Bab 2 - Teman Baru

Hari Pertama di Kelas Dasar 1-A

Pagi yang cerah menyambut hari pertama Ishvara dan Kiranti di Kelas Dasar 1-A. Sinar matahari menembus dedaunan pohon dan kenari yang rindang di halaman Akademi Tirabwana, menciptakan bayang-bayang menari di lantai batu hitam berkilau.

Ruang kelas 1-A terletak di lantai pertama, di sisi timur gedung utama. Aula kelas berdinding kayu hitam mengilat yang dilapisi pelitur damar, mencerminkan cahaya lembut dari jendela-jendela tinggi yang terbuka ke arah Taman Meditasi, tempat para murid kadang bermeditasi di sela-sela pelajaran. Angin membawa aroma bunga kenanga dan tanah lembap yang menyegarkan.

Di dalam ruangan, para murid duduk rapi dalam barisan meja kayu berat yang sudah berumur ratusan tahun, penuh ukiran naga, burung garuda, dan lambang kerajaan Mandalagiri. Ishvara duduk di kursi baris kedua, Kiranti tepat di sebelahnya.

Keduanya mengenakan seragam pelatihan murid baru: tunik putih dengan selempang hijau daun yang menandakan tingkat dasar.

Lonceng kuningan di pojok aula berdentang tiga kali, menandai dimulainya pelajaran pertama.

Pintu geser terbuka perlahan.

Masuklah seorang pria tua berwibawa

dengan jubah putih-gading panjang hingga lantai. Rambutnya abu-abu disanggul ke belakang, matanya tajam tapi tidak menakutkan—justru penuh pengertian dan kebijaksanaan. Ia membawa tongkat kayu kecil berlapis perak di genggamannya, dan saat ia melangkah, aroma gaharu dan dupa tipis mengikutinya.

“Selamat pagi, anak-anak.”Suaranya tenang namun bergema. “Nama saya Arwayana, wali kelas kalian… dan guru sejarah serta matematika kalian selama tiga tahun ke depan. Jangan takut, saya tidak akan menggigit.”

Tawa ringan terdengar dari sudut ruangan. Kiranti menoleh ke Ishvara dan tersenyum kecil, sementara Ishvara hanya menegakkan punggung dan memperhatikan penuh rasa ingin tahu.

Guru Arwayana mulai menulis di papan batu hitam dengan kapur sihir yang menyala putih keperakan:

Sejarah Awal Kerajaan Mandalagiri

Tahun 1 Sistem Mandala

“Apakah ada di antara kalian yang tahu,” ucapnya sambil berbalik perlahan, “siapa pendiri pertama Kerajaan kita yang agung ini?”

Beberapa murid saling pandang. Seorang anak laki-laki dari barisan belakang mengangkat tangan, ragu-ragu.

“Ya, kamu.”

“Err… Raja Darma… Darma siapa begitu, Guru?”

Guru Arwayana tertawa lembut.

“Namanya adalah Sri Mahadewa Wismara, Sang Raja Pembebas. Enam ratus tahun yang lalu, beliau bukanlah seorang bangsawan. Beliau hanyalah pejuang jalanan yang melihat Tanah Mandalagiri jatuh ke tangan makhluk kegelapan yang disebut Mahishasura—iblis penghancur yang mencemari seluruh dataran dengan miasma hitam.”

Guru Arwayana menjentikkan jari.

Di depan kelas, muncul ilusi cahaya—lukisan hidup dari seorang raja muda bersenjatakan tombak panjang berhiaskan batu merah menyala, menghadapi sesosok iblis bertanduk yang memuntahkan kabut hitam dari mulutnya.

“Pertempuran itu berlangsung selama Kurang Lebih 10 Tahun, dan pada akhirnya Mahishasura berhasil dikalahkan dan disegel di dalam Gerbang Rasa Bhuwana di Hutan Lembayung Dipa, di utara Mandalagiri.”

Kiranti bersandar, matanya membesar takjub.

“Namun untuk ditempati Tanah kita butuh 38 tahun untuk memurnikan secara alami seluruh racun dari darah iblis itu. Dan barulah 552 tahun yang lalu, dimulailah penanggalan Tahun ke-1, dan Kerajaan Mandalagiri berdiri dan Sri Mahadewa Wismara sebagai Raja Pertama. Maka, hari ini kita berada di Tahun ke-552 Sistem Mandala.”

Ishvara mengangguk pelan. Di dalam dadanya ada sesuatu yang terasa hangat. Sejarah ini bukan sekadar cerita, melainkan akar dari siapa dirinya dan dunia tempat ia hidup.

Tiba-tiba—

Guru Arwayana menjentikkan jarinya lagi, dan ilusi Mahishasura melompat ke arah murid-murid sambil mengaum!

“RAWRRRR!!!”

Seluruh kelas berteriak. Beberapa anak melompat dari tempat duduknya. Kiranti menjerit—lalu tertawa keras saat ilusi itu lenyap dalam percikan cahaya ungu.

Guru Arwayana menyeringai kecil.“Sejarah harus kalian ingat, bukan kalian lupakan. Maka dari itu, sesekali… aku akan membuatnya tak terlupakan.”

Tawa riuh meledak di seluruh ruangan. Bahkan Ishvara pun tidak bisa menahan senyum tipisnya.

Tak lama kemudian, pintu belakang aula terbuka.

Masuklah tiga anak laki-laki dengan tubuh tinggi dan wajah-wajah penuh percaya diri. Mereka memakai sabuk kuning dengan simbol perwira tempur.

“Maaf kami terlambat, Guru Arwayana!” seru salah satu dari mereka sambil menepuk dadanya. “Kami dipanggil oleh Komandan Latihan!”

Guru Arwayana hanya mengangguk. “Silakan duduk. Saya tahu siapa kalian… para putra perwira.”

Ishvara memandang mereka dari ujung mata. Salah satunya melirik ke arahnya, tersenyum penuh tantangan.

Kiranti berbisik,“Sepertinya hari-hari kita di sini tak akan pernah membosankan.”

Scene ditutup dengan seluruh murid kembali serius memperhatikan. Pelajaran pertama resmi dimulai, dan roda masa depan mulai berputar di ruang kecil berdinding kayu ini…

Istirahat Siang & Pertemuan Baru

Lonceng berdentang nyaring tiga kali, menandai waktu istirahat siang.

Ishvara berdiri dengan anggun dari kursinya, diikuti Kiranti yang menggeliat kecil sambil menutup mulut, menguap ringan.

“Aku lapar,” gumam Kiranti.

Mereka berdua berjalan menyusuri lorong berlantai batu hitam yang licin dan dingin, menuju aula makan yang masih berada di dalam gedung utama, tepatnya di sayap timur lantai 1. Aula makan luas, beratapkan kayu kelapa tua yang dilapisi kain merah marun, dengan pilar-pilar batu penuh ukiran naga dan garuda.

