Cahaya di Balik Pekan Kreativa
Pagi itu, langit di atas Akademi Tirabwana berwarna biru lembut, dihiasi awan-awan tipis seperti sapuan kuas di atas kanvas. Burung-burung kecil khas Tirabwana bernyanyi riang di pucuk-pucuk pohon tanjung putih, mengiringi langkah para murid yang baru saja selesai menyantap sarapan mereka di aula makan. Senyum, tawa ringan, dan langkah kecil bergema di koridor batu yang mengarah ke ruang-ruang kelas.
Di antara kerumunan itu, Ishvara dan Kiranti berjalan beriringan, dengan semangat yang tak surut meski tiga bulan sudah berlalu sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki di Akademi. Kehidupan di Akademi kini bukan lagi misteri—melainkan panggung petualangan yang mereka nikmati dengan penuh rasa ingin tahu.
Bahkan di antara siswa dari kelas lain—1-B dan 1-C—nama mereka mulai dikenal. Ishvara dengan kecerdasannya yang tajam dan ketegasan pembawaannya, serta Kiranti dengan keanggunan misterius dan keahlian bertarung yang memesona. Mereka berdua tak hanya menonjol karena bakat, tapi juga karena keberanian dan rasa solidaritas tinggi yang tak mudah ditemukan pada usia semuda mereka.
Begitu mereka masuk ke dalam kelas 1-A, suasana sudah terasa berbeda. Di antara cahaya lembut yang masuk melalui jendela tinggi yang menghadap Taman Meditasi, Guru Arwayana telah berdiri di depan kelas dengan tongkat kayu panjangnya, disampirkan di balik jubah putih-gading yang berkilau lembut.
“Anak-anak,” suara Arwayana terdengar tenang tapi penuh wibawa, “Minggu depan kita akan menyambut salah satu acara tahunan terbesar Akademi ini…”
Beberapa murid segera duduk tegak. Beberapa lainnya bersandar ke depan dengan mata penuh antusias.
“Namanya Festival Kreativa Mandalagiri, dan akan berlangsung selama sepekan penuh. Setiap kelas—baik dasar, menengah, maupun lanjutan—akan mendapat kesempatan untuk menampilkan kreativitas dan kekuatan kolaborasi mereka.”
Mata Kiranti berbinar. Ishvara mengangkat alis, tertarik.
“Untuk kelas 1-A, kalian bebas menata ruang kelas menjadi apa pun. Panggung pertunjukan, pameran artefak kuno, rumah misteri, atau bahkan drama kerajaan... semua bisa kalian wujudkan,” lanjut Arwayana, tersenyum melihat respons para murid yang mulai berbisik penuh semangat.
“Dan… jika kalian cukup beruntung, Keluarga Kerajaan sendiri mungkin datang berkunjung. Setiap kelas akan dinilai oleh tiga juri—dari Dewan Guru, Dewan Siswa, dan seorang Alumni terpilih. Jadi, pastikan kelas kita menonjol.”
Tangan-tangan kecil mulai terangkat. Beberapa anak sudah tak sabar ingin mengusulkan ide. Namun Guru Arwayana hanya mengangkat satu jari, menenangkan.
“Kita akan bahas ide kalian setelah mata pelajaran pagi ini. Gunakan waktu ini untuk merenung dan berdiskusi singkat. Hari Sabtu dan Minggu, kalian bebas datang untuk mulai menghias.”
Kiranti menoleh ke Ishvara dengan semangat. “Aku mau kita buat rumah misteri! Dengan suara-suara sihir dan pintu tersembunyi!”
Ishvara menyeringai kecil. “Rumah misteri terlalu umum. Bagaimana kalau kita gabungkan unsur sejarah kerajaan, benda sihir, dan drama di satu ruang? Seperti... ‘Ruang Rahasia Keturunan Mandalagiri’.”
Kiranti tampak berpikir, matanya menyipit, lalu ia mengangguk. “Boleh juga. Bikin jantung para pengunjung deg-degan dan berpikir sekaligus.”
Suasana kelas jadi lebih hangat dan hidup, tapi seketika hening saat Guru Arwayana mengetuk papan dengan ujung tongkatnya.
“Sekarang waktunya pelajaran Matematika Kerajaan.”
Beberapa murid mendesah berat, bahkan ada yang berpura-pura jatuh pingsan di meja. Tapi tidak dengan Ishvara. Ia malah duduk tegak, mengambil pena dan perkamen dengan penuh semangat.
Kiranti yang melihat itu mengangkat satu alis, lalu meraba dahi Ishvara sambil berbisik, “Kau... demam?”
Ishvara tak menoleh. “Hitung-hitungan ini seperti menyusun formasi sihir. Jauh lebih seru dari pada... Pelajaran Etika Bangsawan.”
Kiranti meringis geli, lalu tertawa pelan. “Itu sih, iya.”
Sinar matahari pagi menerobos jendela dan menyinari wajah mereka, sementara di luar jendela, Taman Meditasi tampak damai. Daun-daun berwarna kuning kemerahan berjatuhan pelan ke kolam kecil, menciptakan riak yang tenang. Sebuah angin lembut membawa aroma kenanga dan damar, seperti membisikkan bahwa hari-hari berikutnya akan penuh warna dan kejutan.
Dan di dalam hati para murid, terutama Kiranti dan Ishvara—sebuah semangat baru mulai tumbuh.
Sementara Itu, di Kelas Dasar 3-C…
Sinar matahari siang mulai menyusup ke celah-celah jendela besar ruang kelas Dasar 3-C, menyorot barisan meja kayu hitam mengilap yang tertata rapi. Ruangan terasa hidup—tidak hanya karena arsitekturnya yang megah, tapi karena suara riuh para murid yang tengah mengikuti pelajaran Etika Bangsawan.
Di depan kelas, Guru Lirisya Ankaran berdiri tegak dengan anggun. Jubah kebesarannya dari kain sutra berwarna biru safir terjatuh lembut mengikuti posturnya yang tegap. Matanya tajam, namun sorotnya tetap lembut—cerminan dari didikan bangsawan Selatan yang menekankan kesempurnaan dalam ucapan dan perilaku.
“Baiklah,” katanya dengan suara tenang namun mengandung perintah. “Kita akan melakukan simulasi diplomasi istana. Saya ingin kalian melatih gestur, intonasi, dan kesopanan dalam berbicara. Sekarang… Raviendra dan Nayala, kalian maju.”
Tawa kecil langsung menyebar di antara murid. Semua sudah tahu bahwa kalau Raviendra Van der Lindt dan Nayala Puspaloka yang maju, pertunjukan akan terjadi. Mereka berdua memang terkenal di kalangan kelas Dasar 3 sebagai Duo Jenaka—selalu berhasil membuat kelas hidup dengan gaya mereka yang unik dan sering kelewat ekspresif.
