulau Dra’vetha.
ANAK RAJA DI DESA PANDAI BESI
Beberapa minggu telah berlalu sejak hari belanja di Adiyaksa.
Kini, di Desa Kalabumi—sebuah permata tersembunyi di wilayah selatan Kerajaan Mandalagiri—hari bersinar cerah, langit membiru dan udara dipenuhi aroma besi panas dan uap bara. Desa ini bukan desa biasa. Kalabumi adalah desa para pandai besi legendaris, tempat di mana senjata terbaik kerajaan ditempa, dan di tengahnya berdiri sebuah pabrik besar milik keluarga Jasana Mandira, pusat industri logam terbesar di wilayah selatan.
Namun, tak semua sejarahnya bercahaya. Di tengah alun-alun desa, berdiri tugu batu abu bertuliskan Ratusan nama korban Pembantaian Bayawira—tragedi delapan tahun lalu yang juga menyapu keluarga Jasana. Makam-makam kecil menghiasi bukit di belakang pabrik, sebagai saksi luka lama yang belum benar-benar pudar.
Di atas bukit kecil, sebuah rumah bangsawan bergaya Mandalagiri, berdinding kayu jati hitam dan atap bersusun tinggi, berdiri megah namun hangat.
Di ruang santai yang terbuka ke arah taman belakang, Jasana Mandira duduk berselonjor di atas kursi kayu bersandaran naga emas, mengenakan pakaian santai bangsawan berwarna merah darah dengan motif akar Kalabumi. Di sampingnya duduk Cathrine van der Lindt, istrinya, mengenakan gaun bangsawan berwarna ungu muda yang serasi dengan matanya.
Mereka menikmati angin sore, teh bunga hitam mengepul dalam cawan perak.
“Cathrine…” Jasana membuka percakapan sambil menghela napas. “Aku masih heran... Raviendra tak pernah tertarik pada pedang. Padahal darah Ku mengalir di tubuhnya.”
Cathrine tertawa ringan, suaranya seperti lonceng kaca.
“Kau berharap semua anak laki-laki suka pedang? Ia anak kita, bukan klonmu.”
“Tapi... dia bahkan tak bisa mengayunkan bilah kayu dengan benar.”
“Itu karena ia lahir bukan untuk menebas, melainkan menyalakan cahaya.”
Jasana menatap istrinya lama, lalu tersenyum. “Kau pandai berkata-kata seperti biasa.”
Cathrine menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Raviendra memiliki sihir yang unik. Alam, Cahaya, bahkan Kegelapan. Kau tahu sendiri, tidak semua murid di Akademi bisa mengakses tiga elemen itu sekaligus.”
“Benar. Tapi dia terlalu santai.”
“Karena dia mewarisi sifatku.” Cathrine tersenyum licik. “Kalau dia mewarisi keras kepalamu juga, dunia mungkin sudah hancur.”
Di lapangan rumput belakang rumah, Raviendra Van der Lindt tengah dikelilingi lima anak desa Kalabumi, semuanya lebih muda darinya. Mereka duduk melingkar, sementara Raviendra berdiri di tengah, memutar tongkat sihirnya—magic wand dengan batu giok hijau di ujungnya—dengan gerakan dramatis.
“Lihat baik-baik ya! Ini mantraku yang kupelajari dari Kelas Dasar Ke-2!”
Anak-anak bersorak kagum. “YA! Coba, coba!”
Raviendra mengangkat tongkatnya tinggi, menarik napas dalam-dalam, lalu membisikkan mantra:
“Lumen Verde!”
Tongkatnya menyala, dan dari ujungnya keluar semburan cahaya hijau berbentuk kupu-kupu yang beterbangan di udara, membuat anak-anak desa terpana.
“Waaaaaaaah!”
“Hebat banget, Kak Ravi!”
Raviendra tertawa puas. “Itu sihir cahaya dasar, namanya Lampu Semangat. Tapi bisa juga buat menerangi gua atau mengecoh musuh!”
Salah satu anak menunjuk tongkatnya. “Kak Ravi... kalau tongkatnya dicabut kristalnya, bisa buat main ketapel enggak?”
Raviendra langsung memelototinya dramatis. “Hei! Ini tongkat sihir keluarga kerajaan, bukan mainan pasar!”
Anak-anak tertawa. Raviendra ikut tertawa, lalu duduk di tanah sambil bersandar ke pohon beringin tua.
“Aku libur satu bulan. Tapi tiga minggu lagi, aku harus balik ke Akademi. Tahun ketiga akan lebih sulit, katanya ada latihan gabungan dengan siswa kelas atas dan turnamen awal musim.”
Anak perempuan kecil bersuara, “Nanti Kak Ravi ketemu kakak cewek cantik-cantik gak?”