Di sepanjang meja panjang, anak-anak Kelas Dasar 1 mulai mengambil jatah makan mereka. Para petugas dapur mengenakan seragam putih bersih dan menghidangkan makanan sesuai porsi.

Ishvara dan Kiranti mengambil menu siang yang sederhana—nasi gurih, sup sayur seruni, tempe bakar daun pisang, dan telur asin rebus. Minumnya, air jeruk hangat di dalam cawan tanah liat.

Mereka memilih duduk di pojok dekat jendela yang menghadap halaman kecil berisi kolam ikan.

Baru saja mereka hendak menyantap makanan, tiga anak laki-laki datang menghampiri dengan langkah penuh percaya diri. Salah satu dari mereka membawa nampan dengan satu tangan saja, tanpa terlihat canggung. Yang lainnya menyeringai kecil.

Anak Pertama — berambut pendek cepak, kulit sawo matang, wajah serius tapi sorot matanya jernih penuh semangat.

Nama: Agra Dihantara

Karakter: Tegas, disiplin, putra prajurit senior. Pendiam tapi setia. Ahli dalam teknik tombak dan pertahanan.

Anak Kedua — rambut acak-acakan, senyum lebar, pipinya selalu tampak seperti habis tertawa.

Nama: Rana Kalyana

Karakter: Ceria, banyak bicara, suka membuat lelucon. Senjata andalan: gada kayu dan lempar tali. Anak tunggal dari keluarga pendekar keliling.

Anak Ketiga — rambut lurus sebahu, digelung setengah, matanya sipit, cara bicara lembut dan tenang.

Nama: Sagara Narapati

Karakter: Bijak dan penuh pertimbangan. Senjata: tongkat panjang. Anak seorang panglima laut di daerah barat Mandalagiri.

Rana yang pertama bicara. “Boleh kami duduk di sini?”

Ishvara menoleh dengan tatapan datar. “Kalau kalian tak berisik.”

“Siap, Nona Pemimpin,” Rana mengangkat tangan penuh gaya. Kiranti tertawa kecil, sementara Agra dan Sagara sudah duduk tanpa suara.

Percakapan santai pun dimulai.

Kiranti: “Kalian terlambat masuk tadi pagi. Dipanggil komandan, ya?”

Sagara: “Iya, kami disuruh perkenalan dulu dengan pelatih keluarga kami.”

Rana: “Sebenarnya Agra yang bikin lama. Dia latihan sabet terus sampai kaptennya kesal.”

Agra: (pelan) “Itu… demi evaluasi pegangan tangan.”

Ishvara: “Hm. Kalian semua dari keluarga tentara?”

Agra: “Kami bertiga anak ksatria aktif, ya.”

Rana: “Tapi jangan takut. Kami tidak gigit.”

Kiranti: “Kecuali Agra. Dia diam-diam suka mengintai dari balik tombak.”(tawa ringan pecah di meja mereka)

Mereka berlima makan dengan suasana penuh canda. Tak ada tekanan. Tak ada gelar bangsawan. Hanya lima anak baru yang mencoba saling mengenal di tengah dunia keras.

Setelah makan, ketiga anak laki-laki itu berdiri dan menunduk hormat.

Sagara: “Kami pamit. Mau ambil perlengkapan latihan.”

Rana: “Sampai nanti di lapangan, putri-putri naga!”

Begitu mereka pergi, Ishvara menghela napas panjang. “Lega. Mereka tidak menjengkelkan.”

Kiranti: “Malah seru. Aku suka yang cerewet seperti Rana.”

Mereka masih duduk beberapa menit, menunggu lonceng berikutnya. Saat itulah terdengar suara ceria:

“Heeeei… El!”

Ishvara menoleh dan mendapati Raviendra Van der Lindt—kakak tirinya—melambai sambil membawa nampan makan siang yang terlalu penuh untuk ukuran anak seusianya.

Raviendra mengenakan selempang biru kehijauan khas siswa Kelas Dasar 3-C.

Wajahnya tampan, rambut hitamnya diikat ke belakang ala bangsawan Windmills. Ia duduk di bangku sebelah Kiranti tanpa izin, lalu langsung menyendok sayur ke mulutnya.

Raviendra: “Jadi ini temannya Elva? Wah, cantik juga ya.”

Ishvara: (dingin) “Ravi, jangan mulai.”

Raviendra: “Hehe. Nama kamu siapa, nona?”

Kiranti: (tersenyum santai) “Kiranti Wisanggeni.”

Raviendra: “Wisanggeni? Wah, keluarga pelempar shuriken? Pantas auranya misterius…”

Kiranti: “Dan kamu… kakaknya Ishvara?”

Raviendra: “Kakak tiri, tepatnya. Aku Raviendra. Ahli sihir yang lebih suka tidur daripada latihan pedang.”

Ishvara: “Dan karena itu dia di kelas 3-C. Satu-satunya yang lulus tahun lalu karena nilai sihir, bukan duel.”

Raviendra: “Hei! Jangan bongkar aibku!”

Tawa pun kembali terdengar. Raviendra menyelesaikan makan dengan cepat. Ia berdiri, mengibaskan selempangnya.

Raviendra: “Baiklah. Sampai nanti, adik kecilku yang menyebalkan… dan nona misterius dari Wisanggeni!”

Kiranti: “Sampai jumpa, Kak Ravi.”

Tak lama, lonceng berbunyi keras. Waktunya sesi latihan sore.

Komplek Lapangan Garuda — Latihan Senjata Dasar

Ishvara dan Kiranti cepat-cepat berganti pakaian latihan: tunik pendek berlengan setengah, pelindung tangan ringan, dan sabuk kulit dengan lambang naga sayap satu. Mereka membawa pedang kayu replika masing-masing, lalu bergegas ke Komplek Lapangan Garuda di bagian utara kampus.

Komplek itu merupakan bangunan tertutup dengan dinding tinggi, beratap besi ringan, dan jendela-jendela kecil tinggi yang membiarkan cahaya masuk secara diagonal. Di dalamnya, lapangan dibagi menjadi tiga bagian: latihan individu, latihan berpasangan, dan arena duel.

Murid-murid Kelas Dasar 1-A telah berkumpul membentuk barisan. Pedang kayu, tongkat, dan senjata replika terselip di pinggang mereka.

Masuklah seorang guru perempuan—berambut pendek bergaya tomboy, mengenakan pakaian latihan hitam-hijau, bahunya kuat, dan senyum lebarnya memancarkan aura tantangan.

“Selamat sore, anak-anak!” serunya lantang.

“Aku Guru Irekta Banyuaji. Aku bukan guru tetap. Tapi aku dijamin lebih galak dari guru tetap kalian.”

Beberapa anak menelan ludah.

“Hari ini kita mulai dari gerakan dasar: pegangan, postur, dan dua teknik serangan ringan. Dan kalau kalian cukup berani—kita tutup dengan duel ringan. Yang jatuh duluan? Ya… jatuh!”

Sorak kecil terdengar di antara murid-murid.