Ravi melangkah ke depan dengan dada membusung, mengenakan jubah latihan berwarna zamrud. Ia menundukkan badan rendah, melengkungkan tangan seperti seorang bangsawan tua. Suaranya dibuat berat dan bergetar.
“Salam hormatku, Yang Mulia Ratu Nayala dari Negeri Tembem nan Sejahtera. Hamba datang dengan sejuta kerinduan dan dua keranjang lada dari perbatasan selatan.”
Seisi kelas langsung meledak dalam tawa tertahan. Nayala berdiri dan melenggang ke depan seperti seorang ratu yang sedang menahan gelak. Ia menjentikkan rambut sanggul kecoklatannya dengan anggun yang berlebihan, lalu menyapu udara dengan kipas kayu gading.
“Kami sambut kau, Bangsawan Dagang Raviendra, dengan tangan terbuka… dan dompet tertutup.” Dia memutar badan sambil menahan cengiran.
“Luar biasa!” Ravi pura-pura jatuh terduduk lalu bangkit kembali. “Pernyataan yang menohok namun elegan! Sangat... bangsawan!”
Para murid kini tak tahan lagi dan tertawa terbahak-bahak. Beberapa bahkan bersandar ke meja, menutup mulut agar tak dimarahi. Guru Lirisya hanya bisa menghela napas dalam-dalam sambil menggeleng, namun senyum kecil di sudut bibirnya mengkhianati bahwa ia sebenarnya menikmati momen itu.
“Cukup, cukup… kalian berdua memang calon diplomat sandiwara,” katanya dengan suara hampir tertawa.
Tak lama kemudian, lonceng siang berbunyi, melengking lembut di seluruh area akademi. Tanda waktunya istirahat dan makan siang. Tapi sebelum para murid berhamburan ke luar, Raviendra berdiri dan mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Teman-teman! Sebelum perut kalian memimpin, izinkan aku menyampaikan sesuatu…”
Kelas langsung hening. Raviendra, meski penuh kelakar, adalah sosok yang dihormati—ketua kelas 3-C, dikenal cerdas dan penuh inisiatif. Ia berdiri di atas bangku dengan satu kaki ditekuk seperti orator perang.
“Minggu depan adalah saatnya kita bersinar! Festival Kreativa Mandalagiri! Dan aku punya ide... Panggung Teater Komedi: Pertempuran Lembayung Dipa Mandalagiri!”
Beberapa anak langsung berseru, “Wah, keren!” dan “Komediii!”
“Kita tampil beda dari kelas lain. Kita buat drama perang kolosal… yang malah bikin penonton ngakak! Bayangkan—aku sebagai jenderal yang selalu salah arah, dan Nayala sebagai Ratu yang justru lebih sibuk dengan menu makan pasukan dari pada strategi perang!”
“Setujuuuu!” seru Nayala dengan tangan di pinggang. “Ratu harus kenyang dulu sebelum mikir!”
Gelak tawa kembali membahana, dan suara-suara setuju langsung mengisi ruangan. Anak-anak mulai menyebut nama-nama tokoh fiksi yang bisa mereka perankan. Beberapa bahkan mulai mengimajinasikan kostum dari kain sisa dan properti dari kotak bekas.
“Kalau begitu, resmi!” kata Ravi sambil turun dari bangku, “Kelas 3-C akan menampilkan Panggung Komedi: Lembayung Dipa Mandalagiri! Kita akan buat seluruh Akademi menonton dan... tertawa sampai tak bisa berdiri!”
Semua bersorak dan mulai saling bertukar ide dengan penuh semangat. Akhirnya, Ravi mengambil posisi terakhirnya sebagai ketua kelas—mengangkat dua tangan dan berteriak, “Ayo makaaaaan!”
Scene ditutup dengan pemandangan anak-anak kelas 3-C keluar kelas sambil tertawa, menggandeng teman-teman mereka menuju aula makan. Beberapa masih membicarakan karakter yang akan mereka perankan, lainnya membayangkan efek suara lucu dari sihir yang bisa dipakai. Hari itu, langit cerah seakan ikut menyambut keceriaan kelas 3-C.
Dan dalam kebisingan siang itu, sebuah tekad kecil tumbuh—untuk menampilkan pertunjukan yang akan dikenang sepanjang sejarah Akademi.
Senja Hari di Ruang Ekskul Lingkar Sihir…
Mentari senja menorehkan semburat keemasan di langit Tirabwana, mewarnai kaca-kaca tinggi Akademi dengan cahaya hangat. Sementara sebagian besar murid telah kembali ke asrama atau bersiap makan malam, beberapa langkah kaki bergema menuju lantai tiga gedung timur—menuju sebuah ruangan eksklusif yang jarang dimasuki: Ruang Lingkar Sihir.
Pintu kayu eboni terbuka perlahan, dan masuklah seorang anak laki-laki dengan rambut hitam terikat rapi dan wajah berseri. Raviendra Van der Lindt, meski masih kelas dasar, berjalan masuk dengan penuh percaya diri. Di dalam ruangan, belasan murid dari berbagai kelas tengah duduk melingkar, sebagian membaca mantra, yang lain memperkuat energi magis mereka dalam bola sihir kecil yang mengambang.
“Yo, Ravi! Kamu telat dua menit!” sahut seorang gadis senior sambil tertawa kecil.
“Dua menit untuk menata rambut biar elegan,” jawab Ravi ringan sambil menjentikkan kening sendiri.
Di ujung ruangan, berdiri sosok yang langsung menarik perhatian siapa pun yang melihatnya: Aditya Yudhanagara, Ketua Lingkar Sihir. Rambut hitamnya tersisir rapi, sorot matanya tenang namun penuh wibawa. Ia berdiri di depan meja panjang, di mana sebuah bola kristal merah rubi melayang perlahan di atas permukaan, memancarkan cahaya redup.
“Selamat datang, para pengemban sihir,” ucap Aditya dengan suara dalam dan karismatik. “Hari ini kita akan membahas sihir pertahanan, terutama bagaimana menanggulangi sihir kegelapan yang tidak terkendali.”
Ravi mendongak, tangannya sudah siap mencatat. Beberapa anggota yang lebih senior melirik Ravi dengan rasa penasaran—anak kecil yang satu ini punya reputasi. Dalam waktu singkat, dia sudah menunjukkan penguasaan sihir tingkat menengah dan bahkan mantra dual-elemen yang biasa hanya dikuasai siswa tingkat lanjut.