Raviendra berpura-pura terkejut, lalu menegakkan tongkatnya.
“Sudah pasti! Salah satunya itu adikku, Ishvara. Dia cantik, tapi galak. Jangan sampai kalian salah bicara, bisa kalian dikutuk pakai sihir darah.”
Anak-anak serempak membelalak.
“SIHIR DARAH!?”
“Iya, warisan dari Ibu-nya... Yang katanya bisa ngebuat darahmu nari sendiri kalau dia marah.”
Semuanya tertawa, dan suasana sore itu diselimuti gelak canda anak-anak desa yang polos.
Scene perlahan ditutup dengan pemandangan udara:
Kamera imajiner menyorot Desa Kalabumi dari atas—pabrik pandai besi besar menghembuskan uap dan api, rumah-rumah kayu tua, jalan batu dengan toko-toko kecil, dan tugu peringatan yang berdiri teguh di tengah desa sebagai penjaga sejarah.
Langit sore beranjak jingga, menandakan pergantian waktu… dan kedatangan tantangan baru.
PEDANG CAHAYA & HARAPAN AYAH
Keesokan paginya, matahari baru saja merayap ke langit Kalabumi. Uap panas dari pabrik pandai besi mulai mengepul pelan, menyapa pagi yang cerah dengan aroma logam dan bara.
Di halaman belakang rumah besar milik keluarga Mandira, Jasana berdiri tegap, mengenakan pakaian latihan berwarna hitam dan merah, pedang Lungguh Darma terselip di pinggangnya.
Di depannya berdiri Raviendra, anak laki-lakinya yang berwajah ceria dan rambutnya diikat rapi seperti biasa, membawa magic wand yang ia juluki "Giok Hijau".
“Hari ini kita latihan ringan,” ujar Jasana sambil memutar bahunya.
“Ayah yakin ingin dipermalukan di depan langit pagi?” Raviendra menjawab santai, ekspresi wajahnya nakal.
Jasana mendesah. “Aku hanya ingin tahu, apakah darahku benar-benar mengalir di tubuhmu, atau kau lebih cocok jadi pemain sulap keliling.”
“Ayah ini… aku ini penyihir, bukan tukang sayur!” Raviendra tertawa.
Ia mengangkat tongkat sihirnya, dan seketika itu juga muncul ilusi pedang bercahaya—panjang, ramping, melayang-layang mengelilinginya. Pedang-pedang itu tampak seolah terbuat dari cahaya padat, namun menggetarkan udara seperti senjata asli.
“Kalau tak bisa pakai pedang asli, ya buat sendiri dong. Ini namanya Luxblade! Ringan, cepat, dan bebas karat!” katanya bangga.
“Itu mainan, bukan senjata.”
“Mainan? Nih rasain!”
Raviendra mengayunkan tongkatnya ke depan, dan dua Luxblade menari menyerang Jasana. Ayahnya dengan sigap menghindar, lalu mencabut Lungguh Darma. Kilat merah menyala di tebasannya, tapi pedang ilusi menangkis otomatis seolah hidup, melindungi Raviendra seperti perisai terbang.
“Hmm… bukan sihir sembarangan,” gumam Jasana sambil mulai mengalirkan aura hijau dari kakinya. “Kau memaksaku serius, Nak.”
Raviendra senyum cengengesan.
“Sini, Ayah. Lawan generasi baru, bukan cuma otot, tapi otak juga!”
Dari serambi depan, Cathrine menyaksikan semuanya sambil menyeruput teh hangat. Ia tertawa kecil ketika melihat Jasana mulai frustrasi karena setiap serangannya ditepis oleh Luxblade otomatis.
“Kau itu kapten Raka Lelana… dan dikalahkan bocah sepuluh tahun dengan pedang lampu,” katanya geli.
“Ini bukan kekalahan! Ini ujian teknik!” Jasana membalas dari halaman, pura-pura kesal.
Raviendra menambah gaya: ia berputar, lalu melempar mantra Sinar Kecil, menciptakan kilatan cahaya yang menyilaukan mata ayahnya.
“Wups! Kena sihir kilau!” Raviendra mengejek sambil menari-nari.
Namun saat Raviendra lengah, Jasana bergerak cepat, melompat seperti angin—teknik Bayu Langkah. Ia muncul tepat di belakang Raviendra, dan menjentik tongkatnya ke tanah. Raviendra tersandung kaget dan jatuh ke belakang dengan gaya dramatis.
“Ayah curang!” Raviendra protes.
“Dalam duel, tak ada curang, hanya lengah.”
“Aku bukan lengah… aku memberi kesempatanmu menang.”
Jasana tertawa. Ia ulurkan tangan dan menarik anaknya berdiri.
Wajah tegasnya mencair menjadi ekspresi bangga.