Ishvara menatap Kiranti.Kiranti tersenyum lebar.

“Siap?” bisik Kiranti.

“Selalu,” jawab Ishvara tegas.

Scene ditutup dengan seluruh murid mulai mengambil posisi di tengah arena latihan, di bawah pengawasan Guru Irekta, suara derap kaki, dan dentingan kayu mulai memenuhi ruangan…

Latihan Senjata & Duel Pertama

Di bawah langit-langit tinggi bangunan latihan Komplek Lapangan Garuda, suara hentakan kaki dan desingan kayu bersahutan. Seluruh murid Kelas Dasar 1-A telah siap dengan senjata kayu masing-masing, mata-mata kecil mereka menyala penuh rasa ingin tahu, gugup, dan semangat.

Guru Irekta Banyuaji berjalan di antara mereka seperti singa betina mengamati mangsanya.

“Pegangan sudah benar?” suaranya lantang. “Postur? Pandangan mata? Nafas? Kalau kalian tidak bisa mengendalikan nafas, kalian akan roboh lebih cepat dari pada batang pisang kena angin!”

Beberapa anak tertawa, beberapa lainnya tegang.

Tapi lima anak menonjol sejak awal latihan:Ishvara Elvardhra, Kiranti Wisanggeni, Agra Dihantara, Rana Kalyana, dan Sagara Narapati.Langkah mereka stabil, pukulan mereka bersih, dan posisi tubuh nyaris sempurna.

Irekta menyilangkan tangan dan menyipitkan mata.

“Bagus. Kalian berlima… seolah sudah latihan sejak lahir,” katanya sambil menunjuk.“Kalian, lihat dan pelajari gerakan mereka!”

Para murid menoleh kagum saat kelima anak itu menunjukkan pola gerakan dasar—tebasan vertikal, sabetan miring, dan gerak elakan yang presisi.

Tiba waktunya sesi duel latihan.

Guru Irekta melempar gulungan undian nama.

“34 murid. Kita bagi jadi 17 pasangan. Duel satu lawan satu. Jangan takut kalah. Tak ada poin. Yang jatuh duluan, kalah.”

Nama pertama yang muncul dari gulungan:

“Ishvara Elvardhra Dra'vetha vs Agra Dihantara!”

Lapangan mendadak sunyi.

Ishvara melangkah ke arena dengan pedang kayu bermata dua di tangan. Sorot matanya tajam seperti mata elang. Rambut hitamnya bergoyang tertiup angin kecil dari ventilasi atas.

Agra menyusul, memegang tombak kayu pendek. Matanya dingin, penuh perhitungan. Ia sedikit membungkuk, memberi hormat kepada Ishvara—yang dibalas dengan anggukan cepat.

“Duel, mulai!” seru Irekta.

Duel Ishvara vs Agra

Agra maju perlahan, tombaknya menjaga jarak. Ia mencoba mengitari Ishvara seperti perisai bergerak.

Ishvara tak gentar. Ia melangkah ringan, lalu—

Brak! Sabetan pertama diarahkan ke tombak Agra, membuatnya mundur setengah langkah.

Agra membalas dengan tusukan cepat—tapi Ishvara memutar tubuh, menangkis dari samping, lalu memutar tubuhnya seperti tarian naga.

“Hyaaa!”

Pedangnya menyerempet bahu Agra—cukup keras membuat sang prajurit muda terdorong.

Agra menanamkan kakinya. Mengayun tombaknya ke arah kaki Ishvara, teknik rendah—tapi Ishvara melompat ringan, lalu mendarat dengan sabetan horizontal ke arah dada.

Agra nyaris tertangkis—namun serangan balasan Ishvara datang lebih cepat: tebasan lurus dari atas, lalu putaran kaki memukul sisi lutut Agra.

Agra kehilangan keseimbangan—

Dorr!

Tubuhnya terdorong keluar garis arena.

“Pemenang: Ishvara Elvardhra!” seru Guru Irekta, tersenyum bangga.

Suara tepuk tangan dari beberapa murid. Agra bangkit, mengusap debu dari lengan, lalu menunduk dalam-dalam pada Ishvara.

Ishvara membalas hormat.Tak ada senyum. Tapi dalam hati, ia menghormati lawannya.

Nama berikutnya:

“Kiranti Wisanggeni vs Rana Kalyana!”

Arena diganti. Kiranti melangkah dengan gerakan ringan, lincah, pedang kayu katana di tangan. Rambut keunguannya terikat rapi.

Rana sudah ada di ujung satunya—dengan gada kayu besar di tangan kanan dan tali senjata melingkar di pinggang.

“Duel, mulai!”

Duel Kiranti vs Rana

Rana langsung melompat maju seperti harimau, mengayunkan gada dengan satu tangan. Kiranti melompat ke samping, gerakannya lentur dan senyap seperti ninja.

Tebasan cepat! Kiranti menyerang dari sisi, tapi Rana berguling dan menangkis dengan gagang gada.

Kiranti menggunakan jurus kilat: tusukan, lalu tendangan, lalu putaran tubuh. Tapi Rana berhasil menahan—dan melemparkan tali senjatanya ke arah kaki Kiranti!

“Ups—” Kiranti terpeleset. Namun ia memotong tali dengan ujung katana kayunya dan kembali berdiri.

Rana maju lagi—tekanan semakin intens. Kiranti menahan, menahan… lalu—salah langkah.

Rana menyikut tubuhnya dari samping, lalu menendang kaki Kiranti keluar dari titik tengah arena.

“Pemenang: Rana Kalyana!”

Tepuk tangan kembali terdengar. Kiranti menghela napas, lalu tertawa kecil.

“Kau beruntung, si tukang lelucon.”

Rana: “Bukan beruntung. Gada ini sudah menunggu hari pembalasan.”

Mereka saling tertawa dan saling tos.

Guru Irekta mencatat hasil duel dengan cepat, lalu berdiri di depan semua murid.

“Duel selesai. Kalian hebat! Tapi ingat, ini baru permulaan. Besok—kita naik ke teknik gerak maju-mundur, dan latihan gabungan senjata.”

“Latihan selesai!”

Lonceng berbunyi. Suara menggema di seluruh kompleks.

Ishvara dan Kiranti saling pandang, lalu bergegas ke ruang ganti. Tubuh mereka basah oleh peluh, tapi sorot mata mereka menyala oleh semangat.

“Kau keren tadi,” ucap Kiranti sambil mengganti bajunya.“Begitupun kamu. Tapi kita akan balas nanti, ya.”

Mereka tertawa kecil.

Setelah selesai, mereka berjalan menuruni tangga menuju pelataran, melewati taman kecil dengan pohon pinang.

Langit mulai kemerahan.

Di kejauhan, berdiri bangunan megah dengan lima lantai—berbentuk seperti mahkota bunga teratai. Itulah Wisma Srikandi, asrama perempuan.