Obrolan ringan terdengar di sela-sela sesi:
“Ravi, kemarin kamu beneran bikin akar tanaman muncul dari tanah buat menjebak target didalam Dungeon?” tanya seorang murid dari kelas 6-B.
“Yup. Tapi mereka kabur sebelum sempat kena… Jadi, aku malah kepeleset sendiri,” jawab Ravi jujur sambil cengengesan. Tawa kecil menyebar.
“Gawat, ini anak terlalu jujur,” kata seorang lagi.
“Kalau kamu lanjut begini, Ravi,” timpal Aditya sambil menutup buku sihirnya, “bisa-bisa aku pensiun lebih awal dari posisi Ketua.”
Ravi terkekeh. “Kalau kakak Aditya pensiun, Lingkar Sihir bisa berubah jadi Lingkar Drama.”
Aditya tersenyum tipis, lalu memandang Ravi sebentar, lebih serius kali ini.
Setelah diskusi selesai dan latihan hari itu ditutup, satu per satu anggota mulai berkemas dan meninggalkan ruangan. Cahaya lilin di ruangan mulai dinyalakan, menambah suasana magis di antara rak-rak kitab kuno dan alat sihir yang tergantung di dinding.
Hanya Tinggal Berdua…
Kini ruangan hanya menyisakan dua orang: Ravi dan Aditya.
Aditya menatap Ravi dengan pandangan yang berbeda—bukan sebagai senior ke junior, tapi seakan seorang pemimpin yang memilih penerusnya.
“Ravi,” ucapnya perlahan. “Aku ada tugas malam ini. Akan ada penugasan eksplorasi di Ruang Bawah Tanah Akademi. Tepatnya di Dungeon Monster Kadaluarsa.”
Mata Ravi langsung berbinar. “Yang di bawah sayap barat akademi? Yang katanya masih menyimpan rintangan sihir dari era kakek kita?”
Aditya mengangguk. “Benar. Dan aku butuh pendamping. Akademi sudah memberiku akses... dan kau sudah masuk daftar murid berbakat kategori khusus. Artinya, kamu boleh masuk dengan pendampingan.”
Ravi berdiri setegak mungkin, mencoba terlihat serius meski wajahnya sudah dipenuhi semangat. “Aku ikut! Tapi… makan dulu ya. Gak bisa perang lawan monster kalau perut kosong.”
Aditya tertawa kecil. “Tentu. Aku akan menunggumu di lorong timur ruang bawah tanah, setelah makan malam. Jangan lama-lama. Dan siapkan tongkatmu.”
Ravi mengangkat tongkat hijaunya yang berhiaskan batu giok. “Sudah siap sejak pagi!”
Keduanya bertukar anggukan singkat—bukan hanya sebagai kakak dan adik sepupu, tapi sebagai rekan petualang yang akan segera memasuki wilayah rahasia Akademi Tirabwana. Langit luar mulai gelap, menandai bahwa malam di Akademi membawa janji bahaya... dan petualangan.
Scene ditutup dengan Ravi yang berlari menuju aula makan, langkahnya ringan namun penuh antisipasi. Sementara di bawah akademi, lorong batu tua yang tak terjamah cahaya mulai berbisik, menunggu kedatangan dua penyihir muda dari garis darah kerajaan.
Makan Malam Sebelum Petualangan
Malam turun perlahan di atas Akademi Tirabwana. Cahaya-cahaya sihir mulai menyala satu per satu di sepanjang lorong dan halaman, menciptakan kilau lembut yang memantul di dinding marmer tua. Suara lonceng perunggu berdentang tiga kali—tanda bahwa waktu makan malam telah tiba.
Para murid dari berbagai tingkat kelas, yang sudah membersihkan diri dan berganti pakaian santai, tampak keluar dari asrama masing-masing. Ada yang berjalan bersama teman-teman, ada yang sambil tertawa, ada pula yang menguap lelah selepas pelatihan siang yang menguras tenaga. Semua bergerak menuju satu tempat yang sama: Aula Makan Akademi Tirabwana.
Bangunan besar itu menjulang seperti balai perjamuan raja. Di dalamnya, meja-meja panjang dan kursi-kursi besar tersusun rapi, mampu menampung lebih dari tiga ribu orang sekaligus. Langit-langitnya tinggi, dihiasi mosaik langit malam, dengan lampu kristal sihir yang menggantung dan memancarkan sinar lembut berwarna emas kehangatan.
Di salah satu sudut meja utama, Ananda duduk bersama Raviendra. Dahulu, Ananda selalu duduk sendirian—pendiam, tertutup, dan cenderung menjaga jarak. Tapi malam ini berbeda. Ada senyum kecil di wajahnya, bahkan tawa ringan saat Raviendra menirukan gaya bicara guru sihir dengan gaya dramatis.
Raviendra: sambil menunjuk roti isi di tangannya
“Kalau aku mati nanti malam di Dungeon, aku mau roti isi kari ini dijadikan sesaji tiap ulang tahunku!”
Ananda: tertawa pelan
“Kamu nggak akan mati. Tapi mungkin roti itu yang akan dimakan Monster.”
Mereka tertawa bersama. Saat itu, seorang gadis dengan tubuh tinggi tambun dan wajah ceria datang mendekat.
Nayala Puspaloka:
“Eh, eh! Kok makan duluan nggak ngajak aku, hah?!”
Raviendra: berdiri dan menunduk ala pelayan istana
“Putri Gada telah tiba! Mari duduk di singgasana kalori!”
Nayala duduk sambil tertawa, lalu langsung membalas dengan candaan serupa. Mereka berdua, seperti biasa, bertingkah konyol. Gurauan mereka yang tidak berkesudahan bahkan berhasil membuat Ananda terus tersenyum—jarang terjadi, tapi malam ini terasa ringan.
Beberapa saat kemudian, dua gadis muncul di ambang pintu aula makan: Kiranti Wisanggeni dan Ishvara Elvardhra Dra'vetha. Mereka berdua berjalan dengan tenang—Kiranti dengan senyum tenang dan sorot mata misterius, Ishvara dengan ekspresi datar dan langkah percaya diri. Tapi sebelum mereka sempat memilih tempat duduk, suara Raviendra yang keras terdengar memanggil:
Raviendra:
“ELVA! KIRANTI! SINI GABUNG! ADA ROTI ENAK NIH!”
Ishvara menghentikan langkahnya. Wajahnya tampak kesal, matanya melirik kakaknya dengan tatapan jijik seolah berkata “Bisa gak sih kau bersikap wajar sehari saja?”
Ishvara:
“Berisik sekali, dasar badut…”
Tapi sebelum sempat berbalik arah, Kiranti menautkan lengannya ke Ishvara, menariknya dengan lembut.