“Walau kau tak bisa menebas dengan pedang biasa… sihirmu unik, Ravi. Bahkan teknik pedangku nyaris tak bisa menembus pertahananmu.”
“Jadi Ayah bangga?”
“Aku selalu bangga, Nak. Tapi… sedikit saja, mungkin… bisakah kau pelajari cara pegang pedang tanpa salah posisi tangan?”
Raviendra menertawakan ayahnya keras-keras.
“Nanti kalau pensiun jadi pendekar, Ayah bisa jadi guru tari. Gerakanmu tadi lucu banget.”
“Dasar bocah!” Jasana merangkul anaknya dengan satu lengan dan menyeretnya ke arah rumah.
Di serambi, Cathrine menunggu mereka berdua dengan senyum hangat. Pelayan-pelayan telah menyiapkan meja makan luar ruangan—dipenuhi makanan khas Kalabumi: nasi bambu, ayam bakar akar ungu, sup jagung merah, dan teh serai hijau.
“Sudah cukup bermain-main. Ayo makan, para jagoan sihir dan otot!”
“Tapi aku yang menang,” kata Raviendra.
“Kau menang hati Ayahmu,” balas Cathrine sambil tertawa.
Mereka bertiga duduk bersama, bercengkrama di tengah aroma makanan dan angin pagi yang berembus dari utara. Tawa Raviendra menggema, mengisi rumah yang dahulu sunyi dengan semangat baru.
PULANG KE RUMAH KEDUA
Matahari baru saja menembus kabut tipis Kalabumi ketika Jasana berdiri di depan halaman rumah besar mereka, bersiap-siap untuk berangkat. Kereta kencana berhias lambang keluarga Mandira sudah menanti, roda-rodanya dilapisi besi hitam yang bersinar dan ditarik dua ekor kuda berlapis pelindung kulit hijau zamrud.
Di serambi rumah, Cathrine menatap suaminya sambil menggenggam tangannya dengan lembut.
“Dua minggu berlalu secepat ini,” katanya tenang. “Sampaikan salamku untuk Lutfayana. Katakan padanya, aku menitipkan salam hangat dan terima kasih telah menjaga bagian lain dari hatimu.”
Jasana menundukkan kepala hormat.
“Akan kusampaikan. Kau selalu bijak, Cathrine.”
Di belakang mereka, suara Raviendra memotong suasana penuh hormat itu.
“Aku ikut!” Raviendra berseru sambil menyeret tasnya sendiri. “Kalau Ayah mau pergi, aku juga mau ikut. Kan aku juga akan berangkat ke akademi bareng Elva nanti.”
Cathrine menghela napas panjang, namun senyumnya lembut. Ia menoleh ke pelayan.
“Tolong kemas perlengkapan Ravi. Sepertinya dia sudah tak bisa dicegah.”
Raviendra mendekat dan memeluk ibunya.
“Ibu paling baik di dunia!”
“Jangan terlalu banyak tingkah di sana. Dan jangan membuat Ishvara kesal,” katanya setengah menggoda.
Tak lama, pelayan telah menaikkan barang-barang mereka ke atas kereta. Jasana dan Raviendra naik ke dalam, dan roda pun mulai bergerak, melewati jalan-jalan desa Kalabumi menuju arah utara melalui jalan bebas hambatan yang dibangun beberapa tahun yang lalu, ke Kota Pelabuhan Adiyaksa.
Perjalanan memakan waktu dua hari, dengan berhenti di beberapa pos penginapan bangsawan. Saat sore di hari kedua, mereka sampai di dermaga utama Adiyaksa, di mana Jembatan Batu Dra'vetha menjulang, membentang menuju pulau kecil di selatan.
Jembatan batu itu kokoh dan megah, dibangun lima tahun lalu Oleh pemerintahan Bupati Kota Pebulahan Adiyaksa, untuk mempermudah akses dari kota pelabuhan adiyaksa menuju pulau Dra'vetha. Di kejauhan, siluet rumah besar bergaya gothic vampire khas Tribe Dra'vetha sudah terlihat—atap runcingnya mencakar langit, dan patung kelelawar hitam serta bulan sabit merah menyambut dari kejauhan.
Kereta kencana melintasi jembatan dengan bunyi roda berderak halus. Sampai di halaman rumah, para pelayan dari warga pesisir Adiyaksa segera menyambut, membungkuk hormat.
“Selamat datang, Tuan Jasana... Tuan Muda Raviendra...”
Dari pintu utama, Lutfayana melangkah anggun. Rambut peraknya mengilap dalam cahaya senja, dan mata merah darahnya langsung menangkap sosok suaminya.
“Jasana…”
Jasana turun dari kereta, dan sejenak keheningan memeluk mereka. Ia memeluk istrinya, perlahan dan hangat.