Mereka melangkah pulang, melewati gerbang utama asrama yang dijaga dua patung naga putih. Hari pertama yang melelahkan telah usai.

Namun perjalanan di Akademi Tirabwana… baru saja dimulai.

Malam Pertama & Bayangan dari Masa Lalu

Langit Mandalagiri malam itu bertabur bintang, bulan menggantung setengah lingkaran di antara awan tipis. Angin malam membawa aroma kayu basah dan bunga kenanga dari taman-taman dalam kompleks akademi.

Setelah selesai latihan dan mengganti pakaian santai dari bahan katun lembut berwarna biru tua, para murid berjalan berbaris menuju Aula Makan yang terletak di sayap timur lantai 1 dari gedung utama akademi.

Aula makan adalah ruang luas dengan atap dari kayu kelapa tua, dilapisi kain merah marun yang menggantung elegan seperti tirai kerajaan. Pilar-pilar dari batu kali hitam menjulang kokoh, diukir bentuk naga dan garuda yang seakan mengawasi mereka semua.

Meja-meja panjang telah terisi piring tanah liat berisi nasi putih, sayur rebung santan, telur rebus kecap, dan irisan daging panggang. Murid-murid duduk dengan tenang namun wajah mereka tampak puas—perut kosong memang musuh latihan yang berat.

Ishvara duduk di ujung meja bersama Kiranti. Di hadapan mereka, Sagara, Agra, dan Rana berbincang santai.Tak ada percakapan serius malam itu—hanya cerita-cerita pendek soal duel tadi dan tawa ringan.

Setelah makan selesai, seluruh murid dipanggil kembali ke asrama masing-masing.

Wisma Srikandi, Lantai 2

Ishvara dan Kiranti menempati kamar nomor 8 di lantai 2. Setiap kamar di Wisma Srikandi—gedung lima lantai berbentuk mahkota bunga teratai—menampung 10 orang. Dindingnya dihiasi lukisan bunga padma dan potret Ratu-Ratu besar Mandalagiri dari masa lampau.

Ishvara duduk di ranjangnya, mengikat rambut dengan pita hijau. Kiranti duduk di jendela, melihat langit malam dengan sorot mata tenang.

“Kiranti...” gumam Ishvara, “...apa menurutmu, semua orang yang berdarah kegelapan pasti jahat?”

Kiranti menoleh, mata merahnya bercahaya samar. “Nggak semua. Tapi... kalau orang itu pernah membuat dunia gelap, bayangannya bakal lama hilangnya.”

Ishvara hanya terdiam.

Di Tempat Lain, Hutan Kecil Akademi

Namun tak jauh dari gedung utama, tersembunyi di balik semak belukar dan pepohonan rindang, suasana berbeda mengintai malam itu.

Di sebuah hutan kecil di sisi barat kompleks, beberapa murid tingkat atas—berusia sekitar 15–16 tahun—berkerumun mengelilingi seorang anak laki-laki yang tampak babak belur, tersandar di pohon besar.

Ananda—nama anak itu.

Wajahnya tampan, dengan rahang tegas dan sorot mata yang tajam. Rambut hitamnya dibiarkan berantakan, tapi bahkan dalam keadaannya yang menyedihkan, ada aura tenang dalam dirinya. Ia dikenal pendiam dan selalu menyendiri. Sudah 8 tahun ia belajar di akademi ini… dan 8 tahun pula ia menjadi sasaran.

Salah satu perundung, pemuda tinggi besar dengan bekas luka di dagunya, menarik kerah Ananda dan mendorongnya ke tanah.

“Anak siapa kamu, hah? Anak pahlawan? BUKAN. Kamu itu anak Lodra Wahana, si bajingan pengkhianat!”

Yang lain menyeringai, tertawa mengejek.

“Dia pikir bisa jadi pendekar! Hei, kalian tahu gak? Ayahnya hampir bikin kita semua jadi budak iblis! Mahishasura mau bangkit lagi waktu itu!”

“Bayawira kapten selatan, bukan? Kapten MONYET LIAR! HAHAH!”

Ananda hanya menunduk, tak menjawab.

Seorang lagi menendang perutnya.

“Diam ya?! Sudah bawa aib, malah diam. Harusnya kamu nggak diterima di sini, tahu gak?! Harusnya kamu dikirim ke penjara kayak ayahmu!”

Ananda jatuh ke tanah, napasnya berat. Tapi matanya tetap dingin… dan sunyi.

Pemuda pertama mengeluarkan tali dari sakunya dan mengikat Ananda ke pohon besar.

“Biarkan dia di sini. Biar dia tahu rasa. Biar pohon ini ingat siapa yang pernah mengkhianati Mandalagiri.”

Mereka semua tertawa, menepuk bahu satu sama lain, lalu pergi meninggalkan Ananda dalam kegelapan malam.

Ananda hanya diam.

Langit malam berkilauan, tapi hatinya seakan tenggelam dalam kelam. Angin menerpa pelan wajahnya, membelai luka-luka di pipi dan lengan.

Ia menutup matanya perlahan, mengingat sesuatu. Wajah ibunya Lintang Sekar yang sudah berpisah dengan ayahnya. Dan ayahnya… Lodra Wahana… yang dulu ia lihat terakhir kali tiga tahun lalu saat dibebaskan dari penjara, menunduk tanpa kata.

“Apakah dosa ayah akan terus diwariskan padaku…?”

Air matanya tak jatuh. Ia telah habis menangis sejak kecil. Yang tersisa hanya diam.

Penutup Bab

Angin malam bertiup pelan melewati dedaunan, menggoyang ranting pohon tempat Ananda terikat.

Dari kejauhan, burung hantu menjerit. Langit hitam berlapis bintang menyelimuti seluruh Kompleks Akademi Tirabwana yang kini mulai sunyi…

…tapi di balik keheningan itu, bayangan masa lalu belum benar-benar lenyap.

Dan nasib Ananda… baru saja ditulis ulang oleh waktu.

Fajar, Luka, dan Sebuah Rencana

Fajar baru saja menyentuh ujung atap-atap bangunan megah Akademi Tirabwana. Kabut tipis masih menggantung di permukaan rerumputan, dan cahaya matahari belum benar-benar memecah langit timur.

Di sebuah hutan kecil dalam kompleks akademi, dua sosok berseragam penjaga berjalan menyusuri jalur patroli rutin mereka. Suara burung-burung kecil mulai terdengar dari balik rimbun pepohonan.

Tiba-tiba salah satu dari mereka berhenti, matanya membelalak.

“Apa itu...?”

Terlentang di bawah pohon besar, Ananda, remaja 16 tahun dari kelas 9-C, terlihat tak berdaya. Tubuhnya penuh memar, tangannya masih terikat, wajahnya kotor dan luka.

Kedua penjaga itu langsung berlari dan melepaskan ikatan dengan cepat. Salah satu dari mereka menopang tubuh Ananda yang lemas.

“Astaga... Siapa yang tega melakukan ini di dalam area akademi?”