Kiranti:
“Yuk. Biar malam ini nggak sepi.”
Ishvara: menghela napas pelan
“Hmph... baiklah. Tapi aku tidak akan duduk dekat Ravi.”
Akhirnya mereka bergabung. Raviendra memperkenalkan keduanya kepada Nayala.
Raviendra:
“Kenalin, ini Kiranti: mata tajam, pedang cepat, dan senyum paling licik di kelas 1-A! Dan ini—Ishvara Elvardhra, adikku yang super pemarah tapi super imut.” Lalu Raviendra Menyambung kembali untuk Memperkenalkan Nayala Kepada Ishvara dan Kiranti "Dan ini Sahabatku Nayala Puspaloka."
Nayala: menatap Ishvara kagum
“Wah… kamu kayak boneka istana! Cantik banget, serius!”
Ishvara: menoleh cepat, datar
“Aku pendekar, bukan pajangan.”
Kiranti: tertawa pelan
“Tuh kan? Makanya aku suka bawa dia ke mana-mana. Lucunya alami.”
Malam itu menjadi hangat. Obrolan santai mengalir—tentang pelajaran hari ini, tentang rumor Dungeon yang katanya berubah bentuk tiap minggu, hingga tentang betapa buruknya rasa semur kacang di kantin minggu lalu.
Ananda mendengarkan dalam diam, sesekali ikut tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa... tidak sendirian.
🌌 Scene Penutup:
Kamera naik ke atas, menyorot Aula Makan Akademi Tirabwana dari langit-langit kristal. Ribuan murid terlihat sedang menikmati makan malam, bercanda, bercengkrama, dan berbagi cerita. Di tengah dunia yang penuh ambisi dan sihir, malam itu adalah peristirahatan hati bagi anak-anak yang suatu hari nanti mungkin akan mengguncang dunia.
Dan malam itu pun berjalan perlahan, menjelang petualangan yang akan mengubah takdir...
Menuju Dungeon di Malam Hari
Setelah kenyang dan puas dengan makan malam, suara riuh rendah di Aula Makan mulai mereda. Satu per satu para murid bangkit dari tempat duduk, membawa obrolan mereka ke arah koridor dan halaman, bersiap kembali ke asrama masing-masing.
Ishvara dan Kiranti berjalan bersama menyeberangi halaman dalam, menuju Wisma Srikandi, asrama utama untuk murid perempuan. Suara gemericik air dari kolam teratai menemani langkah kaki mereka yang ringan. Kamar mereka berada di lantai dua, No. 8, bersebelahan dan menghadap ke taman rembulan.
Nayala menyusul tak lama kemudian, dengan langkah lebar dan napas terengah—masih tertawa mengingat candaan Raviendra. Ia tinggal di lantai bawah, No. 12, cukup dekat dengan tangga dan taman senja tempat biasanya ia berlatih gada saat fajar.
Di sisi lain kampus, Ananda menuju Wisma Arjuna, asrama murid laki-laki. Dulu ia tinggal di lantai tiga, Kamar No. 7, tapi karena kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari para murid lain, ia akhirnya pindah dan kini tinggal sekamar dengan Raviendra di Lantai satu Kamar No.3. Malam itu, Ananda hanya tersenyum kecil, menyadari betapa hidupnya perlahan berubah—lebih cerah, walau tak sepenuhnya mudah.
Namun malam Raviendra belum usai.
Ia berbelok ke sisi barat Akademi, menuruni lorong yang sepi, menuju Sayap Barat Bawah Tanah—salah satu akses resmi menuju area latihan tersembunyi yang hanya bisa diakses murid tingkat lanjut & tingkat akhir atau murid kategori berbakat dan Khusus seperti Raviendra Namun tetap dengan ijin dari Penjaga Dungeon Nama Dungeon itu adalah: Dungeon Monster Kadaluarsa.
Di sana, Aditya Yudhanagara telah menunggu.
Berdiri tegap di depan gerbang besar berukir mantra pelindung, cahaya dari tongkat sihir ruby-nya menyala samar. Di sebelahnya, berdiri seorang pria dewasa berseragam hitam-hijau tua, mengenakan jubah pelindung dan membawa buku mantra di tangan kiri.
Dialah Guru Mahadyaka Anindhita, salah satu pengawas kelas tingkat lanjut dan penjaga Dungeon Akademi.
Guru Mahadyaka:
“Jadi… ini bocah ajaib yang kau bawa? Katanya dia sepupumu juga, ya?”
Ia menatap Raviendra yang baru tiba dengan langkah ringan dan senyum santai.
Raviendra: melambai santai
“Yo, Guru! Senang bisa bertemu lagi. Suatu kehormatan besar bisa membantu... Sang Calon Pangeran Mahkota!”
Aditya: menunduk sambil menggeleng
“Sudahlah… Aku belum layak disebut begitu. Hanya karena Paman Maheswara merekomendasikan, bukan berarti takdirku sudah pasti.”
Raviendra: mengangkat alis, bergurau
“Ya ya… Kalau gitu kuanggap saja ini misi pribadi, bukan kerajaan.”
Guru Mahadyaka menyeringai, lalu membuka gulungan kecil dari pinggangnya. Ia menempelkan gulungan itu ke pilar pintu, dan beberapa simbol kuno menyala biru kehijauan.
Guru Mahadyaka:
“Ingat. Kau punya waktu sampai tengah malam. Selesai atau tidak, kalian harus kembali. Jika terjadi sesuatu, mantra pelacak akan memberitahuku. Aku akan masuk untuk menyelamatkan kalian.”
Aditya & Raviendra:
“Tenang saja, Guru!”
Bersamaan dengan itu, suara denting logam dan mantra kuno bergema. Pintu Dungeon terbuka perlahan, menampakkan lorong berbatu yang dingin dan berembun, dihiasi lentera sihir tua dan jaring laba-laba yang membeku oleh waktu.
Aditya dan Ravi melangkah masuk.
🌒 Scene Penutup:
Tampilan memperlihatkan suasana area pintu Dungeon dari luar—tenang, gelap, dan penuh misteri. Angin malam berhembus pelan membawa aroma tanah lembap dan sihir tua. Di balik gerbang itu, petualangan mereka baru saja dimulai.
Dungeon Monster Kadaluarsa
Langkah kaki mereka bergema di antara dinding-dinding batu lembap Dungeon Kadaluarsa. Lantai pertama menyambut Aditya dan Ravi dengan udara yang dingin dan bau tanah tua. Meski disebut dungeon latihan, monster-monster di dalamnya bukanlah mainan. Namun bagi dua penyihir muda berbakat ini, lantai pertama tak lebih dari taman bermain.