“Maaf membuatmu menunggu.”
“Kau selalu pulang di saat yang tepat.”
Sementara itu, Zadran muncul dari sisi halaman dan menyambut Raviendra dengan anggukan santai.
“Yo, Tuan Kecil. Sudah siap disambut adikmu yang judes?”
“Sudah siap dihujani tatapan tajam,” Raviendra tertawa, menepuk tangan Zadran.
Mereka berdua berjalan masuk ke rumah megah itu. Di dalam, di balik dinding-dinding marmer gelap dan lentera kristal merah, berdirilah Ishvara, mengenakan gaun bangsawan dan pita hijau di rambutnya.
“Ayah!” serunya, berlari kecil lalu menghampiri.
“Putriku,” Jasana mengangkat tubuh Ishvara sebentar, lalu memeluknya erat.
“Kakak Ravi!” Ishvara menatap Raviendra dengan senyum menyeringai.
“Jangan pikir aku takut sama kamu, Elva,” Raviendra menjulurkan lidah.
“Aku nggak pernah mikir kamu cukup penting buat ditakuti,” balas Ishvara, tajam namun penuh sayang.
Mereka tertawa, dan suasana hangat melingkupi kediaman bangsawan Dra'vetha.
Main Lobby rumah yang luas menyambut mereka dengan cahaya lentera menggantung dan aroma bunga kering khas Tribe Dra'vetha. Di tengah ruangan menjulang tangga besar berukir akar dan nadi, melingkar ke atas menuju lantai dua dan tiga. Dinding dipenuhi lukisan leluhur Dra'vetha dan simbol darah merah Kalathraya.
Hari itu ditutup dengan reuni keluarga kecil yang akhirnya lengkap—dan di kejauhan, bulan mulai memunculkan diri di balik kabut malam.
Tawa, Duel, dan Meja Makan
Hari-hari berlalu cepat di rumah Bangsawan Dra’vetha. Meski Raviendra dan Ishvara berasal dari ibu yang berbeda, kasih sayang di antara mereka terasa alami—seperti sepasang kakak beradik yang ditakdirkan tumbuh bersama. Namun bukan berarti hari-hari mereka tenang.
Siang itu, di halaman belakang yang rindang dan luas, Raviendra tengah duduk di atas dahan pohon sambil mengayun-ayunkan tongkat sihirnya.
“Elva!” serunya. “Coba sini, aku mau nunjukin trik sihir baruku! Sihir pengganda daun!”
Ishvara, yang sedang membaca buku teknik pedang di bangku batu, menatap kakaknya tajam.
“Terakhir kali kamu bilang ‘trik baru’, rambutku berasap karena kamu bikin ledakan konyol!”
“Kali ini beda! Aku udah belajar dari kesalahan. Sekarang lebih aman… mungkin.”
Sebelum Ishvara sempat menjawab, tongkat Raviendra menyala dan—BOOF!—seberkas cahaya menyambar ke arah Ishvara. Seketika rambutnya berdiri, dan daun-daun di sekitar beterbangan seperti terkena angin ribut.
“RAAAAVIII!!!”
Ishvara berdiri, matanya menyala merah muda pekat. Aura sihir darahnya berdenyut di udara.
“Salah satu dari kita harus mati hari ini!!”
“Tunggu, aku lupa aktivasinya, jangan pakai darah dulu!”
Raviendra kabur, tertawa setengah panik sambil berlari ke arah kolam kecil. Ishvara mengejar, pedang Mahacandra di tangan, tapi hanya sebagai efek dramatis. Di tangannya yang lain, sihir darahnya membentuk cambuk tipis merah keunguan yang mengejar Raviendra seperti seekor ular hidup.
“Ini sih bukan kejar-kejaran kakak-adik normal! Ini pembantaian kecil-kecilan!”
“Makanya jangan sok pamer!”
“Tapi aku kan keren?! Liat efeknya tadi!”
"KEREN PALAKMU!"
Setelah sepuluh menit kejar-kejaran berisik, keduanya akhirnya terjatuh di tengah rerumputan, terbaring kelelahan. Nafas mereka memburu, namun tawa mengisi udara.
“Kamu… keterlaluan…”
“Tapi kamu ngakak juga, kan?”
“Hanya karena kamu terlihat sangat bodoh waktu tergelincir tadi,”
“Itu taktik, bukan tergelincir.”
Matahari menyorot dari celah-celah pepohonan. Angin sejuk membelai wajah mereka berdua. Damai.
Tak jauh dari sana, Zadran berdiri sambil menyilangkan tangan, menggeleng perlahan.
“Kakak-adik rasa medan perang…”
Ia berjalan mendekat dan berseru:
“Kalau kalian sudah cukup mengobrak-abrik halaman, bagaimana kalau duel lawan aku sekarang?”