Ruang Perawatan Akademi, Gedung Utama Lantai 1

Ananda segera dibaringkan di atas ranjang dengan kain putih bersih. Seorang tabib perempuan mulai membersihkan luka-lukanya dan memberikan ramuan penyegar napas.

Wajah Ananda tetap diam. Matanya menatap langit-langit—kosong.

Sementara itu, kedua penjaga telah melapor ke Kepala Penjaga Kompleks Akademi, seorang pria tua berambut abu-abu pendek, berjubah biru tua, bernama Gunawira.

Kantor Kepala Penjaga — Pagi yang Berat

Kantor penjaga berada di sisi utara akademi, bangunan batu setinggi dua lantai. Di dalamnya, tampak Kepala Kirana duduk di kursinya, dikelilingi oleh rak-rak yang penuh catatan keamanan.

Salah satu penjaga melapor dengan nada berat.

“Ananda... ditemukan dalam kondisi terikat dan terluka parah di hutan kecil belakang kompleks barat, Tuan. Sepertinya semalam dia dirundung.”

Kepala Gunawirma mengangguk perlahan, wajahnya murung.

“Ini bukan pertama kalinya… Bocah itu sudah sering diganggu. Tapi dia tak pernah melapor. Selalu diam. Anak itu terlalu... tabah.”

Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke jendela sambil memandangi kabut pagi.

“Perundungan di wilayah ini harusnya tak dibiarkan. Tapi... kalian juga tahu siapa pelakunya, bukan?”

Penjaga lainnya menunduk, tak sanggup menjawab.

Tiba-tiba, suara ceria dan agak lantang terdengar dari pintu masuk.

“Kalau begitu... kenapa mereka gak pernah dihukum aja, Pak Penjaga?”

Semua menoleh.

Seorang anak laki-laki berdiri di ambang pintu, rambut hitamnya diikat rapi ke belakang. Ia mengenakan seragam pagi yang belum sepenuhnya dirapikan. Matanya tajam tapi penuh rasa ingin tahu: Raviendra Van der Lindt, murid kelas dasar 3-C.

Kepala Gunawirma mengangkat alis. “Kau dengar semua itu, Nak?”

“Hehe... Iya, maaf ya intip-intip. Tapi saya sering lihat mereka nyakitin Ananda sejak dua tahun lalu. Heran aja kok gak ada yang nangkep mereka padahal mereka jelas-jelas keterlaluan!”

Salah satu penjaga membentak.

“Bocah! Ini bukan urusanmu—pergi dari sini!”

Tapi sebelum Raviendra sempat menjawab, Kepala Gunawirma mengangkat tangan menghentikan bawahannya.

“Tunggu. Biarkan dia bicara. Anak ini bahkan lebih berani dari pada kalian. Malu kalian harusnya.”

Penjaga itu terdiam, menunduk.

Gunawirma mendekati Raviendra, menatap anak itu lekat-lekat.

“Kau cerdik... dan berani. Tapi ceritakan padaku, apa yang akan kau lakukan bila kau jadi kami?”

Raviendra tersenyum, matanya menyipit penuh semangat.

“Saya bisa bikin jebakan. Supaya mereka ketangkep basah. Biar gak bisa ngeles. Biar ada bukti dan efek jera. Mau, gak?”

Penjaga pertama mencibir. “Omong kosong bocah...”

Namun lagi-lagi Gunawirma mengangkat tangan.

“Sudah. Cukup. Tidak ada salahnya mendengarkan. Anak ini bukan anak biasa.”

Ia menunduk, menatap Raviendra lebih dalam.

“Siapa namamu, Nak? Dari keluarga mana?”

Raviendra menegakkan tubuh, membusungkan dada sedikit.

“Raviendra Van der Lindt. Kelas dasar 3-C. Ayahku... Jasana Mandira, kapten divisi Raka Lelana dari Guild Bayu Geni.”

Ruangan hening sejenak.

Kedua penjaga saling berpandangan—matanya melebar, mulut sedikit terbuka. Bahkan Kepala Gunawirma terlihat tercengang sejenak.

“Jasana Mandira… pahlawan dari Perang Besar Tirabwana delapan tahun lalu...”

Gunawirma tersenyum tipis.

“Aku tahu ayahmu. Tegas, cerdas, dan selalu punya rencana tak terduga. Sepertinya, putranya pun begitu.”

Ia mengangguk pelan.

“Baik, Raviendra. Coba Jalankan rencanamu. Tangkap mereka dengan bukti. Dan aku... akan bertanggung jawab langsung.”

Raviendra mengangguk penuh keyakinan.

“Serahkan pada saya! Tapi saya butuh waktu lama sekali buat nyusun semuanya, dan mengumpulkan bukti-bukti. Nanti saya kabari.”

Penutup Bab

Pagi pun mulai sepenuhnya merekah. Kabut menguap perlahan dari rerumputan. Di luar kantor penjaga, lonceng pertama berbunyi dari menara akademi, menandai pelajaran pagi akan segera dimulai para Murid bergegas menuju kelas Masing-masing setelah mereka selesai sarapan Pagi di Aula Makan.

Namun di balik keriuhan para murid yang bersiap, satu rencana telah mulai bergerak…

…dan sebuah keadilan kecil, mungkin sebentar lagi menemukan jalannya di Akademi Tirabwana.

Luka Lama, Suara Baru

Beberapa Minggu berlalu sejak kejadian pagi itu.

Raviendra, dengan rasa penasaran dan tekad dalam hatinya, memulai rencana awalnya—mengikuti Ananda secara diam-diam. Ia ingin tahu lebih banyak tentang pemuda pendiam dari kelas 9-C itu. Apa yang membuatnya terus diam saat dirundung? Mengapa tidak melawan? Dan... siapa sebenarnya Ananda?

Setiap hari, selesai kelas pagi atau saat jeda latihan sihir, Raviendra menyelinap diam-diam mengikuti jejak langkah Ananda yang selalu menyendiri ke sudut-sudut kompleks akademi—ke taman belakang, hutan kecil, bahkan ke ruang latihan kosong. Namun sekeras apa pun Ananda terlihat tenang, Raviendra tahu: di dalamnya ada sesuatu yang terluka.

Setelah beberapa hari, akhirnya Ananda menyadari keberadaan bayangan yang selalu mengikutinya. Tapi dia tak bereaksi. Ia hanya melirik sekali dua kali, lalu kembali berjalan. Dalam hatinya, ia sudah terbiasa… Mengira itu hanya salah satu dari para perundung yang ingin bermain kotor lagi.

Tapi hari itu berbeda.

Di balik semak belukar hutan kecil dekat danau kompleks, Raviendra sedang mengintip seperti biasanya.

“Hmmm... kalau dari gerakannya, kayaknya Ananda udah sadar nih… Tapi kenapa dia gak marah ya?”

Tiba-tiba—“BOO!!!”

“AAAAHHH!!”