Dari balik kegelapan lorong, belasan monster tingkat rendah menyerbu: goblin bersenjata tulang, kelelawar raksasa bermata merah, dan makhluk lumpur yang bergerak dengan suara meletup.
"Bersiaplah, Ravi!" seru Aditya sambil mengangkat tongkat sihirnya yang berhiaskan ruby.
"Siap! Sudah gatal tanganku," jawab Ravi dengan senyum lebar.
Aditya melangkah ke depan, lalu melantunkan mantra: "Raga Angkara, Rudra Agni!"
Api meledak dari ujung tongkatnya, membakar dua goblin sekaligus hingga menjadi abu.
Ravi tak mau kalah. Ia memutar tongkat gioknya dan berkata: "Tirta Mandala!"
Akar-akar bercahaya muncul dari lantai, menyapu kaki makhluk lumpur, membungkus mereka sebelum ledakan cahaya putih mengakhiri semuanya.
Monster kelelawar mencoba menyerang dari atas. Ravi mengangkat tangan: "Surya dhipa, Padmasara!"
Cahaya keemasan menembak dari tongkatnya, menghantam monster udara dan membuat mereka terjatuh seperti daun layu.
"Kau menikmatinya terlalu banyak!" teriak Aditya sambil mengayunkan sihir kegelapan: "Bayang murka, Kala Niskala!"
Sosok kegelapan muncul di belakang tiga goblin terakhir, menelan mereka dalam kehampaan.
Dalam waktu hanya dua puluh menit, semua monster tumbang. Tidak satu pun luka menghiasi tubuh mereka.
Mereka duduk sebentar, membersihkan noda darah dan lumpur dari pakaian dan senjata mereka. Aditya memeriksa jubahnya.
"Ishvara... bagaimana kabarnya?" tanya Aditya santai, matanya masih mengawasi pintu menuju lantai dua.
Raviendra menepuk tongkatnya ke sepatu, lalu berkata, "Dia menikmati hidupnya di Akademi. Kau tahu, dia sangat tertarik dengan teknik pedang. Anehnya, sihir darahnya juga mulai menunjukkan potensi. Katanya dia ingin menciptakan gaya bertarung sendiri."
Aditya tertawa ringan. "Tidak seperti kakaknya yang hampir tidak naik kelas karena gagal dalam pelajaran teknik pedang."
Ravi tertawa malu. "Entahlah, Ayahku pendekar pedang, tapi aku... tidak bisa merasakan koneksi dengan pedang."
"Minimal kuasai satu teknik dasar," nasihat Aditya. "Coba ulang satu gerakan ratusan kali, mungkin Guru Irekta akan pingsan karena terharu."
Ravi mengangguk sambil tertawa. "Baiklah, aku coba nanti. Tapi jangan harap aku serius."
Aditya berdiri, mengencangkan jubahnya. "Ayo kita ke lantai dua. Monster tingkat menengah menanti."
Mereka melangkah ke arah tangga batu. Cahaya obor di dinding bergetar pelan, seolah mengantar kepergian dua sosok muda menuju tantangan berikutnya.
Scene ditutup dengan bayangan gelap dari lorong panjang Lantai 1, yang kini hanya menyisakan bau mayat monster dan percikan sihir yang belum hilang dari udara.
Ujian Dua Darah Mahkota
Lantai 2 – Arena Bayangan Tembaga
Begitu Raviendra dan Aditya menapakkan kaki di lantai dua, hawa dingin langsung menyergap tulang. Kabut tipis menari di atas lantai batu, dan dari balik tembok-tembok reruntuhan, muncullah belasan monster tingkat menengah—makhluk bermata dua di dada, bertaring tajam, dan bertubuh setinggi dua meter. Kulit mereka berwarna keabu-abuan seperti besi tua, dan napas mereka beracun.
“Belasan ekor,” ujar Aditya sambil merapatkan jubahnya. “Kita bagi sisi. Aku kiri, kau kanan.”
Raviendra tersenyum kecil, “Siap, Kak Aditya!”
Belum sempat mereka bergerak, monster pertama melompat.
“Jalatunda!” seru Ravi, dan tanah di bawah monster itu langsung terbelah, menelannya sebagian.
Aditya mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, “Narbala Geni!”—nyala api merah tua melesat membentuk tombak dan menghantam dua monster sekaligus, membuat mereka jatuh terbakar.
Ravi memutar tongkat gioknya, berseru, “Madaswara!”, dan dari ujungnya meluncur kilatan cahaya seperti hujan panah.
Dua monster yang mencoba mendekatinya terbakar dalam sinar keemasan. Dari sisi lain, Aditya menyapu seluruh lorong dengan api hitam, “Kala Agni!”
Suasana menjadi medan perang penuh warna dan dentuman. Monster terakhir mencoba melarikan diri, namun Ravi melompat di depannya dan berteriak, “Padmara Kanta!”—sebuah pusaran akar bercahaya menjulur dari lantai dan menghancurkan tubuh makhluk itu.
Pertarungan berakhir dalam 40 menit. Lantai dua sunyi. Tubuh para monster mencair menjadi debu ungu, dan cahaya dari dinding mulai memudar.
“Bagus,” kata Aditya sambil mengatur napas. “Langsung naik.”
Lantai 3 – Lorong Gema Darah
Tak ada waktu disia-siakan. Mereka menapaki tangga batu ke lantai tiga. Aroma belerang dan darah segera memenuhi udara.
“Siap lagi?” tanya Ravi.
Aditya tersenyum penuh percaya diri. “Selalu.”
Begitu mereka melewati gerbang lengkung batu, segerombolan monster bersisik batu menyambut dengan raungan mengguncang. Mereka lebih tangguh, bisa memantulkan serangan sihir.
Ravi mencobanya duluan. “Tirawata!”—semburan air dari bawah tanah menyembur ke depan, menghantam dua monster.
Namun satu monster melompat dari sisi lain, menyerang Aditya dengan cakarnya.
Aditya berputar cepat, mengangkat tongkat dan mengucap, “Asmaloka!”—sebuah perisai sihir gelap muncul, membelokkan serangan.
“Kita pakai pola silang!” teriak Ravi.
Mereka mulai bergerak dalam koordinasi. Aditya menyerang bagian depan, Ravi menutupi sisi belakang dan samping. “Gandhawara!” seru Ravi, dan akar-akar tajam menyembur dari dinding, mengikat kaki monster.
“Rawa Jati!”—Aditya menghantam dengan ledakan api dari bawah, membuat beberapa monster meledak.