Kedua anak itu langsung duduk tegak.
“Serius?!” Raviendra melonjak.
“Ayo!” Ishvara pun berdiri penuh semangat.
Latihan Duel Tiga Arah
Zadran berdiri tenang dengan mantel Raka Lelana berkibar. Pedang perak ramping tergantung di pinggangnya, tangannya mulai menyala tipis oleh pusaran angin.
Raviendra menggenggam tongkat sihirnya, dan membentuk LuxBlade—pedang cahaya melayang yang berputar seperti penari, mengorbit dirinya siap bertahan dan menyerang.
Ishvara sudah bersiap dengan Mahacandra, posisinya seperti pendekar Dra’vetha sejati.
“Siap?”
“Siap!”
“SIAP SEKALI!” Raviendra menambahkan gaya dengan menirukan suara prajurit.
Zadran menyerang lebih dulu, bergerak ringan seolah tubuhnya mengambang, pedangnya menyambar cepat ke arah Ishvara. Namun Mahacandra menangkis dengan sihir darah yang melapisi bilahnya.
Dari belakang, LuxBlade Raviendra menusuk ke arah Zadran—namun Zadran meliuk dan menendang ringan tanah, membuat Raviendra terpental... tapi sihir gelap dari tongkatnya menahan jatuhnya.
Ishvara memanggil "Akar Darah", sihir darahnya menjulur dari tanah dan membelit kaki Zadran. LuxBlade berputar cepat seperti baling-baling dan menyerbu dari sisi lain.
Zadran menyeringai—dan menghindar dengan salto angin, namun...
“AWAS... AAAAAH!”
...dia terpeleset oleh semangka sisa makan mereka berdua yang entah kenapa ada di tanah.
"DUAKH!"
Zadran jatuh terduduk. LuxBlade dan Mahacandra langsung berhenti melayang. Raviendra dan Ishvara terdiam.
“...Itu tadi... bagian dari latihan, ya?”
“Paman Zadran kalah sama... semangka?”
“Kalian berdua... harus... membersihkan ini nanti...”
Lalu mereka semua tertawa. Bahkan Zadran ikut tertawa, duduk di tanah dengan rambut berantakan.
Makan Siang Bersama
Dari dalam rumah, suara lembut memanggil:
“Raviendra, Ishvara, Zadran… waktunya makan siang!”
Lutfayana berdiri di serambi belakang rumah, senyum keibuannya menyinari wajah pucat anggun itu. Angin membawa aroma makanan hangat.
“Yesss, aku lapar banget!”
“Cuci tangan dulu, dasar bocah magang sihir.”
“Eh, jangan hina aku dong, kamu juga anak darah labil.”
Setelah membasuh tangan dan wajah di pancuran halaman, mereka bertiga masuk ke dalam rumah, bergabung dengan Jasana yang sudah duduk menanti di meja makan panjang.
Meja itu dipenuhi hidangan: nasi mandalagiri, kari lembut khas Dra’vetha, roti gandum lembut, dan sup jamur wangi. Mereka makan bersama, penuh canda dan kehangatan.
Keberangkatan ke Akademi Tirabwana
Tak terasa hari berlalu bergitu cepat, Fajar menyingsing di ufuk timur. Langit Pulau Dra’vetha berwarna lembayung keemasan, dan suara burung-burung hutan membangunkan kesunyian pagi. Di halaman rumah bangsawan Dra’vetha, para pelayan sibuk menyiapkan Kereta Kencana Mandira.
Kusir tua bertubuh tambun, Pak Baman, berdiri gagah dengan senyum tulus. Ia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak lama, dulunya tinggal di pesisir Adiyaksa sebelum pindah ke desa kecil khusus pegawai di tengah Pulau Dra’vetha.
Di sisi kereta, Jasana menepuk pundak Zadran, lalu berkata,
“Hari ini, dua calon penjaga negeri akan memulai perjalanannya.”
Zadran mengangguk sambil memasang sabuk dan berdiri di depan, menemani Pak Baman sebagai pengawal.
Sementara itu, Ishvara keluar dari rumah dengan pakaian resmi bangsawan muda: jubah berwarna hijau tua dan putih, lengkap dengan lambang Dra’vetha di bahu. Rambut hitamnya dihias pita hijau, dan Mahacandra tergantung di punggungnya. Ia tampak gagah dan sedikit tegang.
Raviendra justru melompat-lompat ceria, tongkat sihirnya diikatkan di pinggang.
“Ibu, Ibu! Aku udah nggak sabar kembali liat bangunan naga kaki lima di Akademi!”
“Itu bangunan bentuk kaki naga, bukan naga yang berkaki lima,” ujar Lutfayana sambil tersenyum geli.