Raviendra melonjak panik. Dua tangan kecil menepuk pundaknya dari belakang—ternyata itu Ishvara dan Kiranti, dua adik kelas dari Kelas Dasar 1-A.

“Kakak aneh banget sih, ngintilin orang terus,” kata Ishvara dengan nada kesal.

“Hehehe, mukamu lucu banget waktu kaget!” Kiranti tertawa lepas.

“Ssssttt!! Jangan keras-keras! Itu bisa bikin—”

“Kalian sedang apa di sini?”

Sebuah suara tenang dan dalam terdengar. Mereka bertiga sontak membeku. Ananda berdiri hanya beberapa langkah di depan mereka, menatap mereka tanpa ekspresi.

Namun tak seperti yang mereka bayangkan… ia hanya mendesah ringan.

“Oh, cuma anak-anak kelas dasar rupanya. Kupikir siapa.”

Ia mendekat perlahan, lalu—mengulurkan tangan ke arah Raviendra.

“Namaku Ananda.”

Raviendra berdiri kikuk, lalu cepat-cepat menyambut tangannya.

“Raviendra! Hehehe... Teman-temanku manggil aku Rave. Tapi kamu bisa panggil aku yang lebih keren kalau mau!”

“Jijik,” celetuk Ishvara dengan mata menyipit kearah Raviendra, Lalu Beralih Kearah Ananda "Aku Ishvara".

“Aku Kiranti,” ucap Kiranti, tersenyum lembut.

Untuk pertama kalinya, senyum kecil terbentuk di wajah Ananda. Ada sesuatu yang hangat dan ringan di udara hari itu—sesuatu yang jarang ia rasakan.

Beberapa saat kemudian, mereka duduk melingkar di akar besar sebuah pohon tua.

Canda tawa masih terdengar, terutama dari Raviendra yang suka bertingkah konyol. Namun tiba-tiba, suasana berubah ketika Raviendra memandang Ananda dengan serius.

“Kau kuat, Ananda. Kau tenang, tangguh, dan punya teknik bertarung dengan tongkat yang gak main-main.”

“Tapi kenapa kau selalu diam? Kenapa membiarkan mereka merundungmu?”

Hening.

Ananda menunduk. Jemarinya meremas rumput.

“Karena aku… pantas menerimanya.”

Raviendra, Ishvara, dan Kiranti saling berpandangan—bingung.

Ananda menarik napas panjang. Lalu ia mulai bercerita.

“Salah satu yang paling sering merundungku adalah Wiryakusuma. Ketua Geng kelompok-nya dan Anak kelas 9-A. Anak seorang prajurit.”

“Ayahnya... gugur dalam Perang Besar Tirabwana delapan tahun lalu.”

“Dan menurutnya... kematian ayahnya disebabkan oleh Lodra Wahana, ayahku.”

Ia menatap ke langit, sorot matanya tajam tapi kelam.

“Ayahku... dulunya Kapten Selatan Bayawira. Dia pernah berada di pihak yang salah—sisi yang dikuasai oleh Mahishasura. Tapi sebelum akhir perang, ia membelot dan membantu pasukan Mandalagiri. Bahkan ia terluka parah saat menyelamatkan pasukan Gabungan Mandalagiri.”

“Meski begitu... karena masa lalunya, dia tetap dihukum. Lima tahun penjara. Ringan, katanya. Tapi... tak cukup bagi orang-orang seperti Wiryakusuma.”

“Sejak tahu aku anak Lodra Wahana… aku jadi sasaran. Baginya, darah ayahku kotor. Dan karena itu, aku pun sama.”

Ananda menarik napas berat. Suaranya bergetar.

“Dan aku pun... mulai percaya bahwa aku memang pantas disalahkan.”

Raviendra mengatupkan mulutnya, menatap Ananda tajam.

“Kau salah.”

Nada suaranya berubah—serius dan dalam, berbeda dari Raviendra yang ceria biasanya.

“Dendam yang tak dihadapi bisa jadi racun. Semakin lama kau membiarkan dirimu disiksa, semakin besar racun itu tumbuh dalam dirimu.”

“Bayawira dulunya juga tercipta dari dendam kecil yang dianggap remeh.”

“Kau bukan bayangan ayahmu, Ananda. Seorang anak lahir tanpa membawa dosa siapa pun. Kau punya pilihan—tenggelam dalam luka, atau bangkit dan menyembuhkan luka orang lain.”

Ishvara, yang biasa sinis terhadap kakaknya, hanya diam. Sementara Kiranti menatap Raviendra, terkejut melihat sosok anak laki-laki ceria itu berubah menjadi seseorang yang begitu bijak dan peduli.

Ananda menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya mulai gemetar. Air mata menetes.

“Selama ini… aku menahan semuanya… aku mencoba kuat… tapi…”

Ia berlutut. Suara tangisnya pecah. Semua emosi yang selama ini tertahan akhirnya tumpah.

Raviendra segera mendekat, memeluk Ananda erat-erat.

“Keluarkan semua itu, Ananda. Tangismu bukan tanda kelemahan. Itu awal penyembuhan.”

“Mulai sekarang… maukah kau menjadi temanku?”

Ananda perlahan mengangguk. Lalu berkata lirih di antara tangisnya.

“Terima kasih… Raviendra…”

Kiranti mendekat, menggenggam tangan Ananda.

“Kami juga, Ananda. Kita teman sekarang.”

Ishvara—meski agak enggan—akhirnya mengangguk.

“Tapi jangan pikir aku bakal memanjakanmu. Kalau kau menyebalkan, tetap kubentak.”

Ananda tertawa kecil di antara isaknya. Suatu tawa yang belum pernah ia keluarkan selama bertahun-tahun.

Penutup Bab

Matahari tengah hari menyinari hutan kecil itu.

Burung-burung bernyanyi dari pucuk pepohonan, dan angin berembus lembut membelai dedaunan. Di tengah cahaya itu, empat anak duduk dalam lingkaran pertemanan yang baru terjalin—tapi tampaknya akan bertahan lama.

Hal ini berakhir dengan harapan baru… dan awal perubahan.

Hari-hari berlalu dengan lebih hangat bagi Ananda. Di sela-sela waktu istirahat, ia kini tak lagi sendirian. Raviendra, Ishvara, dan Kiranti menjadi cahaya kecil yang perlahan mengusir bayangan kelam dalam hatinya. Tawa mereka yang riang, obrolan ringan hingga saling menggoda menjadi warna baru yang belum pernah Ananda rasakan sejak ia menjejakkan kaki di Akademi Tirabwana.

Namun, bagi sebagian mata yang mengintai dari balik rasa benci dan dendam, pemandangan itu memuakkan.

Di antara para murid lain yang sedang makan siang di aula makan, Wiryakusuma duduk bersama geng-nya. Matanya menyipit, penuh jijik menatap kebersamaan Ananda dan tiga bocah kelas dasar itu.

"Menjijikkan…" gumamnya lirih namun penuh racun.