Satu monster sempat menerjang ke arah Ravi, tapi bocah itu tetap tenang dan melompat mundur sambil mengucap, “Cahyaning Surya!”
Cahaya dari tongkat gioknya menembus tubuh monster, menghancurkan dari dalam.
Pertarungan berlangsung intens selama 45 menit hingga monster terakhir jatuh—dengan tubuh berasap dan mata kosong.
Mereka berdua terduduk di pinggir lantai, tubuh kotor dan berkeringat.
Istirahat Sejenak – Sela Napas Dua Pejuang
Aditya mengeluarkan kantong perbekalan dari dalam jubahnya. “Ini, makan dulu. Roti jagung, buah kering, dan ramuan stamina.”
Ravi mengambil minuman. “Terima kasih. Setelah Bertarung, Makanan & Minuman ini Rasanya lebih enak dari menu aula makan.”
Mereka makan perlahan. Di sela kunyahan, Aditya berkata, “Aku dengar kau punya teman baru yang setingkat denganku. Ananda dari 9-C. Anak pendiam itu?”
Ravi mengangguk, “Iya. Aku kasihan sama dia. Sering dirundung teman sekelasmu... Wiryakusuma.”
Aditya mendengus, “Geng Wiryakusuma memang selalu berbuat onar. Pendekatan damai tidak pernah berhasil.”
“Kadang harus dengan tindakan tegas. Tapi... kekuatan Dewan Guru dibutuhkan untuk menertibkan mereka.”
“Aku sudah coba usulkan,” balas Aditya sambil menghela napas. “Tapi Ketua Dewan Guru hanya bilang, ‘Perundungan itu bagian dari semangat masa muda.’ Konyol, bukan?”
Ravi menyandarkan kepalanya ke tembok batu. “Mungkin karena ada anak pejabat di dalam kelompok mereka. Makanya dibiarkan.”
Aditya bangkit, menepuk-nepuk jubahnya. “Entahlah. Yang penting sekarang, kita selesaikan dua lantai terakhir. Lantai 4 berisi monster tingkat tinggi. Dan lantai 5... bos utama.”
Ravi berdiri penuh semangat, “Ayo taklukkan tempat ini.”
Scene Penutup Babak Lantai 3
Kamera imajiner mundur, menampilkan lantai tiga yang porak poranda. Reruntuhan bersinar samar oleh bekas sihir dan api yang masih menyala kecil. Dua pemuda berdiri—berbeda usia, berbeda dunia, namun terikat oleh takdir darah dan tekad.
Mereka menaiki tangga batu spiral, menuju Lantai 4, tempat ujian sebenarnya menanti.
Pertarungan di Lantai 4
Lorong-lorong batu di lantai empat Dungeon Monster Kadaluarsa dipenuhi kabut tipis yang menyimpan aura kuno. Suasana di sini sangat berbeda dari lantai sebelumnya. Tidak hanya lebih gelap dan lembap, tapi tekanan magis yang menekan tubuh seperti tangan tak kasat mata yang berusaha menundukkan mereka.
Aditya berjalan di depan, tongkat sihir bermata ruby menyala lembut di ujungnya. Raviendra menyusul, langkahnya ringan meski napasnya mulai terasa berat. Mereka sudah bertarung melewati tiga lantai penuh monster dan jebakan. Kini, mereka tiba di medan yang benar-benar berbeda.
Di tengah ruangan bundar dengan reruntuhan tiang dan patung rusak, lima sosok monster besar berdiri menghadang. Tubuh mereka berbentuk humanoid, tapi wajah-wajahnya aneh dan menyeramkan, beberapa mengenakan helm perak gelap. Namun yang paling mencolok—mereka bisa berbicara dan melafalkan mantra sihir.
"Mereka… menggunakan bahasa Mandalagiri pendek," bisik Aditya dengan kaget.
Salah satu monster mengangkat tangan, lalu melafalkan, "Galadrim!"
Seketika, kilatan petir meluncur ke arah mereka.
"PERISAI CAHAYA!" Raviendra mengangkat tongkat, menyemburkan mantra: "Suntra!" Sebuah pelindung cahaya menangkis serangan itu, namun Ravi terdorong mundur.
Pertarungan langsung berubah kacau. Monster-monster itu menyerang dengan kecepatan dan koordinasi, seolah mereka bukan makhluk buas, tapi pejuang terlatih.
Aditya melompat ke depan dan membalas dengan ledakan api: "Rudhra Agni!" Lidah api membentuk naga merah yang melesat menyambar satu monster. Tubuhnya hangus, namun hanya sesaat sebelum ia bangkit lagi dengan jubah sihir yang melindungi tubuhnya.
Ravi bergerak lincah, berputar, menyibakkan tongkat hijaunya ke langit: "Bhrama Jyoti!" Cahaya membentuk tombak yang menusuk dari udara, menyergap dua monster sekaligus.
Namun semakin mereka menyerang, musuh juga semakin menggila. Satu monster mengunci pergerakan Ravi dengan sihir akar kegelapan. Yang lain mengalihkan serangan Aditya dengan mantra anti-api.
Waktu terus berjalan. Mereka jatuh. Luka. Bangkit lagi.
Keringat bercucuran, napas memburu. Tapi sorot mata mereka tidak padam.
Pertarungan berlangsung selama satu jam penuh. Dan akhirnya, setelah sihir demi sihir dilontarkan, setelah pertahanan mereka nyaris habis, monster terakhir runtuh menjadi abu.
Begitu pertarungan usai, sebuah suara magis terdengar:
"Waktu Akses Dungeon Berakhir. Portal Keluar Terbuka."
Tubuh mereka diselimuti cahaya biru. Dalam sekejap, mereka telah kembali di gerbang masuk Dungeon Monster Kadaluarsa, di Sayap Barat Bawah Tanah Akademi Tirabwana, area rahasia tempat para siswa terbaik menjalani pelatihan.
Di sana telah berdiri Guru Mahadyaka Anindhita. Sosok pria dewasa berwajah tegas, mengenakan jubah hitam-hijau tua dan membawa buku mantra di tangan kiri.
Ia menatap keduanya dengan sorot mata yang tak terbaca, lalu mengangguk.
“Kerja bagus. Meski waktu habis, kalian berhasil menaklukkan lantai empat. Kalian boleh lanjutkan ke lantai lima bulan depan.”
Aditya tersenyum puas. “Terima kasih atas pengawasannya, Guru.”
Ravi menyeka peluh di dahinya. “Itu tadi... gila banget.”
Aditya tertawa kecil, lalu menepuk pundak Ravi. “Bulan depan, kita tuntaskan semuanya. Kita kalahkan bos dungeon.”