Jasana dan Lutfayana mengantar langsung, duduk di dalam kereta bersama anak-anak. Kereta pun bergerak perlahan, meninggalkan Pulau Dra’vetha. Mereka akan menyebrang lewat Jembatan Batu Adiyaksa—sebuah mahakarya jembatan batu yang melengkung megah, dibangun lima tahun lalu.
Beberapa Hari Kemudian – Distrik Pendidikan, Kota Tirabwana
Langit Tirabwana cerah. Di pelataran luar Akademi Tirabwana, ratusan kereta dan rombongan keluarga bangsawan dari berbagai penjuru negeri berdatangan. Suasana ramai: tawa anak-anak, pelukan orang tua, dan semburat sihir di udara.
Komplek Akademi berdiri megah:
Gedung Utama Lima Lantai, berbentuk kaki naga, menjulang di tengah kawasan.
Wisma Srikandi di barat untuk para putri.
Wisma Arjuna di timur untuk para putra.
Dan di antara keduanya: Lapangan Garuda, Perpustakaan Pusaka, Taman Meditasi, serta lorong-lorong rahasia menuju ruang bawah tanah terlarang.
Kereta Kencana Keluarga Jasana berhenti di area khusus keluarga bangsawan tinggi.
Cathrine sudah tiba lebih dulu, berdiri anggun di bawah naungan tenda kerajaan. Mengenakan gaun ungu bangsawan Windmills, rambut peraknya berkilau, dan senyum lembutnya menyambut.
Lutfayana turun terlebih dahulu. Suasana seketika menjadi sorotan—dua istri Jasana dalam satu tempat, namun…
“Cathrine,” ucap Lutfayana pelan.
“Lutfayana,” jawab Cathrine, senyum tulus terukir. Mereka berpelukan dan saling cipika-cipiki, membuat beberapa pengawal bangsawan lain terkejut melihat keakraban langka ini.
“Semoga Ishvara bisa mengikuti jejak Raviendra,” ucap Cathrine.
“Dan Raviendra menjaga adik perempuannya, walau kadang menyebalkan,” balas Lutfayana dengan lirikan geli ke arah Raviendra.
Ishvara pun menyapa lembut:
“Selamat pagi, Mamah Cathrine.”
“Cantiknya kamu, Ishvara. Semangat belajar ya,” ujar Cathrine sambil mengelus kepala putri tirinya itu.
Proses Pendaftaran dan Perpisahan
Setelah bercakap beberapa saat, Jasana dan Lutfayana berpamitan kepada Cathrine. Mereka akan mendampingi Ishvara menjalani proses pendaftaran murid baru—menandatangani kontrak pelindung akademik, menyerahkan dokumen warisan darah, serta penyerahan senjata resmi.
Sementara itu, Raviendra bersandar di bahu ibunya, Cathrine.
“Besok aku mulai kelas dasar ketiga, Bu.”
“Ibu percaya, kamu bisa jadi apa pun yang kamu mau.”
“Termasuk jadi pelawak istana?”
“Asal jangan jadi penyebab kerusakan perpustakaan seperti terakhir kali.”
Mereka tertawa kecil. Raviendra memeluk ibunya erat.
“Aku janji bakal jaga Ishvara.”
“Itu bukan tugasmu, tapi tetap… terima kasih, Nak.”
PENUTUP SCENE
Kamera imajiner menyorot komplek Akademi Tirabwana dari udara:
Gedung berbentuk kaki naga megah menjulang.
Taman-taman tersembunyi antara bangunan.
Sungai kecil mengalir di sisi barat.
Hutan-hutan kecil menyembunyikan jejak sihir tua dan binatang mistik.
Suara lonceng sihir menggema, menandakan tahun ajaran baru akan segera dimulai.
Hari Pertama di Akademi Tirabwana
Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian administrasi pendaftaran, para murid baru mulai menerima arahan resmi dari akademi.
Di sebuah ruangan berornamen naga dan pohon langit berakar emas—ruang penyimpanan senjata—Ishvara menyerahkan Mahacandra, pedang pusaka pemberian ayahnya. Seorang petugas berseragam ungu menyambutnya.
“Senjata pusaka akan disimpan di Ruang Relik Akademi hingga siswa dianggap layak menggunakannya. Untuk sementara, gunakan pedang kayu reguler, ini Replika dibuat oleh sihir dan menyerupai Mahacandra milik Nona Dra’vetha,” ujar petugas itu sambil menyerahkan sebilah pedang kayu ringan mirip seperti pedang milik Ishvara.
Ishvara menerima dengan anggukan tegas, matanya serius.
“Aku akan membuktikan bahwa aku layak menghunus Mahacandra.”