Tak tahan melihat itu lebih lama, Wiryakusuma berdiri, diikuti gerombolannya. Mereka berjalan mendekati meja tempat Ananda, Raviendra, Ishvara, dan Kiranti tengah menikmati makan siang sambil tertawa.

"Heh." Wiryakusuma menghentakkan suara, membuat keempatnya menoleh. "Kalian benar-benar tidak tahu diri, ya. Duduk bersama anak dari pengkhianat? Dasar bodoh, kalian semua tertipu."

Ananda menunduk. Wajahnya tidak menunjukkan kemarahan, hanya luka yang lama tergores.

Namun sebelum Ishvara sempat bersuara, Raviendra meletakkan sendoknya, menoleh dengan senyum usil khasnya.

"Ohh, Paman Wiryakusuma... katanya sih Ananda anak pengkhianat, tapi kok ya dia jauh lebih baik dari Paman dan gerombolan Paman," ucap Raviendra dengan nada konyol dan polos.

Seketika tawa Kiranti pecah. Bahkan Ananda sedikit tersenyum. Ishvara hanya menutup wajahnya dengan tangan, menghela napas. “Ravi lagi…”

Wajah Wiryakusuma memerah. "APA KAU BILANG?! PAMAN? DASAR BOCAH INGUSAN!!" Dengan amarah meledak-ledak, tangannya melayang ke arah pipi Raviendra dan—PLAK!—tamparan keras itu membuat tubuh Raviendra terhuyung dan jatuh ke belakang.

Kiranti menjerit kecil, dan Ananda segera bangkit. "Cukup, Wiryakusuma! Anak ini tidak salah apa-apa. Kalau kau mau merundung, rundunglah aku!"

Namun Ishvara, yang sedari tadi diam, mengangkat wajahnya. “Kalian… sudah mengganggu makan siang kami.”

Wiryakusuma melirik ke arahnya dan tersenyum miring.

"Ohh, gadis kecil. Ternyata wajahmu lumayan juga…"

Tangannya terulur ke arah wajah Ishvara.

Namun sebelum tangannya menyentuh dagu Ishvara, cegak!—tangan Raviendra yang sudah berdiri kembali mencengkeram kuat pergelangan tangan Wiryakusuma. Matanya tak lagi jenaka. Ia menatap lurus, mata hitamnya berubah menjadi keunguan itu bagai jurang dalam yang mengancam.

“Jangan sentuh adikku.”

Wiryakusuma menggertakkan gigi, berusaha menarik tangannya—namun cengkeraman Raviendra bagai terbuat dari baja, dan ada energi gelap samar yang menyelubungi tangan bocah itu.

“Agh… lepaskan!”

Raviendra mendorongnya kasar, membuat Wiryakusuma tersentak mundur. Wajahnya merah padam, antara marah dan malu. Ia menoleh pada gerombolannya, lalu menatap tajam ke arah Ananda.

“Kita lihat saja, bagaimana kalian menjalani hari-hari berikutnya di akademi ini…” katanya penuh ancaman, sebelum membalikkan badan dan pergi.

Geng-nya ikut tertawa mengejek, tapi langkah mereka cepat, seolah terburu untuk menjauh dari aura Raviendra yang tadi sempat membeku.

Hening sesaat menyelimuti aula makan. Banyak murid terdiam, menatap ke arah meja mereka dengan terkejut. Beberapa bahkan mulai berbisik-bisik.

Kiranti masih menunduk, memegangi tangan Raviendra. “Kau nggak apa-apa?”

Raviendra mengedip dan tersenyum sok kuat. “Tampangku masih utuh kan? Jadi tenang aja~”

Ishvara menghela napas berat. “Kau itu... selalu buat masalah.”

Ananda menatap Raviendra, kali ini dengan sorot yang berbeda—lebih hangat. “Terima kasih... Raviendra.”

Raviendra mengangkat bahu. “Sudah kubilang, aku temanmu sekarang, kan?”

Scene ditutup dengan gambar para murid yang mulai berbicara satu sama lain, aula makan yang riuh dengan bisik-bisik, dan keempat sahabat itu yang tetap duduk bersama, walau awan gelap tampak mulai menggantung di atas kepala mereka.

Kelas Dasar 1-A

Siang Menjelang Senja di Pelajaran terakhir hari itu diwarnai cahaya keemasan yang masuk dari jendela-jendela tinggi. Di dalam ruangan, para murid duduk tegak di atas bangku-bangku ukiran kayu jati, mengenakan seragam rapi dengan syal kecil berwarna hijau yang menandakan kelas diplomasi.

Di depan kelas, berdiri sosok wanita tinggi dengan postur anggun dan mata tajam penuh wibawa. Guru Lirisya Ankaran, dengan rambut disanggul rapi dan suara lembut namun tegas, sedang menjelaskan tata gerak memberi salam kerajaan dalam upacara resmi.

“Anggukan setengah, bukan membungkuk penuh... tangan kanan ke dada, bukan di pinggang. Dan senyum—bukan meringis,” ucap Lirisya sambil memberi contoh.

Beberapa murid mengangguk penuh perhatian. Di antara mereka, Kiranti tampak sangat menonjol. Gerakannya luwes, senyum manisnya tepat waktu, dan sorot matanya memancarkan ketenangan khas bangsawan sejati. Bahkan guru Lirisya beberapa kali memujinya.

Namun suasana berubah saat giliran Ishvara Elvardhra Dra'vetha maju ke depan.

Dengan langkah mantap, wajahnya tanpa senyum, dan mata tajam bagaikan sedang hendak menantang duel, Ishvara berdiri di depan kelas. Ia mencoba menirukan gerakan yang tadi dicontohkan, tapi...

Salamnya terlalu cepat, matanya menyipit curiga, dan bibirnya tak bergeming sedikit pun.

Lirisya menahan senyum. “Ishvara... senyum yang hangat, bukan seperti ingin menggigit lawan duelmu.”

Tawa pelan terdengar dari Kiranti dan beberapa teman. Ishvara mendesah dengan kesal, kemudian menoleh pada gurunya.

“Saya rasa... senyum hangat itu bukan spesialisasi saya, Bu Guru.”

Guru Lirisya tersenyum sabar. “Itulah mengapa kamu belajar, Ishvara. Seorang bangsawan bukan hanya harus kuat, tapi juga mampu membuat orang nyaman... bahkan musuhnya sekalipun.”

Ishvara kembali ke bangkunya dengan wajah masam. Kiranti menepuk pundaknya pelan. “Kau tadi lucu sekali, Ishvara.”

“Jangan panggil aku lucu,” sahut Ishvara cepat. “Aku bukan boneka.”

Waktu berjalan cepat. Tak terasa lonceng besar berbunyi tiga kali, pertanda hari pelajaran berakhir. Langit di luar mulai berubah jingga, dan para murid mulai berkemas pulang.

Namun di kelas itu, Ishvara dan Kiranti masih tertinggal. Cahaya senja menyinari meja mereka yang kini mulai sepi.