Ravi mengangguk mantap. “Ayo. Aku ikut.”
Menuju Wisma Arjuna
Malam mulai turun. Langit malam Mandalagiri dihiasi cahaya ungu lembut. Di sisi timur kompleks Akademi Tirabwana, berdiri megah Wisma Arjuna—asrama khusus siswa laki-laki.
Bangunannya kokoh, bercorak Mandalagiri klasik, lima lantai dengan taman dalam, jendela-jendela besar berhias ukiran naga sihir.
Di gerbang utama, seorang pria paruh baya dengan rambut perak menunggu mereka. Tongkat kayu panjang di tangannya berujung kepala singa.
Kepala Asrama: Brahmanda Reswara—pria tenang namun penuh wibawa.
Ia menyapa mereka dengan senyum hangat.
“Selamat datang kembali, Tuan Aditya. Saya sudah menerima kabar dari Guru Mahadyaka.”
Aditya membalas anggukan hormat. “Terima kasih atas perhatiannya, Kepala Asrama.”
“Dan Raviendra. Luar biasa untuk anak seumurmu.”
Ravi mengangkat tangan seolah menyapa, sedikit cengengesan. “Aku cuma bantu-bantu kok, Pak.”
Di Dalam Wisma
Setelah melewati lobi utama, mereka berpisah.
Aditya naik ke lantai tiga menuju Kamar No.1, tempat khusus siswa unggulan. Ia memasuki kamarnya yang bersih dan tenang, lampu sihir menyala otomatis.
Ravi menuju, kamar No.3 di lantai satu, tempat siswa kelas dasar. Ia membuka pintu, mendapati teman-teman sekamarnya sudah tertidur termasuk ananda yang berada di sebelah tempat tidur-nya. Kamar berisi 10 ranjang, berderet rapi. Ia melepas jubah menuju bilik air, membersihkan badan berganti pakaian santai, lalu naik ke ranjang atasnya dan merebahkan diri.
Penutup Scene
Kamera menyorot langit malam di atas Wisma Arjuna. Cahaya bulan memantul di jendela-jendela. Suara jangkrik, angin malam, dan gemuruh sungai kecil di kejauhan menciptakan ketenangan.
Dua cahaya dari jendela lantai satu dan tiga masih menyala. Dua pewaris takdir, tertidur dalam diam.
Persiapan Festival Kreativa Mandalagiri - Hari Sabtu dan Minggu
Hari Sabtu pagi yang cerah menyinari sisi timur Gedung Utama Akademi Tirabwana, menembus jendela-jendela tinggi kelas 1-A yang menghadap ke Taman Meditasi. Angin lembut membawa aroma bunga kenanga dan tanah lembap yang menyegarkan pikiran. Ruang kelas 1-A yang berdinding kayu hitam mengilat, hari ini bukanlah ruang belajar biasa. Para murid dan dibantu beberapa staff akademi, Hari ini Para Murid 1-A telah menanggalkan buku-buku dan pena mereka, dan menggantinya dengan kain dekorasi, cat panggung, tali gantungan, serta kayu-kayu panggung mini.
Agra Dihantara, sang Ketua Kelas, berdiri tegak di depan kelas dengan clipboard dari bambu di tangan. Matanya yang jernih dan penuh semangat menyapu seluruh ruangan, memberikan arahan kepada 33 teman sekelasnya. Bersamanya, empat sosok yang sangat dihormati dan menjadi poros kekompakan kelas—Kiranti Wisanggeni, Ishvara Elvardhra Dra'vetha, Rana Kalyana, dan Sagara Narapati—turut memimpin proses dekorasi.
"Angkat sedikit lebih tinggi, Rana! Nanti kain tirainya jatuh ke panggung," seru Ishvara sambil menunjuk sudut kanan panggung yang tengah dipasang gorden merah beludru.
"Tenang, tenang! Yang penting kita nggak masang panggung terbalik," kelakar Rana dengan tawa lebar, membuat beberapa teman tertawa di tengah kerja keras.
Kiranti, dengan langkah ringan dan lincah, memeriksa tata letak kostum dan properti yang sudah ditata di sudut belakang. Ia memastikan setiap peralatan untuk drama teatrikal bertema Kerajaan dan Cinta siap digunakan.
"Ini untuk adegan pengkhianatan pangeran." katanya sambil mengangkat jubah hitam yang sudah dihias benang emas.
Sagara duduk bersila di lantai, menggambar pola di bagian depan panggung. "Simbol matahari Mandalagiri harus berada di tengah," ucapnya tenang.
Mereka bekerja hingga siang menjelang. Setelah semua lelah dan keringat mulai membasahi dahi, Agra memberi aba-aba istirahat. Mereka berbaris menuju Aula Makan Akademi, tempat luas dan megah yang selalu menyambut para murid dengan aroma hidangan hangat dan atmosfer kebesaran leluhur.
Di dalam aula, mereka makan sambil bercengkrama. Ishvara, meski biasanya tegas dan terkesan judes, kali ini tersenyum tipis melihat semangat semua teman-temannya. Kiranti duduk di sampingnya, menyuap sup panas sambil sesekali bercanda dengan Rana dan Sagara.
Setelah makan siang, mereka kembali ke kelas dan melanjutkan pekerjaan mereka. Langit mulai berubah jingga, dan bayangan dari jendela tinggi memanjang ke dalam kelas. Dekorasi akhir selesai saat senja turun pelan. Panggung kecil di dalam ruang kelas 1-A telah berdiri megah. Hiasan megah, lampu sihir gantung, serta tirai-tirai merah menjadikan ruangan itu seperti teater kecil yang elegan.
Agra menatap hasil kerja mereka dan berkata, "Besok kita mulai latihan. Kita dapat giliran tampil hari Rabu saat senja. Jangan lupa istirahat malam ini."
"Iya, Ketua!" jawab para murid bersamaan.
Kelas 1-A telah bekerja keras sepanjang hari, dan malam itu, mereka semua pulang ke asrama masing-masing dengan rasa puas dan semangat tinggi. Esok, latihan dimulai, dan pentas besar mereka semakin dekat.
Scene ditutup dengan pemandangan Ruang kelas 1-A yang telah berubah menjadi panggung teatrikal mini, dikelilingi lampu kristal yang menyala lembut, tirai-tirai menggantung anggun, dan peralatan drama yang tertata rapi. Dari luar jendela, bintang mulai bermunculan di langit Tirabwana.
FESTIVAL KREATIVA MANDALAGIRI DIMULAI
Akhirnya, Pekan Festival Kreativa Mandalagiri dimulai. Pembukaan di hari pertama berlangsung meriah dan penuh semangat. Sejak pagi, gerbang utama Komplek Akademi Tirabwana terbuka lebar. Ratusan warga dari Kota Tirabwana datang dengan penuh antusias, ingin menyaksikan langsung acara tahunan yang selalu menjadi sorotan masyarakat Mandalagiri.