AULA UTAMA AKADEMI
Ratusan murid baru berkumpul, berdiri dalam formasi rapi di Aula Utama yang megah—dindingnya penuh ukiran naga dan cahaya kristal terapung menyinari ruangan. Mereka datang dari berbagai lapisan:
Bangsawan Tinggi dengan pakaian menawan dan elegan,
Bangsawan Ksatria dengan sabuk pedang khas,
Bangsawan Dagang dengan pakaian mewah,
Bangsawan Menengah dan Rendah berpakaian sederhana,
Hingga anak-anak rakyat biasa yang mengenakan jubah latihan polos.
Kebijakan baru dari Sri Maharaja Maheswara membuka pintu akademi bagi semua rakyat berbakat, tanpa memandang kasta maupun ras. Sebuah perubahan besar dari sistem lama.
Ishvara berdiri di barisan depan, wajahnya serius dan tenang.
“Sepuluh tahun bukan waktu singkat,” gumamnya, “tapi di sinilah aku akan dibentuk menjadi pelindung sejati.”
Suara lonceng sihir menggema.
Dari atas podium, seorang Kepala Akademi bertubuh jangkung berambut abu-abu berdiri dia bernama Mpu Ranjayana.
“Selamat datang, para pewaris masa depan Mandalagiri. Hari ini kalian bukan lagi anak-anak, tapi cikal bakal para penjaga negeri.”
Setelah Beberapa Menit sambutan dari Kepala Akademi Mpu Ranjayana, Para Komandan Asrama Mengarahkan Mereka untuk menuju Asrama Masing-masing, Wisma Srikandi berada di sebelah Barat dan Wisma Arjuna berada di sebelah Timur Kedua Bangunan berlantai 5 dan berada di Kawasan Komplek Akademi Tirabwana.
MENUJU ASRAMA
Setelah upacara selesai, para murid diarahkan ke asrama masing-masing. Wisma Arjuna di timur untuk para putra. Wisma Srikandi di barat untuk para putri.
Ishvara berjalan menuju Wisma Srikandi, bangunan lima lantai bercat putih gading dengan atap lengkung seperti tanduk rusa. Saat sedang melihat daftar tempat tidur di dinding aula, seorang gadis kecil menyapa dari samping.
“Kau Ishvara Dra’vetha, kan?”
“Iya. Kau?”
“Kiranti. Kiranti Wisanggeni.”
“Wisanggeni…? Ayahmu Kapten Kalandra?”
“Benar. Ibuku Inggrita.”
“Wow,” Ishvara tersenyum kecil, “tapi bukannya kau masih… tujuh tahun?”
“Aku mendapat rekomendasi lebih awal. Katanya… ,” sahut Kiranti dengan nada santai, matanya tajam tapi jenaka. Rambut keunguan diikat dengan tusuk rambut perak yang berkilau saat tertimpa cahaya sihir dari kristal langit-langit.
Mereka pun berjalan bersama. Kiranti menunjuk deretan ranjang di sisi utara aula.
“Itu masih kosong. Kita tidur bersebelahan?”
“Tentu. Aku nggak keberatan,” kata Ishvara sambil mengangguk.
KAMAR WISMA SRIKANDI
Ruang asrama tampak luas dan bersih. Dalam satu kamar dapat menampung sepuluh murid—setiap ranjang diberi tirai, meja kecil, dan peti penyimpanan. Di sudut ruangan, terdapat bilik-bilik air berlapis keramik dan pancuran dari kristal embun.
Ishvara meletakkan tasnya, duduk di tepi ranjang, memandangi langit dari jendela.
Kiranti duduk di ranjang sebelah, menyelipkan katana kayunya ke bawah bantal.
“Kau siap untuk sepuluh tahun ke depan?” tanya Kiranti.
“Siap,” jawab Ishvara dengan sorot mata mantap. “Dan kau?”
“Nggak sepenuhnya. Tapi… selama ada teman sekamar yang bisa diandalkan, kupikir aku baik-baik saja.”
Mereka tertawa kecil.
PENUTUP SCENE
Kamera imajiner menyorot ke luar jendela: lampu-lampu sihir menyala perlahan di sekeliling Wisma Srikandi, menyinari halaman taman berisi pohon sihir kecil dan kolam meditasi.
Di kejauhan, bintang-bintang muncul satu per satu. Dari arah barat, suara lonceng penanda jam malam bergema.
Malam pertama telah tiba. Tahun ajaran baru Akademi Tirabwana pun dimulai.
Pengumuman Kelas & Perkenalan Guru
Pagi kedua di Akademi Tirabwana diawali dengan denting lembut lonceng kristal dari menara tengah. Udara sejuk dan aroma embun bercampur bunga langit menyelimuti seluruh komplek akademi.
Di Ruang Utama Akademi, ratusan murid baru kembali berkumpul. Suasana kali ini lebih ramai dan penuh semangat. Anak-anak bergumam, menebak-nebak siapa teman sekelas mereka dan siapa saja guru yang akan mengajar.