Ishvara duduk dengan tangan menopang dagu. “Kiranti... ajari aku cara menjadi bangsawan yang... anggun.”

Kiranti menoleh, senyumnya mengembang. “Akhirnya kau mengaku juga.”

“Aku tidak mengaku. Aku cuma... tak ingin nilainya jelek.”

Kiranti tertawa pelan, lalu berkata, “Cobalah sesekali bersikap manis dan ceria. Orang akan merasa nyaman. Itu bagian dari diplomasi.”

Ishvara langsung meringis. “Ugh... menjijikkan. Aku lebih suka berlatih pedang.”

Kiranti memeluk perutnya sambil tertawa. “Itulah kau. Tapi jangan khawatir. Kita bisa berlatih bersama. Mungkin kamu bisa tersenyum sambil mencabut pedang... siapa tahu itu cukup anggun.”

Ishvara menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada lesu, “Nilai ujian diplomasi berikutnya pasti membuatku ingin menghilang ke Alam Kalathraya.”

Di luar jendela, matahari mulai tenggelam, menyinari kompleks Akademi Tirabwana dengan cahaya emas yang hangat. Bangunan Utama berbentuk kaki naga berlantai 5 berkilau terkena sinar senja, sementara para murid berjalan perlahan menuju asrama masing-masing.

Dari balik kaca, dua gadis muda—berbeda latar dan darah—tertawa kecil bersama, duduk di ujung ruang kelas yang kini sepi. Sebuah awal dari persahabatan dan pelajaran yang jauh lebih besar dari pada sekadar tata cara memberi salam.

Ruang Dewan Siswa – Senja Hari

Beberapa Bulan Kemudian.

Matahari sudah hampir tenggelam di balik tembok tinggi Akademi Tirabwana, menyisakan semburat jingga yang menyapu jendela kaca besar di Ruang Dewan Siswa, ruangan istimewa yang terletak di lantai tiga gedung utama akademi. Dinding-dindingnya dihiasi lambang naga berkepala lima dan bendera mini tiap kelas. Sebuah meja panjang bundar dari kayu cendana tua berada di tengah ruangan, dikelilingi oleh kursi ukiran berlapis kain beludru hijau zamrud.

Di ujung meja, duduk Puteri Lintang Jayaswari, sang Ketua Dewan Siswa, dengan pakaian seragam resmi akademi yang dilapisi selendang kecil berwarna emas—lambang ketua Dewan Siswa. Rambut panjangnya diikat rapi dengan pita perak, dan sorot matanya memancarkan wibawa lembut namun tak tergoyahkan.

Di sebelah kanannya, duduk Aditya Yudhanagara, Wakil Ketua Dewan Siswa, mengenakan jubah hitam formal. Wajahnya begitu rupawan dan tenang, hingga beberapa anggota perempuan (dan bahkan satu-dua lelaki) terlihat mencuri pandang, pipi mereka memerah tanpa sadar.

Puteri Lintang mengetuk meja kayu dengan lembut. “Rapat kita sore ini resmi dibuka,” ucapnya dengan suara tenang dan jelas. “Topik utama: Persiapan untuk Festival Kreativa Mandalagiri minggu depan.”

Beberapa anggota langsung berseru kecil, “Akhirnya!” atau “Waktunya pesta!”

Lintang tersenyum kecil. “Ingat, ini acara tahunan kita. Dan tahun ini, kita ingin membuatnya lebih meriah dari sebelumnya.”

Aditya melanjutkan dengan suara lembut namun berwibawa. “Festival Kreativa Mandalagiri akan berlangsung selama 7 hari penuh. Setiap kelas, dari Dasar, Menengah, hingga Lanjutan, diberi kebebasan penuh untuk menghias ruang kelasnya sesuai tema yang mereka pilih: Panggung Pertunjukan, Kafe Bertema, Arena Permainan, Galeri Seni, Simulasi Dunia Fantasi, bahkan Rumah Hantu jika mereka mau.”

Salah satu anggota, siswa dari Kelas Menengah 6-B, mengangkat tangan. “Apakah kami boleh berkolaborasi lintas kelas?”

Lintang mengangguk. “Boleh. Selama tidak menimbulkan bentrokan dan tetap menjaga aturan akademi.”

Seorang anggota lain, dari Kelas Dasar 3-A, berkata antusias, “Aku dengar kelas 9-A tahun lalu bikin simulasi perang mini yang luar biasa. Tahun ini kami ingin mencoba buat Rumah Misteri. Tapi... boleh pakai sedikit ilusi sihir?”

Aditya tersenyum samar. “Selama tidak membahayakan atau membuat orang trauma. Gunakan sihir kelas rendah dan harus diawasi minimal oleh satu murid senior.”

Puteri Lintang menambahkan, “Dan ingat, kreativitas adalah poin utama. Tapi sikap sportif dan gotong royong akan kami nilai lebih.”

Seorang anggota mencatat dengan cepat. “Apakah akan ada penjurian, Puteri?”

Lintang mengangguk. “Akan ada tiga juri: Satu dari dewan guru, satu dari dewan siswa, dan satu perwakilan alumni yang diundang khusus.”

Anggota perempuan dari Kelas Menengah 6-C berbisik pada temannya sambil melirik Aditya. “Kalau Aditya-san yang jadi juri... aku rela kelas kami kalah asal bisa dilirik,” bisik mereka, membuat beberapa lainnya tertawa pelan.

Aditya hanya mengangkat alis pelan dan tersenyum—senyum itu cukup membuat setengah meja jadi gaduh sesaat.

Lintang mengetuk meja lagi. “Fokus, para anggota dewan. Kita punya waktu satu minggu. Mulai malam ini, edaran aturan dan petunjuk teknis akan dikirim ke tiap wali kelas. Aku minta kalian bantu koordinasi dengan tiap ketua kelas masing-masing.”

Aditya lalu berdiri perlahan dan berkata, “Festival ini bukan hanya ajang hiburan. Tapi juga tempat kita melihat siapa yang mampu memimpin, bekerja sama, dan menciptakan keajaiban dari keterbatasan. Jadikan ini sebagai pesta kreatif sekaligus latihan diplomasi kalian.”

Ruang rapat menjadi hening sejenak sebelum pecah oleh tepuk tangan pelan yang semakin membesar. Suasana terasa penuh semangat dan harapan.

Lintang menutup rapat dengan senyum. “Baik, Festival Kreativa Mandalagiri resmi dijadwalkan mulai Hari Senin depan. Sampai saat itu, mari kita bekerja bersama dan pastikan tahun ini jadi tahun paling mengesankan.”

Di luar jendela besar ruang rapat, mentari senja menenggelamkan dirinya di balik gunung-gunung kabut jauh di selatan. Cahaya jingga membias di langit, sementara dari kejauhan, Akademi Tirabwana berdiri megah, menantikan pekan yang penuh semangat, warna, dan kejutan.