Di halaman depan akademi, deretan pedagang mulai ramai membuka lapak. Mereka menjajakan berbagai cemilan dan makanan khas Mandalagiri—seperti kue wijen panggang, sup kencur hijau, dan minuman sari rempah Mandana yang terkenal menyegarkan. Anak-anak kecil berlarian, sementara para orang tua berjalan tenang sambil berbincang dan mengamati dekorasi unik yang menghiasi kawasan akademi.
Gedung Utama Akademi Tirabwana tampak megah, menjulang dengan arsitektur berbentuk kaki naga, seakan menjadi pusat gravitasi seluruh kegiatan. Di sana, para warga sudah mulai mengantri tiket di Aula Utama, ruangan megah dengan ukiran naga di seluruh dinding dan cahaya kristal terapung yang memberikan cahaya hangat. Mereka mengincar tempat duduk terbaik untuk menyaksikan pertunjukan dari kelas-kelas terpilih yang mendapat giliran tampil di hari pertama.
Terdapat papan-papan pengumuman yang tertempel di banyak sudut, menampilkan daftar kelas yang tampil hari ini beserta waktu pertunjukannya. Tiga slot waktu utama disiapkan: pagi setelah sarapan, siang setelah istirahat, dan senja menjelang malam. Sistem undian yang dilakukan seminggu sebelumnya telah menentukan urutan tampil, dan semua kelas telah mempersiapkan pertunjukan mereka dengan maksimal.
Di area luar, stan-stan tiket dari masing-masing kelas tampak sibuk melayani pembeli. Ada yang menjual dengan sistem bundling—tiket dan kudapan kecil, ada pula yang menawarkan diskon khusus untuk anak-anak. Suasana terasa seperti perayaan rakyat, namun tetap dalam atmosfer akademik yang elegan dan tertib.
Tampak para guru dan staf Akademi mengenakan pakaian resmi mereka—seragam hitam-hijau tua dengan lambang matahari Mandalagiri tersulam di dada kiri. Mereka ikut serta mengawasi dan memastikan acara berjalan lancar.
Dari kejauhan, burung-burung langit Mandalagiri tampak terbang beriringan, memberikan pemandangan dramatis dari atas Komplek Akademi. Wisma Srikandi dan Wisma Arjuna berdiri tegak di sisi barat dan timur, mengapit Lapangan Garuda yang kini telah dihias penuh warna-warni bendera dan lampion.
Hari ini baru permulaan, namun semangat dan kebahagiaan sudah meluap di mana-mana. Para siswa pun tampak mengenakan kostum khusus sesuai pertunjukan kelas mereka, siap menampilkan segala yang telah mereka latih dengan keras selama seminggu terakhir.
Scene ditutup dengan gambaran langit cerah di atas Komplek Akademi Tirabwana yang mulai dipenuhi suara tawa, semangat anak-anak, dan denting alat musik. Festival Kreativa Mandalagiri telah resmi dimulai—dan dunia menyaksikannya.
Catatan Lokasi:
Komplek Akademi Tirabwana: Gedung utama lima lantai berbentuk kaki naga; di sekitarnya: Wisma Srikandi (barat), Wisma Arjuna (timur), Lapangan Garuda, Perpustakaan Pusaka, Taman Meditasi, lorong-lorong bawah tanah dan hutan-hutan kecil.
Gedung Utama Akademi: Menjulang megah, mampu menampung belasan ribu orang.
Aula Utama Akademi: Tempat upacara ribuan siswa, penuh ukiran naga dan kristal terapung. Terletak di lantai 1 Gedung Utama Akademi.
Sementara itu, di tempat lain dalam area Komplek Akademi Tirabwana, Ishvara, Kiranti, Raviendra, dan Nayala berjalan bersama, menikmati suasana Festival Kreativa Mandalagiri yang meriah. Mereka menyusuri deretan stand yang berjejer di sisi jalan utama—di sana para pedagang menjual berbagai makanan khas Mandalagiri seperti kue talun, sambal pelaga, dan air kelapa rempah. Wangi harum masakan membumbung, menggoda siapa saja yang lewat.
Tak hanya makanan, stand aksesoris pun memikat perhatian. Kalung perak berhias batu giok, cincin dengan ukiran naga, pita rambut warna-warni, dan tusuk rambut perak mengilap ditata rapi. Ishvara dan Kiranti tampak tertarik dan berhenti beberapa kali untuk melihat-lihat. Kiranti mencoba sebuah pita ungu gelap, sementara Ishvara memilih tusuk rambut berhiaskan mata giok hijau.
Berbeda dari mereka berdua, Raviendra dan Nayala justru sibuk berburu makanan. Tangannya penuh dengan bungkusan cemilan: sate gurita, roti manis berisi krim kelapa, dan sekantong besar kacang panggang madu. Mereka makan sambil tertawa riang, membuat Ishvara cemberut.
"Dasar kampungan, pemagang sihir cuma mikirin perut!" gerutu Ishvara sambil menyilangkan tangan.
Raviendra tertawa lebar. "Namanya juga festival, adik kecilku. Makanan enak itu bagian dari sihirnya hari ini."
"Betul itu!" timpal Nayala dengan mulut masih penuh, "Apalagi kacang madu ini, enak banget! Mau coba nggak, Kiranti?"
Kiranti hanya terkikik kecil, menepuk pelan bahu Nayala. "Nanti aja, aku mau nyicip sate guritanya."
Mereka kemudian duduk bersama di Taman Bunga, tepat di bawah sebuah gazebo kayu putih yang dihiasi tanaman rambat berbunga ungu. Tempat itu teduh dan damai, dengan suara burung-burung kecil bernyanyi di kejauhan. Suasana hangat kebersamaan mengisi ruang di antara mereka.
Kelas Raviendra dan Nayala, yaitu kelas 3-C, mendapatkan giliran pertunjukan pada hari Jumat pagi setelah sarapan. Sementara itu, kelas Ishvara dan Kiranti, kelas 1-A, akan tampil pada hari Rabu waktu senja menjelang malam. Mereka berempat saling memberi semangat dan membicarakan kostum serta adegan-adegan lucu dalam pertunjukan masing-masing.
Scene ditutup dengan pemandangan indah dari Komplek Akademi Tirabwana di siang hari yang cerah dan sejuk—langit biru membentang, awan tipis melayang pelan, dan suara keramaian festival terdengar menggema dari seluruh penjuru kompleks.