PENGUMUMAN KELAS
Seorang staf akademi berjubah biru laut berdiri di depan podium besar.
“Hari ini kalian akan dibagi ke dalam tiga kelas dasar: 1-A, 1-B, dan 1-C. Pembagian berdasarkan hasil seleksi administratif dan penilaian awal.”
Gulungan besar dari kain sihir perlahan terbentang di udara, menampilkan daftar nama-nama murid dalam tulisan aksara Mandala yang mengilap keemasan.
Ishvara Elvardhra Dra’vetha – Kelas Dasar 1-A
Kiranti Wisanggeni – Kelas Dasar 1-A
Kiranti menyikut Ishvara pelan sambil tersenyum lebar.
“Kita satu kelas. Hoki banget.”
Ishvara mengangguk, lalu tersenyum kecil—meski tetap menjaga ekspresinya yang tenang dan tegas.
PERKENALAN PARA GURU TINGKAT DASAR
Tak lama kemudian, beberapa sosok dewasa berwibawa memasuki ruangan dan berdiri di atas podium utama. Suasana menjadi hening, hanya suara jubah mereka yang menggesek lantai batu.
Seorang pria tinggi berjanggut rapi melangkah maju.
“Selamat pagi. Aku Guru Arwayana, wali kelas Dasar 1-A. Kami, para pengajar kalian, akan membentuk kalian menjadi pelindung sejati Mandalagiri—dengan pengetahuan, sikap, dan kekuatan.”
Lalu satu per satu guru lain diperkenalkan, lengkap dengan bidang pelajarannya:
DAFTAR GURU KELAS DASAR TAHUN 1–3
1. Guru Arwayana
Wali Kelas Dasar 1-A
Mengajar: Sejarah Mandalagiri & Matematika Kerajaan
Penampilan: Pria tua bijak, jubah putih-gading, rambut abu-abu panjang diikat. Tatapan tajam tapi lembut.
2. Guru Lirisya Ankaran
Wali Kelas Dasar 1-B
Mengajar: Etika Bangsawan & Diplomasi
Penampilan: Wanita tinggi anggun, kulit coklat terang, rambut disanggul rapi, suara lembut tapi tajam. Berasal dari Keluarga Ankaran, bangsawan kerajaan selatan.
3. Guru Tagra Wedanata
Wali Kelas Dasar 1-C
Mengajar: Dasar Silat & Latihan Keseimbangan
Penampilan: Pria kekar dengan bekas luka di alis, suara berat, pendekar tua yang terkenal dengan teknik napas dalam. Dikenal tegas dan tidak suka alasan.
4. Guru Nayaka Rilendra
Mengajar di semua kelas: Membaca & Menulis Aksara Mandala
Penampilan: Sosok misterius bersorban biru, ahli linguistik kuno, matanya selalu tertutup, berbicara dengan pelafalan sempurna.
5. Guru Irekta Banyuaji
Guru pengganti bebas, khusus Latihan Senjata Dasar
Penampilan: Perempuan berambut pendek seperti tomboy, ahli tongkat dan pedang kayu. Gaya mengajarnya ekspresif dan suka menantang murid dengan duel kecil.
Setelah semua guru memperkenalkan diri dan memberikan sedikit wejangan, para murid pun diarahkan menuju kelas masing-masing oleh asisten guru.
MENUJU KELAS DASAR 1-A
Lorong-lorong Akademi tampak bersih dan elegan. Pilar-pilar tinggi menjulang, dengan jendela kaca patri bergambar kisah-kisah pahlawan Mandalagiri masa lampau.
Ishvara dan Kiranti berjalan berdampingan.
“Apa kau lihat guru silat tadi?” tanya Kiranti, “kayaknya sekali tendang bisa lempar satu bangku.”
“Kalau kau bandel, mungkin kau yang jadi sasaran,” jawab Ishvara tanpa menoleh, nada datarnya membuat Kiranti tertawa.
“Aduh, judesnya. Tapi aku suka.”
Kelas 1-A berada di sebuah aula berdinding kayu hitam mengilat, dengan jendela-jendela besar yang menghadap Taman Meditasi.
Saat para murid masuk, lonceng kecil berbunyi lembut dari ujung ruangan.
Guru Arwayana berdiri di depan papan tulis berbahan batu kristal, memandangi para murid satu per satu.
“Selamat datang di perjalanan panjang kalian. Semoga kalian pulang sebagai pahlawan.”
Layar imajinasi perlahan menutup dengan pemandangan Ishvara dan Kiranti duduk berdampingan, di deretan bangku kedua dari depan—mata mereka menatap lurus ke depan, menyongsong awal kehidupan baru mereka sebagai murid Akademi Tirabwana.